Laporan Pemantauan YLBHI dan 16 LBH Indonesia: Kondisi Hak Berekspresi dan Menyampaikan Pendapat di Indonesia 2019

data kasus

A. PENGANTAR

Hak untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat dimuka umum, merupakan hak asasi manusia dijamin penuh oleh Konstitusi dan Undang-Undang, serta bagian utuh dari demokrasi dan negara hukum. Tetapi perkembangan menunjukkan aksi-aksi mahasiswa, buruh, masyarakat dihadapi dengan repressif dan brutal oleh aparat.

Sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia, Indonesia adalah Negara Hukum. Maka segala hak, kewenangan, kewajiban dan larangan disandarkan pada hukum. Aparat tidak bisa atas nama negara melakukan tindakan-tindakan yang tidak diatur dalam Undang-Undang dan melanggar hak-hak asasi manusia yang jelas dijamin dalam konstitusi.

YLBHI bersama 16 LBH selama ini melakukan pendampingan dan menerima pengaduan serta menghimpun data dan kasus dari berbagai wilayah berkaitan dengan kondisi Hak Menyatakan Pendapat selama 2019.

B. KERANGKA HUKUM

a) Jaminan Penghormatan dan Perlindungan Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum dan Memperjuangkan Hak Secara Kolektif.

i. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 28E ayat (3) : Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Pasal 28C ayat (2) : Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya

Pasal 28D (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum

ii. Undang-Undang 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Pasal 2 ayat (1) : Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 5 :  Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berhak untuk:

  1. mengeluarkan pikiran secara bebas;
  2. memperoleh perlindungan hukum.

Sanksi Menghalang-Halangi Penyampaian Pendapat di Muka Umum (pasal 18 UU 9/1998) : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun. Tindak pidana ini adalah kejahatan.

iii. Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Pasal 24 ayat (1) : Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.

Pasal 25 : Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Pengaturan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Pasal 18 UU 9/1998 : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun. Tindak pidana ini adalah kejahatan.

Pasal 10 UU 9/1998 mengatur tentang tata cara penyampaian pendapat di muka umum

  • diberitahukan secara tertulis kepada Polri
  • disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok.
  • telah diterima Polri setempat selambat-lambatnya3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sebelum kegiatan dimulai
  • Pemberitahuan secara tertulis tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan.

Pasal 11 UU 9/1998 nya mengatur tentang Surat Pemberitahuan yang memuat:

  1. maksud dan tujuan;
  2. tempat, lokasi, dan rute;
  3. waktu dan lama;
  4. bentuk;
  5. penanggung jawab;
  6. nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan;
  7. alat peraga yang dipergunakan; dan atau
  8. jumlah peserta.

Pasal 14 UU 9/1998 : Pembatalan pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum disampaikan secara tertulis dan langsung oleh penanggung jawab kepada Polri selambat-lambatnya 24 jam sebelum waktu pelaksanaan.

Polri memiliki kewajiban dan tanggung jawab setelah menerima surat pemberitahuan (Pasal 13 UU 9/1998) segera memberikan surat tanda terima pemberitahuan;

  1. berkoordinasi dengan penanggung jawab penyampaian pendapat di muka umum;
  2. berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat;
  3. mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, dan rute.
  4. memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
  5. menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Pelanggaran terhadap syarat-syarat menyampaikan pendapat di muka umum diatur dalam Pasal 15 UU 9/1998. Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dapat dibubarkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Artinya tidak harus dibubarkan dan bukan tindak pidana.

c. Hak Anak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

 Pasal 13 Konvensi Hak Anak

  • Anak mempunyai hak untuk secara bebas menyatakan pendapat; hak ini akan mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberi informasi dan gagasan dalam segala 5 jenis, terlepas dari batas negara, baik secara lisan, tertulis maupun tercetak, dalam bentuk seni atau melalui media lain menurut pilihan anak yang bersangkutan.
  • Pelaksanaan hak ini dapat disertai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi pembatasan ini hanya dapat yang ditetapkan oleh undang-undang, dan diperlukan:
  1. untuk menghormati hak atau reputasi orang lain;
  2. untuk menghormati hak atau reputasi orang lain; atau

Pasal 15 Konvensi Hak Anak

  • Negara-negara Pihak mengakui hak anak atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul dengan damai.
  • Pembatasan apa pun tidak dapat dikenakan untuk menjalankan hak-hak ini, selain dari yang ditetapkan sesuai dengan hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau moral umum, atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain.

Pasal 24 UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak: Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin Anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan Anak.

Pasal 56 (1) UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak: Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu Anak, agar Anak dapat:

  1. berpartisipasi;
  2. bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya;
  3. bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan Anak;
  4. bebas berserikat dan berkumpul;
  5. bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan
  6. memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan.

d. Peraturan Yang Bertentangan dan/Atau Melampaui UU 9/1998

Terdapat Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum dan melalui Peratuan Internal Kepolisian ini sering dijadikan alasan untuk membubarkan secara represif bagi kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum.

Pasal 7

  • Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan, pada tempat dan waktu sebagai berikut: a. di tempat terbuka antara pukul 06.00 sampai dengan 00, waktu setempat; dan b. di tempat tertutup antara pukul 06.00 sampai dengan 22.00, waktu setempat.
  • Penyampaian pendapat di muka umum dilarang dilakukan pada waktu:
  1. hari besar nasional;
  2. hari besar lainnya yang ditentukan oleh Pemerintah; dan
  3. di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  • Penyampaian pendapat di muka umum dilarang dilakukan di:
  1. tempat ibadah, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat;
  2. objek-objek vital nasional dalam radius kurang dari 500 meter dari pagar luar;
  3. instalasi militer dalam radius kurang dari 150 meter dari pagar luar;
  4. di lingkungan istana kepresidenan (Presiden dan Wakil Presiden) dalam radius kurang dari 100 meter dari pagar luar; dan
  5. tempat yang rutenya melalui atau melintasi wilayah Istana Kepresidenan dan tempat-tempat ibadah pada saat ibadah sedang berlangsung

e. Wewenang Dan Kewajiban Kepolisian dalam Penggunaan Kekuatan berkenaan dengan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum

Penggunaan Kekuatan
Syarat umum

  1. dilaksanakan dengan kehadiran anggota Polri yang dapat diketahui dari (Pasal 6 Perkap 1/2009):
  2. seragam atau rompi atau jaket yang bertuliskan POLISI yang dikenakan oleh anggota Polri;
  3. kendaraan dengan tanda Polri;
  4. lencana kewenangan Polisi; atau
  5. pemberitahuan lisan dengan meneriakkan kata “POLISI“.
  6. Penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka

Berikut adalah tahapan, ancaman yang akan menentukan tahap mana suatu keadaan dan penggunaan kekuataan yang diperbolehkan pada tahapan-tahapan yang berbeda.

Tahapan Ancaman Penggunaan Kekuatan
1 kekuatan yang memiliki dampak deterrent/pencegahan
2 perintah lisan
3 tindakan pasif kendali tangan kosong lunak
4 tindakan aktif kendali tangan kosong keras
5 tindakan agresif kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata,

semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri

6 tindakan agresif yang bersifat segera yang:

a.      tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;

b.      anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;

c.       anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat

 

Laporan Pelaksanaan Penggunaan Kekuatan (Pasal 14 (3) Perkap 1/2009)

Anggota Polri yang melaksanakan penggunaan kekuatan wajib secara segera melaporkan pelaksanaannya kepada atasan langsung secara tertulis dalam bentuk formulir penggunaan kekuatan. Laporan memuat antara lain:

  1. tanggal dan tempat kejadian;
  2. uraian singkat peristiwa tindakan pelaku kejahatan atau tersangka,
  3. sehingga memerlukan tindakan kepolisian;
  4. alasan/pertimbangan penggunaan kekuatan;
  5. rincian kekuatan yang digunakan;
  6. evaluasi hasil penggunaan kekuatan;
  7. akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.

 

Penanganan Huru Hara (PHH)

PHH dilaksanakan apabila terjadi peningkatan situasi dari situasi kuning menjadi situasi merah.

  • Situasi Kuning (Pasal 5 Perkap 2/2019)
    Situasi kuning dapat berupa:
  1. unjuk rasa tidak damai/tidak tertib;
  2. massa pengunjuk rasa tidak mengindahkan imbauan/seruan petugas Polri;
  3. arus lalu lintas/kegiatan warga masyarakat dan pemerintahan terganggu;
  4. pengunjuk rasa mulai melempari petugas yang dapat mengakibatkan luka ringan; dan/atau
  5. negosiasi tidak berhasil.
    Dilaksanakan oleh Satuan Dalmas Lanjut. Pada saat terjadi pengendalian massa oleh Satuan Dalmas Lanjut, Satuan PHH Brimob Polri tetap siaga pada lokasi yang telah ditentukan.
  • Situasi Merah (Pasal 6 Perkap 2/2019)
    Situasi merah dapat berupa:
  1. unjuk rasa tidak terkendali;
  2. pengunjuk rasa tidak mengindahkan seruan Komandan Satuan PHH Brimob Polri; dan/atau
  3. pengunjuk rasa menggunakan benda-benda yang dapat mengakibatkan luka berat, kerugian harta benda dan hak asasi manusia.
  4. Dalam hal terjadi peningkatan situasi dari kuning ke merah dilakukan lintas ganti antara Satuan Dalmas Lanjut dengan Satuan PHH Brimob Polri atas perintah Kapolri dan/atau Kasatwil.

Larangan (Pasal 10 (1) Perkap 2/2019)
Larangan dalam penanganan huru hara paling sedikit meliputi:

  1. terpancing emosi oleh perilaku massa;
  2. melakukan tindakan kekerasan;
  3. membawa peralatan selain peralatan PHH;
  4. keluar dari formasi;
  5. bersikap arogan, mengucapkan kata-kata kotor, memaki-maki dan melakukan gerakan tubuh yang bersifat pelecehan seksual atau perbuatan asusila, dan atau memancing emosi massa; dan
  6. melakukan tindakan tanpa perintah Komandan satuan PHH Brimob Polri selaku penanggung jawab teknis di lapangan.

Kewajiban (Pasal 10 (1) Perkap 2/2019)
Kewajiban dalam penanganan huru hara paling sedikit meliputi:

  1. pelaksanaan PHH harus bersifat melindungi, mengayomi dan melayani; dan
  2. bergerak dan bertindak berdasarkan atas perintah komandan satuan PHH Brimob Polri secara berjenjang sesuai lingkup kewenangan tanggung jawab masing-masing.

Cara Bertindak dalam PHH (Pasal 11 Perkap 2/2019)

  1. setelah formasi terbentuk Komandan satuan PHH Brimob Polri memberikan imbauan Kepolisian secara lugas, tegas, sistematis sebanyak 3 kali terhadap pelaku aksi huru-hara; dan
  2. apabila imbauan Kepolisian tidak dihiraukan oleh pelaku aksi huru-hara, Komandan Satuan PHH Brimob Polri memerintahkan dan memberikan aba-aba kepada satuan PHH Brimob Polri, untuk melakukan:
  3. pendorongan massa;
  4. penyemprotan air dengan menggunakan water canon;
  5. penembakan gas air mata;
  6. pemadaman api bila terjadi pembakaran;
  7. penangkapan terhadap provokator atau agitator, apabila dipandang perlu; dan/atau
  8. pemasangan barikade dengan kawat barier atau auto barricade.
  9. Apabila massa bertindak semakin anarki yang menimbulkan korban jiwa, Kasatwil meminta lintas ganti dengan satuan anti anarkis Brimob Polri.


Kewajiban setelah selesai melaksanakan PHH (Pasal 12)
Komandan Satuan PHH Brimob Polri wajib:

  1. melaporkan perkembangan situasi dan kondisi terakhir kepada Kasatwil;
  2. menyerahterimakan tanggung jawab pemeliharaan situasi Kamtibmas kepada Kasatwil;
  3. menarik pasukan dari tempat kejadian ke tempat yang ditentukan/titik konsolidasi;
  4. melaksanakan konsolidasi pasukan, pengecekan peralatan serta evaluasi; dan
  5. membuat laporan setelah menggunakan seluruh kekuatan dan kemampuannya.

 

C. TEMUAN-TEMUAN

a. Data Umum
Sepanjang tahun 2019 (Januari s/d 22 Oktober), YLBHI mendapatkan pemantauan LBH-LBH tentang pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dimuka umum yang terjadi di Indonesia. Kami mencatat, setidaknya terdapat 78 kasus pelanggaran dan hal tersebut hanyalah data yang muncul dipermukaan serta tercatat dalam database.

Dari 78 kasus mayor tersebut, kami juga mencatat berkaitan dengan sebaran kasus, aktor pelanggar serta pola pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal aktor maupun pola pelanggaran, bisa dan memang lebih hampir selalu terjadi lebih dari satu pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa pada dasarnya hak asasi manusia pada hakikatnya ialah saling terhubung. Begitupula aktor pelanggar, dalam banyak kasus pelakunya lebih dari satu institusi/kelompok/orang.

     1) Korban

Dari 78 peristiwa yang tercatat, pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dimuka umum, yang terjadi selama 2019 di Indonesia, kami mencatat, paling minimal terdapat 6128 orang korban, 51 orang diantaranya meninggal dunia, dan 324 orang diantaranya ialah korban dengan kategori anak.

     2) Status Korban: Mahasiswa, Masyarakat dll


     3) Aktor

Dari 78 kasus mayor yang tercatat oleh kami setidaknya 67 kali POLRI, baik dari level kepolisian sektor (Polsek), resort (Polres), level daerah (Polda), hingga mabes POLRI menjadi aktor pelanggar. Satuan dari internal kepolisian yang melakukan pelanggaran juga tampak beragam, dari satuan Intelkam, Sabhara, Brimob, bahkan Satlantas. Sementara itu, dari TNI sebanyak 7 kali menjadi aktor pelanggar. Sama seperti dari institusi kepolisian, berbagai level dari Koramil hingga Kodam dan Mabes TNI bergantian menjadi aktor pelanggar. Selanjutnya Satpol PP dan Pemerintah Pusat tercatat 2 kali menjadi aktor pelanggar, sedangkan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota/Kab, Babinsa, dan Rumah Sakit tercatat masing-masing 1 kali menjadi aktor pelanggar. Sementara itu, dari unsur sipil, sebanyak 5 kali organisasi kemasyarakatan (ORMAS) menjadi pelaku pelanggar.

Hal yang patut disoroti lebih dalam, bahwa institusi pendidikan baik tingkat universitas dan sekolah menengah atas menjadi aktor pelanggar terbanyak kedua setelah institusi kepolisian yaitu sebanyak 8 kali menjadi aktor pelanggar, sedangkan dari pihak Sekolah 4 kali menjadi aktor pelanggar. Hal ini terutama dengan gelombang aksi #ReformasiDiKorupsi yang memang masif dilakukan oleh mahasiswa di Indonesia

     4) Jenis Pelanggaran 

 

 

 

No Total Kejadian (Kategori Umum) Kategori khusus Jumlah Kejadian
1 Penghalangan dan/atau Pembatasan aksi 32 Sweeping, penggeledahan tanpa hak, razia, dan/atau kebijakan penghalangan 32
2 Tindakan berkaitan alat/data pribadi 6 Penyitaan/perampasan, perusakan alat pribadi, dan/atau pembukaan data pribadi (Doxing dan Peretasan) 6
3 Pembubaran Tidak Sah 57 Pembubaran Paksa 32
Penggunaan alat/kekuatan secara berlebihan, termasuk penggunaan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam 25
4 Tindakan Kekerasan 68 Pengancaman/intimidasi, dikeluarkan dari sekolah/institusi, tidak mendapat SKCK, dll 24
Disertai stigma, diskriminasi, stereotipe dan/atau rasisme 9
Penganiayaan, penyiksaan, tindakan fisik yang merendahkan martabat, hingga penggunaan peluru tajam 35
5 Perburuan dan Penculikan 17 Diburu, dikejar, diculik/diciduk paska aksi 17
6 Kriminalisasi 95 Penangkapan + Salah tangkap 43
Penahanan 38
Upaya penal (penetapan tersangka, dst) 14
7 Penghalangan Pendampingan Hukum 6 Menghalangi pendampingan hukum, dan/atau korban tidak diberikan akses untuk bantuan hukum 6

 

Beralih ke pola pelangaran terhadap kebebasan berpendapat dimuka umum, bahwa kami mencatat setidaknya terdapat 7 pola umum dan 12 pola khusus pelanggaran yang terjadi selama tahun 2019 ini. Dalam satu kasus, dapat terjadi lebih dari 1 pola pelanggaran dan seringkali saling terhubung antara satu pola dengan pola pelanggaran lainnya. Pola umum dan khusus, beserta rinciannya yaitu sebagai berikut:

  1. Penghalangan dan/atau Pembatasan aksi, dengan total 32 kali kejadian. Pola umum tersebut dari berbagai pola khusus yaitu Sweeping, penggeledahan tanpa hak, razia, dan/atau kebijakan penghalangan;
  2. Tindakan berkaitan alat/data pribadi, dengan total 6 kali kejadian. Pola umum tersebut terdiri dari beberapa pola khusus seperti Penyitaan/perampasan, perusakan alat pribadi, dan/atau pembukaan data pribadi (Doxing dan Peretasan).
  3. Pembubaran Tidak Sah, dengan total 57 kali kejadian. Pola umum ini terdiri dari 2 pola khusus, yaitu:
    1. Pembubaran paksa, sebanyak 32 kali kejadian;dan
    2. Penggunaan alat/kekuatan secara berlebihan, termasuk penggunaan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam, sebanyak 25 kali kejadian
  4. Tindakan Kekerasan, dengan total 68 kali kejadian. Pola umum ini terdiri dari 3 pola khusus, yaitu:
    1. Pengancaman/intimidasi, dikeluarkan dari sekolah/institusi, tidak mendapat SKCK, dll, sebanyak 24 kali kejadian;
    2. Disertai stigma, diskriminasi, stereotipe dan/atau rasisme, sebanyak 9 kali kejadian; dan
    3. Penganiayaan, penyiksaan, tindakan fisik yang merendahkan martabat, hingga penggunaan peluru tajam, sebanyak 35 kali kejadian.
  5. Perburuan dan Penculikan, terjadi sebanyak 17 kali kejadian. Pola umum tersebut terdiri dari beberapa pola khusus yaitu Diburu, dikejar, diculik/diciduk paska aksi;
  6. Kriminalisasi, total terjadi sebanyak 95 kali kejadian. Pola umum ini terdiri dari 3 pola khusus, yaitu:
    1. Penangkapan + Salah tangkap, sebanyak 43 kali kejadian;
    2. Penahanan, sebanyak 38 kali kejadian; dan
    3. Upaya penal lanjutan (penetapan tersangka, dst), sebanyak 14 kali kejadian.
  7. Penghalangan Pendampingan Hukum, total terjadi sebanyak 6 kali kejadian.

 

5) Wilayah

Dari catatan mengenai sebaran kasus pelanggaran kebebasan berpendapat di muka umum, kami mencatat, bahwa Provinsi Papua dan Papua Barat (secara kumulatif) sebagai wilayah yang paling sering terjadi pelanggaran yaitu setidaknya terdapat 18 kasus, disusul DKI Jakarta setidaknya terdapat 11 kasus, selanjutnya ialah Jawa Tengah yang sering dicitrakan sebagai wilayah yang toleran terjadi setidaknya sebanyak 9 kasus, kemudian Sulawesi Selatan sebanyak 7 kasus, Bali 5 kasus, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan masing-masing terdapat 4 kasus pelanggaran, Sumatera Utara dan Yogyakarta masing-masing sebanyak 3 kasus, Jawa Barat dan Riau masing-masing terdapat setidaknya 2 kasus, sedangkan Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku, Kalimantan Barat, Aceh, dan Sulawesi Utara masing-masing terdapat 1 kasus.

     6) Aksi yang Mengalami Pelanggaran Hak

 

No. AKSI YANG MENGALAMI PELANGGARAN HAK MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM DAERAH WAKTU JUMLAH
1.       Hari Buruh/May Day Yogya Mei 1
Surakarta Mei 1
Bandung Mei 1
Jakarta Mei 1
Yogyakarta Mei 1
Surabaya Mei 1
Jayapura Mei 1
Makassar Mei 1
2.       Pengumuman Pemilu Jakarta Mei 1
3.       Papua
A.      Rasisme terhadap Papua Manokwari Agustus 1
Jayapura Agustus 1
Papua Agustus 1
Sorong Agustus 1
Fakfak Agustus 1
Deiyai Agustus 1
Paniai Agustus 1
Jakarta Agustus 2
Timika Agustus 1
Semarang Agustus 1
Jayapura Sept 1
Abepura Sept 1
Papua Sept 1
Wamena Sept 1
Jayapura Sept 1
B.      Respon kriminalisasi aktivis Papua Semarang Sept 1
C.      Hari adat Waena Agustus 1
D.      ULWMP Jayapura Agustus 1
E.       KNPB Timika, Papua Januari 1
Timika, Papua Februari 1
F.       Mahasiswa dukungan untuk Papua Maluku Maret 1
Surabaya Maret 1
G.      AMP Bali Januari 1
Bali April 1
H.      AMP – HAM Papua Semarang September 1
I.         Tutup Freeport Semarang April 1
4.       Robet – Aksi Kamisan untuk dwi fungsi Jakarta Maret 1
5.       Kartu ujian Sinjai Januari 1
6.       Aksi Hari Tari yang dianggap acara LGBT Pontianak April 1
7.       Peringatan 4 tahun perdamaian GAM – RI Aceh Agustus 1
8.       Aksi Reformasi Dikorupsi Pekanbaru September 1
Jakarta September 3
Makassar September 4
Malang September 1
Samarinda September 1
Bandung September 1
Solo September 1
Kendari September 1
Medan September 2
Pekanbaru September 1
Palangkaraya September 1
Yogyakarta September 1
Semarang September 2
Brebes September 1
Palembang September 2
Manado September 1
Surabaya September 1
Palangkaraya September 3
Bali September 3
Purwokerto Oktober 1
Medan Oktober 1
Jakarta Oktober 3

 

7) Data Korban Meninggal

Peristiwa Aksi Penyebab Kematian Jumlah Asal Informasi
Reformasi Dikorupsi Jakarta Tidak ada informasi resmi 3
Reformasi Dikorupsi Kendari Luka tembak 2 Dokter
21-23 Mei 2019 Luka tembak 4 Komnas HAM
Kehabisan nafas karena gas air mata 1 Komnas HAM
Tidak ada informasi resmi 4
Aksi anti rasisme Wamena Tidak ada informasi resmi 33
Aksi anti rasisme Jayapura Tidak ada informasi resmi 4

 

    8) Korban dan Tindakan yang Dialami 

Korban (Samping)/Perlakuan (Bawah) Mahasiswa Aktivis Masyarakat Buruh Anggota DPRD Jurnalis Orang Tua Murid Pelajar
Sweeping, penggeledahan tanpa hak, razia, dan/atau kebijakan penghalangan 16 3 5 5 0 0 0 5 34
Penyitaan/perampasan, perusakan alat pribadi, dan/atau pembukaan data pribadi (Doxing dan Peretasan) 1 2 2 1 0 0 0 0 6
Pembubaran Paksa 15 1 14 2 0 0 0 1 33
Penggunaan alat/kekuatan secara berlebihan, termasuk penggunaan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam 14 0 10 1 0 0 0 1 26
Pengancaman/intimidasi, dikeluarkan dari sekolah/institusi, tidak mendapat SKCK, dll 13 3 2 2 0 0 2 6 28
Disertai stigma, diskriminasi, stereotipe dan/atau rasisme 3 1 2 2 0 0 0 1 9
Penganiayaan, penyiksaan, tindakan fisik yang merendahkan martabat, hingga penggunaan peluru tajam 19 1 12 2 1 1 0 1 37
Diburu, dikejar, diculik/diciduk paska aksi 15 1 0 0 0 0 0 2 18
Penangkapan + Salah tangkap 21 5 13 3 1 0 0 2 45
Penahanan 18 4 13 3 0 0 0 1 39
Upaya penal (penetapan tersangka, dst) 4 4 6 0 0 0 0 1 15
Menghalangi pendampingan hukum, dan/atau korban tidak diberikan akses untuk bantuan hukum 3 0 0 1 0 0 0 0 4
142 25 79 22 2 1 2 21 294

 

Kami mencatat kedua-belas pola khusus (dari 7 pola umum) pelanggaran yang paling sering diterima oleh setidaknya 8 korban. Mahasiswa sebanyak 16 kali mendapatkan Sweeping, penggeledahan tanpa hak, razia, dan/atau kebijakan penghalangan, 1 kali mengalami Penyitaan/perampasan, perusakan alat pribadi, dan/atau pembukaan data pribadi (Doxing dan Peretasan), 15 kali mengalami Pembubaran Paksa, 14 kali mengalami pelanggaran dengan Penggunaan alat/kekuatan secara berlebihan, termasuk penggunaan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam, 13 kali mengalami Pengancaman/intimidasi, dikeluarkan dari sekolah/institusi, tidak mendapat SKCK, dll, 3 kali mengalami pelangaran yang Disertai stigma, diskriminasi, stereotipe dan/atau rasisme, 19 kali mengalami Penganiayaan, penyiksaan, tindakan fisik yang merendahkan martabat, hingga penggunaan peluru tajam, 15 kali Diburu, dikejar, diculik/diciduk paska aksi, 21 kali mengalami penangkapan, 18 kali mengalami penahanan, dan 4 kali kasusnya dilanjutkan pada upaya penal lanjutan (penetapan tersangka, dst). Terakhir, mahasiswa 3 kali tercatat tidak mendapatkan haknya terhadap bantuan hukum.

Aktivis sebanyak 3 kali mendapatkan Sweeping, penggeledahan tanpa hak, razia, dan/atau kebijakan penghalangan, 2 kali mengalami Penyitaan/perampasan, perusakan alat pribadi, dan/atau pembukaan data pribadi (Doxing dan Peretasan), 1 kali mengalami Pembubaran Paksa, 3 kali mengalami Pengancaman/intimidasi, dikeluarkan dari sekolah/institusi, tidak mendapat SKCK, dll, 1 kali mengalami pelangaran yang Disertai stigma, diskriminasi, stereotipe dan/atau rasisme, 1 kali mengalami Penganiayaan, penyiksaan, tindakan fisik yang merendahkan martabat, hingga penggunaan peluru tajam, 1 kali Diburu, dikejar, diculik/diciduk paska aksi, 5 kali mengalami penangkapan, 4 kali mengalami penahanan, dan 4 kali kasusnya dilanjutkan pada upaya penal lanjutan (penetapan tersangka, dst).

Rakyat secara umum sebanyak 5 kali mendapatkan Sweeping, penggeledahan tanpa hak, razia, dan/atau kebijakan penghalangan, 2 kali mengalami Penyitaan/perampasan, perusakan alat pribadi, dan/atau pembukaan data pribadi (Doxing dan Peretasan), 14 kali mengalami Pembubaran Paksa, 10 kali mengalami pelanggaran dengan Penggunaan alat/kekuatan secara berlebihan, termasuk penggunaan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam, 2 kali mengalami Pengancaman/intimidasi, dikeluarkan dari sekolah/institusi, tidak mendapat SKCK, dll, 2 kali mengalami pelangaran yang Disertai stigma, diskriminasi, stereotipe dan/atau rasisme, 12 kali mengalami Penganiayaan, penyiksaan, tindakan fisik yang merendahkan martabat, hingga penggunaan peluru tajam, 13 kali mengalami penangkapan, 13 kali mengalami penahanan, dan 6 kali kasusnya dilanjutkan pada upaya penal lanjutan (penetapan tersangka, dst).

Buruh sebanyak 5 kali mendapatkan Sweeping, penggeledahan tanpa hak, razia, dan/atau kebijakan penghalangan, 1 kali mengalami Penyitaan/perampasan, perusakan alat pribadi, dan/atau pembukaan data pribadi (Doxing dan Peretasan), 2 kali mengalami Pembubaran Paksa, 1 kali mengalami pelanggaran dengan Penggunaan alat/kekuatan secara berlebihan, termasuk penggunaan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam, 2 kali mengalami Pengancaman/intimidasi, dikeluarkan dari sekolah/institusi, tidak mendapat SKCK, dll, 2 kali mengalami pelangaran yang Disertai stigma, diskriminasi, stereotipe dan/atau rasisme, 2 kali mengalami Penganiayaan, penyiksaan, tindakan fisik yang merendahkan martabat, hingga penggunaan peluru tajam, 3 kali mengalami penangkapan, 3 kali mengalami penahanan, dan 1 kali tercatat tidak mendapatkan haknya terhadap bantuan hukum.

Pelajar sebanyak 5 kali mendapatkan Sweeping, penggeledahan tanpa hak, razia, dan/atau kebijakan penghalangan, 1 kali mengalami Pembubaran Paksa, 1 kali mengalami pelanggaran dengan Penggunaan alat/kekuatan secara berlebihan, termasuk penggunaan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam, 6 kali mengalami Pengancaman/intimidasi, dikeluarkan dari sekolah/institusi, tidak mendapat SKCK, dll, 1 kali mengalami pelangaran yang Disertai stigma, diskriminasi, stereotipe dan/atau rasisme, 1 kali mengalami Penganiayaan, penyiksaan, tindakan fisik yang merendahkan martabat, hingga penggunaan peluru tajam, 2 kali Diburu, dikejar, diculik/diciduk paska aksi, 2 kali mengalami penangkapan, 1 kali mengalami penahanan, dan 1 kali kasusnya dilanjutkan pada upaya penal lanjutan (penetapan tersangka, dst). Sedangkan orang tua murid 2 kali mengalami Pengancaman/intimidasi, dikeluarkan dari sekolah/institusi, tidak mendapat SKCK, dll. Terakhir, Jurnalis dan Anggota DPRD masing-masing 1 kali mengalami Penganiayaan, penyiksaan, tindakan fisik yang merendahkan martabat, hingga penggunaan peluru tajam.

    9) Aktor dan Tindakan Pelanggaran

Korban (Samping)/Pelaku (Bawah Mahasiswa Aktivis Rakyat Buruh Anggota DPRD Jurnalis Orang Tua Murid Pelajar TOTAL
Polisi 28 7 18 7 1 1 0 5 67
Ormas 3 1 1 0 0 0 0 0 5
Univ/Kampus 8 0 0 0 0 0 0 0 8
TNI 0 1 6 0 0 0 0 0 7
Satpol PP 1 0 1 0 0 0 0 0 2
Pemkot 0 0 1 0 0 0 0 0 1
Sekolah 0 0 0 0 0 0 2 2 4
Pem. Pusat 1 0 0 0 0 0 0 1 2
Babinsa 1 0 0 0 0 0 0 0 1
Pemprov 0 0 0 0 0 0 0 1 1
42 9 27 7 1 1 2 9 98

Dari 78 kasus mayor yang tercatat oleh kami, setidaknya 67 kali POLRI, baik dari level kepolisian sektor (Polsek), resort (Polres), level daerah (Polda), hingga mabes POLRI menjadi aktor pelanggar. Satuan dari internal kepolisian yang melakukan pelanggaran juga tampak beragam, dari satuan Intelkam, Sabhara, Brimob, bahkan Satlantas. Sementara itu, dari TNI sebanyak 7 kali menjadi aktor pelanggar.

Sama seperti dari institusi kepolisian, berbagai level dari Koramil hingga Kodam dan Mabes TNI bergantian menjadi aktor pelanggar. Selanjutnya Satpol PP dan Pemerintah Pusat tercatat 2 kali menjadi aktor pelanggar, sedangkan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota/Kab, Babinsa, dan Rumah Sakit tercatat masing-masing 1 kali menjadi aktor pelanggar. Sementara itu, dari unsur sipil, sebanyak 5 kali organisasi kemasyarakatan (ORMAS) menjadi pelaku pelanggar.

 

KESIMPULAN

  1. Terjadi pergeseran cara pandang pemerintah khususnya aparat penegak hukum tentang demonstrasi; dari sebuah hak yang dilindungi Konstitusi dan UU menjadi tindakan yang perlu diwaspadai bahkan sebuah kejahatan. Hal ini ditandai dengan munculnya kebijakan yang membatasi hak menyampaikan pendapat di muka umum. Penghalang-halangan, perburuan hingga penangkapan tidak berlasan setelah aksi menunjukkan aparat menganggap sifat dasar demonstrasi adalah melanggar hukum.
  2. Negara khususnya pemerintah tidak menjalankan akuntabilitas terhadap peristiwa pelanggaran hak kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Mulai dari memberikan informasi sejelas-sejelasnya atas penyebab jatuhnya korban hingga penegakan hukum terhadap pelaku khususnya yang berasal dari penegak hukum.
  3. Korban yang terjadi akibat pergeseran cara pandang tersebut tidak mendapatkan pemulihan yang sesuai, termasuk pemulihan harkat dan martabatnya.

 

REKOMENDASI 

  1. Negara perlu mendorong adanya penegakan hukum terhadap jatuhnya korban. Negara dalam hal ini meliputi Komnas HAM, ORI, Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri, Kapolri dan DPR khususnya Komisi III sebagai pengawas jalannya penegakan hukum.
  2. Evaluasi menyeluruh terhadap aparat perlu dilakukan termasuk terhadap sistem pendidikan, jalur komando, sistem pengawasan internal, dan sistem pengawasan ekternal.
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *