Pembacaan Tuntutan pada Sidang Kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar: Seluruh Tuntutan JPU Sesat (Malicious Prosecution) Serta Menginjak-injak Hukum dan Demokrasi

WhatsApp Image 2023-11-13 at 18.01.43

Siaran Pers

Pembacaan Tuntutan pada Sidang Kriminalisasi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar: Seluruh Tuntutan JPU Sesat (Malicious Prosecution) Serta Menginjak-injak Hukum dan Demokrasi

Jakarta, 13 November 2023 – Kasus kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS 2020-2023) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) akhirnya sampai pada tahap pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebelum Jaksa membacakan tuntutannya, kami mengajukan alat bukti surat yang telah kami hadirkan sebelumnya pada proses pemeriksaan saksi dan ahli. Alat bukti surat ini bertujuan untuk memperkuat pembuktian bahwa Fatia dan Haris tidak bersalah dan harus dinyatakan bebas dari segala dakwaan.

Dalam pembukaan surat penuntutan Jaksa begitu tendensius dengan menyebutkan berhenti menggunakan isu Hak Asasi Manusia (HAM), anti korupsi dan lingkungan di Papua sebagai dalih untuk lari dari pertanggungjawaban pidana. Selain itu, kami pun menyoroti narasi Jaksa yang menyerang cara-cara penasihat hukum dan penonton yang dianggap membuat kegaduhan. Hal ini sangat problematik, sebab Jaksa bukan hanya menjatuhkan martabat Fatia dan Haris, akan tetapi menjatuhkan rasa solidaritas yang terbangun di antara kelompok masyarakat sipil.

Jaksa pun mempermasalahkan sesi pembuktian saksi dan ahli karena dianggap tidak objektif dan tidak berdasarkan sumpah. Tuduhan ini sungguh serius, selain meragukan kapasitas saksi dan ahli yang kami hadirkan, hal ini pun menuduh bahwa keterangan saksi dan ahli yang kami hadirkan manipulatif serta berbohong. Padahal, sikap saksi dan ahli yang kami hadirkan sejauh ini sangat kooperatif dan menjawab seluruh pertanyaan. Adapun pertanyaan yang tidak dijawab merupakan respon dari saksi dan ahli kami atas pertanyaan bodoh serta tidak perlu yang disampaikan oleh JPU.

Hal-hal yang disampaikan Jaksa dalam penuntutan menurut kami mengenyampingkan proses pembuktian di persidangan. Jaksa sama sekali tidak menyinggung persoalan kebebasan berekspresi, konflik kepentingan pejabat hingga narasi Anti-SLAPP yang telah disampaikan pada proses pembuktian. Jaksa pun mengenyampingkan fakta podcast yang berbasis riset berupa kajian cepat masyarakat sipil.

Proses pembacaan tuntutan pada sidang kali ini pun kian menegaskan bahwa Jaksa betul-betul membela kepentingan Luhut, bukan kepentingan publik. Jaksa menyampaikan bahwa Luhut sama sekali tidak terlibat dalam praktik pertambangan di Papua. Padahal, dalam proses pembuktian saksi yang dihadirkan oleh Jaksa sendiri yakni Paulus Prananto mengakui bahwa perusahaan yang dimiliki Luhut pernah menjajaki kesepakatan bisnis pertambangan di Intan Jaya dengan West Wits Mining dan PT Qurrota Madinah Ain.

Dalam pembahasan Pembela HAM, Jaksa dalam surat tuntutannya menyatakan bahwa pemberian label Pembela HAM bukan alasan pembenar dari tindakan yang dilakukan oleh Fatia-Haris. Jaksa justru mengarahkan bahwa hak, martabat dan nama baik Luhut lah yang dilanggar oleh Haris dan Fatia. Paradigma ini lagi-lagi keliru, sebab kritik yang disampaikan

oleh kedua pembela HAM ini dalam kapasitas Luhut sebagai pejabat publik bukan individu. Argumentasi soal penghinaan pejabat publik dari Jaksa pun sekali lagi menegaskan biasnya Jaksa dalam menuntut kasus ini. Sebagaimana disebutkan pada Surat Keputusan Bersama Menteri Kominfo, Jaksa Agung dan Kapolri menyatakan bahwa korban sebagai pelapor merupakan orang perseorangan dengan identitas spesifik dan bukan profesi, institusi, korporasi dan jabatan.

Lebih lanjut, Jaksa dalam surat tuntutannya pun membahas batasan antara kritik dan penghinaan. Dalam keterangannya, Jaksa mengutip beberapa pendapat ahli, yang menyatakan bahwa kritik seharusnya disampaikan dengan sopan dan bersifat konstruktif. Padahal yang dilakukan oleh Fatia dan Haris murni merupakan kritik publik yang dijamin dalam negara demokratis.

Isi dakwaan kami anggap lebih ‘Luhut’ daripada Luhut, karena dalam beberapa kesempatan menyebutkan perasaan Luhut yang tersinggung, nama baik yang tercemar dan sikap batin Luhut lainnya. Hal ini sangat berlebihan, sebab jika dilihat dari track recordnya, Luhut merupakan mantan Jenderal yang berkarir puluhan tahun di institusi kemiliteran. Hal-hal yang Jaksa bacakan terkait perasaan Luhut dilebih-lebihkan dan terlihat sekali ingin menjerat Fatia dan Haris atas dasar perasaan serta kepentingan korban.

Tuntutan pun mengada-ngada, sebab banyak fakta dan dalil yang disusun secara sembarangan. Misalnya, Jaksa menyatakan bahwa Fatia terlibat aktif dalam penyusunan konten terbukti dari tindakan menyusun catatan-catatan yang berisi nama-nama yang akan disebutkan pada saat sebelum podcast dilakukan. Dalil ini tentu saja tidak benar, sebab faktanya, Fatia saat video tersebut direkam Fatia hanya membawa kajian cepat 9 masyarakat sipil.

Berdasarkan surat tuntutan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, tindakan Haris Azhar pada intinya dinyatakan telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) jo. UU ITE Pasal 55 ke (1) KUHP. Adapun tuntutan yang diajukan Jaksa yakni menghukum 4 tahun dan denda 1 Juta Rupiah subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Jaksa juga meminta agar link youtube Haris Azhar dihapus dari jaringan internet. Sementara itu, Fatia dinyatakan telah bersalah melanggar pasal yang sama dengan Haris. Tuntutan yang dimohonkan oleh JPU kepada Fatia yakni selama 3 tahun 6 bulan.

“Kami menilai bahwa tuntutan ini jauh dari objektif, sebab didasarkan pada ketidaksukaan, bukan pada pertimbanga-pertimbangan hukum yang relevan. Fakta-fakta yang dijabarkan pun sangat tendensius dan penuh dengan karangan. Adapun konstruksi analisis yang dibangun pun sangat keliru, karena didasarkan fakta-fakta yang salah. Jaksa tidak sama sekali menyinggung substansi terkait kerusakan lingkungan hidup, masyarakat adat, hingga kekerasan di Papua. Justu, Jaksa menyatakan semua isu yang diangkat merupakan rekayasa. Hal ini tentu mencederai dan melecehkan martabat perjuangan masyarakat sipil khususnya di Papua.” Kata Nurkholis Hidayat dari Tim Advokasi untuk Demokrasi.

Nurkholis Hidayat menambahkan “Kami menilai bahwa tuntutan Jaksa merupakan bagian dari Malicious Prosecution, sebab tuntutan ini tidak berdasarkan hasil-hasil pembuktian di persidangan. Tuntutan yang dibacakan Jaksa memiliki muatan permusuhan pribadi, bias, atau alasan lain di luar kepentingan keadilan. Hal ini dapat dilihat dari tuntutan pidana maksimal yakni penjara 4 tahun dan Jaksa menyatakan bahwa tidak ada satupun alasan yang meringankan.”

“Tuntutan ini merupakan bentuk menginjak-nginjak hukum sekaligus alarm berbahaya bagi situasi demokrasi khususnya kebebasan sipil di Indonesia. Selain itu, tuntutan ini kian mempertegas bahwa Jaksa merupakan institusi penegak hukum yang memberikan sumbangsih besar terhadap buruknya situasi HAM, khususnya kebebasan dalam berpendapat. Jaksa pun bertindak tidak profesional karena melahirkan tuntutan manipulatif, jahat dan politis. Terlebih penggunaan UU ITE lagi-lagi menegaskan bahwa produk hukum ini problematic, bersifat karet dan menggerus hak-hak digital masyarakat.” Ujar Muhammad Isnur, Tim Advokasi untuk Demokrasi.

Isnur menambahkan “Jaksa bahkan mengutip quote dari buzzer di akhir surat tuntutannya. Hal ini memperlihatkan bobroknya institusi Kejaksaan selama ini. Selain itu, Jaksa pun melakukan tuduhan yang sangat serius, sebab menganggap masyarakat sipil melakukan tindakan kriminal akan tetapi sering berdalih pada HAM dan kebebasan.”

Tuntutan ini kembali memperpanjang deretan langkah pembungkaman terhadap suara masyarakat sipil yang kritis. Selain itu, Jaksa seperti ingin menyampaikan pesan bahwa siapapun yang keras terhadap dengan pejabat, harus siap dituntut secara hukum. Lebih lanjut, terdapat pesan yang begitu kuat yakni terbangunnya iklim ketakutan dan jangan coba untuk mendalihkan pada kebebasan berekspresi dan HAM. Akhirnya, proses persidangan ini lagi-lagi membuktikan bahwa Jaksa merupakan alat kekuasaan untuk membungkam mereka yang berbeda serta menunjukan fenomena regresi demorkasi yang semakin kuat.

 

Narahubung:

Asfinawati (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Nurkholis Hidayat (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Muhammad Isnur (Tim Advokasi untuk Demokrasi)
Andi Muhammad Rezaldy (Tim Advokasi untuk Demokrasi)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *