Pemerintah Harus Serius Tuntaskan 7 Masalah Krusial  Pendidikan Nasional Indonesia

Pernyataan Sikap Hari Pendidikan Nasional 2024 YLBHI

Pernyataan sikap YLBHI dalam Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2024
YLBHI: Pemerintah Harus Serius Tuntaskan 7 Masalah Krusial
Pendidikan Nasional Indonesia

 

YLBHI memandang masalah pendidikan tidak menjadi persoalan prioritas dua periode pemerintahan Joko Widodo. Akibatnya berbagai persoalan mendasar di sektor pendidikan belum dapat diatasi. Tanggung Jawab Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa masih terhambat oleh berbagai persoalan. 

Hari ini 2 Mei 2024 diperingati sebagai hari pendidikan nasional. Hari yang seharusnya menjadi pengingat kepada negara telah seberapa jauh telah berperan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan mandat konstitusi. Konstitusi sebagaimana dalam Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, sehingga menjadi dosa besar konstitusional apabila Pemerintah bertindak abai atas berbagai persoalan hak atas  pendidikan warga negara Indonesia dan berbagai masalah perlindungan dan pemenuhannya yang merupakan tanggungjawab pemerintah. 

YLBHI memberikan beberapa catatan terkait dengan permasalahan pendidikan di Indonesia sebagaimana berikut: 

1. Mahalnya biaya pendidikan dan pentingnya mewujudkan pendidikan gratis 

Pasal 13 ayat (2)  UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mewajibkan indonesia untuk mengupayakan pendidikan cuma-cuma/gratis pada masing-masing jenjang pendidikan baik dasar, lanjutan dan tinggi. Namun, pengamatan YLBHI menunjukkan bahwa negara masih belum sepenuhnya menggratiskan pendidikan dasar dan lanjutan, dalam praktiknya masih banyak Sekolah Negeri membebankan biaya pendidikan atas nama sumbangan pendidikan. 

Pada level pendidikan tinggi, kewajiban negara untuk menyelenggarakan pendidikan gratis masih jauh dari panggang api. Polemik mengenai penentuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin mahal selalu menjadi akar permasalahan yang menahun oleh banyak Universitas-Universitas Negeri dengan status PTNBH. Ironisnya, sebagai solusi atas persoalan pembiayaan pendidikan, Kampus justru ‘menjebak’ peserta didik dalam jerat pinjaman online. Bahkan saat ini terdapat 83 institusi Pendidikan Tinggi secara resmi bekerjasama dengan Perusahaan Pinjaman Online yang akan diakses oleh mahasiswa apabila tidak mampu membayar SPP.   

2. Kesejahteraan guru, dosen dan tenaga pendidikan belum Terpenuhi

Eksistensi guru dan dosen sebagai tenaga profesional yang dibebankan untuk mengembangkan potensi peserta didik tidak sebanding dengan kesejahteraan yang seharusnya didapat. Hal ini tercermin dalam dalam pengamatan YLBHI yang menunjukkan bahwa upah guru honorer berkisar antara 1,5 juta sampai 2 juta di kota-kota besar, sementara di daerah berkisar 300 ribu sampai 1 juta. Hal tersebut juga terjadi pada dosen, Riset Kesejahteraan Dosen yang dilakukan oleh Serikat Pekerja Kampus menunjukkan sebanyak 42,9% dosen menerima upah dibawah 3 juta perbulan dan 58% tenaga kependidikan merasa penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan hidup. Permasalahan ini tidak terjawab oleh anggaran pendidikan yang setiap tahunnya meningkat sebanyak 6%. 

3. Korupsi pendidikan 

Sektor pendidikan masih menjadi sektor yang berpotensi besar sebagai ladang korupsi bagi penyelenggara pendidikan yang disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan serta penegakan hukum. YLBHI mencatat, perilaku koruptif seperti banyaknya kasus pungutan liar, gratifikasi, kolusi ketika melakukan pengadaan barang dan nepotisme di saat penerimaan peserta didik baru masih menjadi tren tindakan koruptif. Pola ini terlihat pada kasus yang didampingi oleh LBH Medan terhadap 107 Guru Honorer di Sumatera Utara yang menjadi korban Gratifikasi disaat proses penerimaan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Ironisnya pada hari pendidikan nasional 2024, Anggie Ratna Fury Putri seorang Guru Honorer Sekolah SD 050666 Lubuk Dalam Kabupaten Langkat dipecat oleh Kepala Sekolah lantaran mengikuti demo mengkritisi proses seleksi yang curang. 

4. Minimnya partisipasi bermakna (meaningfull participation) dalam perumusan kebijakan pendidikan 

Salah satu amar Putusan Mahkamah Agung No 2596 K/PDT/2008 yang memutus perselisihan antara masyarakat sipil yang menolak pelaksanaan Ujian Nasional memerintahkan pemerintah untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional. Proses peninjauan kembali bertitik tolak pada upaya sejauh mana sistem pendidikan nasional telah menjawab kebutuhan-kebutuhan mendasar masyarakat dan peningkatan kualitas pendidikan di tanah air. Alih-alih melakukan itu, tahun 2022 menjadi saksi bagaimana Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi melakukan upaya Revisi UU Sisdiknas tanpa adanya proses perencanaan dan penyusunan  yang transparan dan mengedepankan prinsip partisipasi bermakna dari masyarakat maupun para stakeholder pendidikan lainnya. 

5. Politisasi pendidikan dan ancaman kebebasan akademik

Beberapa waktu belakangan, kritik para guru besar, dosen, beserta sivitas akademika yang gelisah terhadap problematika kenegaraan berujung pada ancaman dan teror baik fisik maupun digital bahkan melibatkan aparat keamanan negara. Hal tersebut adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan akademik dan bagian dari upaya negara untuk mendisiplinkan kebebasan akademik. Berbagai upaya represi tersebut sejatinya adalah  pelanggaran terhadap Pasal 9 (1) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, menyatakan bahwa kebebasan akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kebebasan Sivitas Akademika dalam Pendidikan Tinggi untuk mendalami dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma maupun Prinsip Kebebasan akademik  yang telah diadopsi dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP)  Komnas HAM, yakni insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan.  Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.

6. Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan

Banyak hal dalam sistem pendidikan kita perlu dikoreksi terutama terkait tentang praktik kekerasan seksual di institusi pendidikan, tahun 2021 sebelum Undang-undang TPKS disahkan lahir permendikbud tentang pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus, namun belum efektif. Kampus maupun sekolah rentan menjadi tempat seringnya terjadi kekerasan seksual.

Selama periode 2015-2021, Komnas Perempuan menerima 67 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Dari seluruh laporan tersebut, mayoritasnya atau 35% berasal dari kampus atau perguruan tinggi. Selain kampus, lingkungan pendidikan lain yang banyak melaporkan kasus kekerasan seksual adalah pesantren (16%) dan SMA/SMK (15%). Angka ini menunjukkan bahwa institusi pendidikan baik Pendidikan Tinggi, Sekolah maupun Pesantren belum optimal menjaga keselamatan peserta didik dari ancaman kekerasan seksual.

7. Kualitas pendidikan

Kualitas pendidikan Indonesia masih buruk. Hal itu melihat pemeringkatan dari word population review 2021 yang menempatkan negeri ini pada peringkat ke-54 dari 78 negara yang masuk dalam pemeringkatan pendidikan dunia. Indonesia  masih tertinggal dari negara serumpun di Asia Tenggara, yaitu Singapura di posisi 21, Malaysia 38, dan Thailand 46

Berdasarkan riset Indeks Pembangunan Manusia  UNDP 2022, Indonesia memperoleh skor HDI 0,713, masuk kategori negara dengan indeks pembangunan manusia tinggi. Namun, skor Indonesia masih lebih rendah dibanding rata-rata global yang nilainya 0,739, sehingga Indonesia masuk peringkat ke-112 dari 193 negara yang diriset. Skor Indonesia juga masih kalah dibanding sejumlah negara ASEAN lainnya, yakni Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Selama ini permasalahan sistem pendidikan yang meliputi kurikulum yang terus berganti, sarana prasarana yang belum memadai dan merata masih menjadi persoalan yang tidak kunjung mendapatkan penyelesaian dan berpengaruh pada kualitas pendidikan. Belum lagi bicara terkait dengan sistem pendidikan dan sarana prasarana untuk pendidikan inklusi bagi kelompok rentan yang masih sangat membutuhkan dukungan.

Beberapa permasalahan sebagaimana diatas merupakan 7 di antara banyak permasalahan lain di sektor pendidikan tanah air. Menyikapi hal tersebut, YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mendesak pada Pemerintah dan DPR untuk menjalankan pemerintahan demokratis dengan mengedepankan prinsip partisipasi bermakna kepada publik luas dalam proses peninjauan serta perubahan terhadap peraturan maupun kebijakan yang berkaitan dengan sektor pendidikan;
  2. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk memperhatikan dan membuat skema penyelesaian yang serius dan komprehensif atas permasalahan-permasalahan krusial pendidikan seperti pendanaan, sistem dan kurikulum, sarana prasarana, termasuk  persoalan pendidikan inklusif serta problem  kekerasan seksual di lembaga pendidikan ;
  3. Mendesak Pemerintah dan DPR sebagai penyelenggara pendidikan menyusun skema dan menerapkan pendidikan gratis baik pada level pendidikan dasar, pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi. Secara khusus menghentikan praktik pendanaan pendidikan dengan menggunakan pinjaman online yang tidak sesuai dengan prinsip pendanaan pendidikan;
  4. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk meningkatkan perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan kepada tenaga pendidik baik Guru dan Dosen, terutama Guru honorer; 
  5. Mendesak Pemerintah untuk menghormati dan melindungi kebebasan akademik Sivitas akademika sebagai bagian dari kemerdekaan berpikir, berpendapat dan berekspresi.
  6. Mendesak Pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara holistik. 

 

Jakarta, 2 Mei 2024 

Hormat kami, 

Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia  

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *