Over-kriminalisasi pada Pasal-Pasal RKUHP Mengesampingkan Aspek Kesehatan Masyarakat

Aliansi KUHP Jawa Timur

Namun nyatanya, pasal-pasal dalam RKUHP lebih mementingkan pendekatan kriminalisasi daripada kesehatan, beberapa diantaranya: kriminalisasi promosi alat kontrasepsi, kriminalisasi aborsi, dan kriminalisasi pecandu dan pengguna narkotika.

 

Presiden Jokowi mendeklarasikan visi dan misi untuk Pemerintahannya 5 tahun ke depan pada 14 Juli 2019 di Sentul, Jawa Barat setelah dinyatakan secara resmi sebagai Presiden Terpilih oleh KPU. Arahan Presiden yang disampaikan pada pidato deklarasi tersebut kemudian dituangkan dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RT RPJMN) 2020-2024 yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas). Dalam dokumen tersebut, Presiden berkomitmen untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui perbaikan kualitas kesehatan masyarakat, salah satu diantaranya dengan menjamin kesehatan ibu, kesehatan bayi, dan menurunkan angka kematian ibu-bayi.

Akan tetapi, komitmen Presiden tersebut akan sulit terwujud ketika RKUHP yang saat ini digadang-gadang akan disahkan pada bulan Agustus-September 2019 mendatang diberlakukan. Sebab, pasal-pasal dalam draft terakhir RKUHP versi 25 Juni 2019 telah secara nyata-nyata mengesampingkan aspek kesehatan sehingga ketentuan pasal-pasal dalam draft tersbeut masih diliputi dengan masalah overkriminalisasi (tindakan kriminalisasi yang berlebihan).

Pertama, kriminalisasi terhadap promosi alat pencegah kehamilan termasuk kontrasepsi. RKUHP menyatakan bahwa edukasi dan promosi hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang, padahal berdasarkan Pasal 21 PP No 61 tahun 2014 pelayanan kontrasepsi salah satunya diselenggarakan oleh masyarakat. Selain itu, jumlah kader kesehatan terlatih yang mana berpotensi dikriminalisasi karena ketentuan tersebut hingga 2014 saja berjumlah 569.477 orang (sumber: Kementerian Kesehatan). Di sisi lain, ketentuan tersebut juga secara jelas akan menghambat banyak program pemerintah seperti program keluarga berencana, program edukasi kesehatan reproduksi dan program penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Perlu diketahui bahwa angka konseling KTD yang masuk ke klinik PKBI adalah 1346 dari tahun 2015-2018 (Sumber: Data PKBI). Sedangkan data orang yang terinfeksi HIV di Jawa Timur hingga 2017 mencapai 33.043 orang, kedua tertinggi setelah DKI Jakarta (sumber: data Kemenkes). Kemudian kasus AIDS hingga Maret 2017 di Jawa Timur mencapai 17,014 yang mana tertinggi seluruh Indonesia (sumber: Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur).

Kedua, kriminalisasi terhadap setiap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan meskipun terdapat indikasi medis atau korban perkosaan. RKUHP berusaha mengkriminalkan semua bentuk perbuatan pengguguran kandungan, terlebih lagi secara spesifik pasal tersebut mengkriminalkan perempuan, termasuk perempuan korban kekerasan. Pengecualian pemidanaan hanya berlaku pada dokter yang melakukan aborsi tersebut, namun tetap berlaku untuk perempuan yang melakukan. Hal ini jelas diskriminatif dan akan membahayakan program Pemerintah yang berkomitmen untuk menurunkan angka kematian ibu hamil dan angka kematian dini bayi. Di Jawa Timur pada 2017, Angka Kematian Ibu 91,92/100.000 kelahiran hidup yang mana mengalami peningkatan dari tahun 2015 yang mencapai 89,6/100.000 (sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2017).

Ketiga, potensi kriminalisasi pecandu dan pengguna narkotika. RKUHP yang dianggap sebagai induk dari segala ketentuan hukum pidana memasukkan beberapa tindak pindak pidana khusus yang telah diatur dalam undang-undang sektoral, salah satunya adalah tindak pidana narkotika. Ketentuan tindak pidana narkotika dalam RKUHP hanya memindahkan pasal-pasal pidana dalam UU 35/2009 tentang Narkotika meskipun pasal-pasal tersebut merupakan pasal-pasal karet yang multitafsir. Pemerintah akan kembali mengulang kesalahannya dalam perumusan RKUHP ini karena telah memberikan celah yang mengakibatkan pecandu dan pengguna narkotika tidak mendapatkan akses kesehatan yang memadai ketika dijatuhi hukuman penjara akibat diterapkannya ketentuan pasal karet tersebut.

 Keempat, kriminalisasi terhadap setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan (zina). Sebelumnya, dalam KUHP yang berlaku sekarang, kriminalisasi hanya untuk pihak yang berada dalam perkawinan, namun melalui ketentuan pasal zina dalam RKUHP, kriminalisasi dapat dilakukan pada setiap bentuk persetubuhan di luar perkawinan. Ketentuan tersebut merupakan delik aduan yang hanya dapat diproses atas aduan suami, istri, orang tua atau anak. Namun delik aduan berdasarkan pengaduan orang tua ini malah di sisi lain akan dapat meningkatkan angka perkawinan anak. Padahal angka perkawinan anak di Jawa Timur pada 2017 masuk lima besar di Indonesia, yakni mencapai 340.000 (sumber: data KPPPA). Sebab, dengan adanya ketentuan tersebut, perkawinan nantinya akan menjadi solusi setiap persetubuhan di luar nikah yang dilakukan oleh anak untuk menghindari agar anak tidak dipidana. Oleh karenanya, ketentuan kriminalisasi ini tidak diperlukan menimbang pidana juga bukan satu-satunya solusi yang dapat diberikan khususnya bagi remaja.

Selain keempat tindak pidana di atas, masih terdapat beberapa isu terkait kesehatan dan juga gender lainnya yang juga direspon dengan tindakan kriminalisasi secara berlebihan melalui ketentuan RKUHP. Pengadopsian hukum yang hidup dalam masyarakat misalnya, akan menimbulkan celah praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang karena tidak dinyatakan dalam hukum tertulis. Adanya ketentuan tersebut dapat membuka peluang penangkapan sewenang-wenang terhadap kelompok minoritas seksual yang dianggap tidak sesuai dengan norma yang hidup dalam masyarakat.

Lalu isu yang paling menggelikan adalah masalah penggelandangan yang diancam dengan pidana denda hingga 1 juta rupiah. Secara historis, adanya kriminalisasi penggelandangan tersebut berawal dari wacana untuk untuk meniadakan jasa pekerja seks di jalanan. Namun hal ini dalam praktiknya malah dapat membuka celah penangkapan terhadap pengamen jalanan atau tunawisma yang otomatis tidak mampu membayar denda sehingga pilihan yang ada hanya mengirimnya ke dalam penjara sehingga akan memperburuk kondisi lapas yang telah kelebihan muatan (overcrowded). Padahal kondisi di Jawa Timur sendiri telah banyak kasus penangkapan terhadap kelompok rentan transgender dan pekerja seks di jalanan dengan diberlakukannya Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat khususnya pada Pasal 37.

Terakhir, mengenai delik perkosaan khususnya yang dilakukan terhadap anak dimana masih terdapat unsur “memaksa” yang mana seharusnya perumusan perkosaan terhadap anak meliputi seluruh bentuk persetubuhan yang dilakukan terhadap anak (statutory rape). Sleian itu, ketentuan mengenai perkosaan anak sebenarnya tidak perlu lagi diatur dalam RKUHP oleh karena UU Perlindungan Anak juga telah mengatur mengenai perkosaan anak.

Masalah-masalah yang muncul dalam RKUHP diatas tidak dapat dilepaskan dari beberapa faktor berikut. Pertama, tidak dilibatkannya ahli-ahli dan badan/lembaga terkait, salah satunya ahli kesehatan, dalam proses pembahasan RKUHP. Kedua, semangat untuk mengesahkan RKUHP hanya semata-mata untuk ingin melepaskan label “warisan kolonial” namun tidak dikuatkan dengan semangat reformasi hukum pidana dengan tujuan pemidanaan yang jelas dan terukur. Ketiga, tidak ada evaluasi yang berbasis bukti penelitian (evidence-based) mengenai pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini.

Oleh karenanya, kami Aliansi Jawa Timur Reformasi KUHP, mendorong agar Pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan ulang rencana pengesahan RKUHP yang nyata-nyata akan menimbulkan banyak masalah baru sebagaimana disebutkan di atas. Namun di sisi lain, berikut hal-hal yang dapat dilakukan Pemerintah dalam melakukan pembaharuan hukum nasional adalah sebagai berikut: Pertama, melakukan penerjemahan secara resmi terhadap KUHP yang berlaku saat ini; Kedua, mengevaluasi naskah KUHP yang telah diterjemahkan secara resmi untuk memilah ketentuan mana yang dapat diprioritaskan untuk diubah atau dihapus; Ketiga, berdasarkan hasil evaluasi tersebut, melakukan pembahasan revisi KUHP dengan menetapkan isu-isu yang dianggap prioritas dan melibatkan ahli-ahli dan badan/lembaga pada seluruh bidang terkait termasuk ahli kesehatan dan mengadopsi pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).

 

Surabaya, 31 Juli 2019

Hormat Kami,

 

Aliansi Jawa Timur Reformasi KUHP

CP Jubir: Zahra (083839999090)

 

Aliansi Jatim

Reformasi KUHP :

  1. LBH Surabaya;
  2. PKBI Jatim;
  3. Savy Amira;
  4. Gaya Nusantara;
  5. Perwakos;
  6. Gusdurian Surabaya;
  7. Hotline Surabaya;
  8. PPT Jatim;
  9. Aji Surabaya;
  10. PDM Aisyah;

 

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *