Pidato Kenegaraan Jokowi : Berbeda Dengan Kondisi Dan Fakta Yang Terjadi

Pidato Kenegaraan Jokowi _ Berbeda Dengan Kondisi Dan Fakta Yang Terjadi

YLBHI mencatat Pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo pada sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI 14 Agustus 2020  banyak bertentangan dengan kondisi yang sedang terjadi bahkan juga mencerminkan sesuatu yang berkebalikan baik sekarang maupun untuk masa depan.  Catatan tersebut diantaranya:

  1. YLBHI mencatat Pidato Presiden Joko Widodo tentang hukum, HAM, anti korupsi dan demokrasi hanya sekedar lips service dan formalitas. YLBHI menemukan hal ini justru ditabrak dan diabaikan, beberapa contoh diantaranya [1] Pemilihan pimpinan KPK yang bermasalah dan Revisi UU KPK menunjukkan proses pelemahan KPK semakin jelas. [2] Dalam Perlindungan HAM, janji Presiden untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM tidak terdengar lagi dan terkesan diam di tempat.  [3] Rancangan KUHP yang justru memasukkan pasal-pasal bermasalah, bahkan menghidupkan pasal-pasal yang sudah dibatalkan MK. Pidato tentang hukum, ham dan demokrasi juga disampaikan tanpa arah kebijakan dan strategi yang jelas, berbeda jauh dengan agenda ekonomi. Melalui RUU Cipta Kerja yang merupakan inisiatif pemerintah, pemerintah justru mengancam lebih jauh perlindungan HAM, lingkungan hidup, dan ruang hidup warga negara.
  2. Pidato Presiden yang menyarankan media didorong untuk menumpuk kontribusi bagi kemanusiaan dan kepentingan bangsa, terasa tidak menapak pada fakta dimana Jurnalis semakin terancam. YLBHI mencatat banyak jurnalis yang dibungkam dengan berbagai cara dan mengalami kekerasan. Kasus Diananta menjadi bukti bahwa Jurnalis dengan mudah dikriminalisasi, walaupun Dewan Pers sudah dengan tegas menyatakan bahwa itu adalah produk Jurnalis. Kasus peretasan, doxing dan ancaman keamanan digital lainnya juga makin sering menimpa jurnalis.
  3. Dalam penanganan Covid 19, Presiden meminta agar menyiapkan rumah sakit, rumah isolasi, obat-obatan, alat kesehatan dan mendisiplinkan protocol kesehatan dan dilakukan secara cepat dalam waktu yang singkat. Tetapi faktanya Presiden sendiri yang secara terbuka marah-marah kepada menterinya karena serapan anggaran untuk kesehatan tersendat-sendat. Anggaran sebesar Rp 87,55 tirliun masih terserap sebesar 1,53 persen dikarenakan ingin cepat-cepat tanpa adanya strategi yang jelas, belum lagi Satgas Covid-19 yang telah dibubarkan sehingga melambatkan kebijakan terkait penanganan Covid-19 di Indonesia. Pemerintah justru lebih nampak mengedepankan kepentingan ekonomi dibandingkan keselamatan warga.
  4. Soal ketahanan pangan, Presiden dalam pidatonya menyinggung soal peningkatan nilai tambah bagi petani. Tetapi faktanya YLBHI banyak menerima laporan petani yang lahannya diambil paksa dan digusur. Selama Maret-Mei 2020, YLBHI mencatat ada 16 kasus perampasan lahan.. Dalam Rancangan UU Cipta Kerja justru pemerintah akan membuka keran impor pangan semakin besar dan ini sangat bertentangan dengan cita-cita kedaulatan Rencana Pemerintah dalam program food estate hanya akan mengulangi kesalahan pemerintah Orde Baru. Lahan seluas 164.598 hektar di  Kalimantan Tengah merupakan lahan gambut yang seharusnya dilindungi dan direstorasi. Proyek food estate serupa di zama Orde Baru yang memakan anggaran Rp 1,6 triliun terbukti gagal dan justru menambah anggaran rehabilitasi sebesar Rp 3,9 triliun. Selain merusak lahan gambut yang merupakan ekosistem unik dan penting bagi keseimbangan iklim, perlindungan biodiversitas lahan basa dan perusakan alami, proyek ini juga rentan korupsi;
  5. Dalam pidato disinggung bahwa dominasi energi fosil sudah seharusnya mulai dikurangi, dengan menyebut-nyebut baterai lithium. Padahal Indonesia punya potensi besar energi terbarukan, tetapi sayangnya hal tersebut belum menjadi prioritas. Presiden Jokowi tampak tidak menjadikan energi terbarukan sebagai prioritas seperti energi yang bersumber pada air, surya, angin, arus laut dan biomassa. YLBHI mencatat dalam praktik nya, pemerintah lebih memprioritaskan energi yang kerap menimbulkan konflik dan hanya menguntungkan perusahaan besar seperti minyak kelapa sawit serta energi kotor seperti batu bara. Dimana dalam pembangunannya menjadi dalih menggusur lahan masyarakat, dan dilakukan dengan melanggar hukum dan korupsi perijinan;
  6. Presiden menyatakan soal penataan regulasi harus dibangun, regulasi yang tumpang tindih, yang merumitkan, yang menjebak semua pihak dalam resiko harus disudahi. Tetapi justru melalui RUU Cipta Kerja akan menambah rumit regulasi yang ada, membuatnya menjadi tumpang tindih, apalagi banyak memberikan cek kosong. PSHK mencatat RUU Cipta kerja justru semakin menambah permasalahan dan kerumitan pelaksanaan dengan memandatkan lebih dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah. Kode Inisiatif juga mencatat RUU Cipta kerja bertentangan dengan 27 Putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah menghidupkan kembali pasal-pasal yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
  7. RUU Cipta Kerja yang sedang dikebut pembahasannya juga tidak mencerminkan keadilan ekonomi. Paradigma investasi yang sangat memanjakan investor dan semakin melemahkan posisi posisi buruh. RUU Cipta kerja menghapus garis-garis batas perlindungan buruh yang selama ini sudah sangat minim dan ada dalam UU 13 tahun 2003 menjadi semakin hilang dan tanpa perlindungan. RUU Cipta Kerja melemahkan buruh yang sudah dan akan kerja karena mencabut keamanan dalam kerja, easy come easy go, untuk apa mudah bekerja kalau hanya untuk satu bulan.
  8. Lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2020 yang merupakan PERPU 1/ 2020 tentang Kebijakan Keuangan dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menjadi sesuatu yang kerkebalikan dengan tujuannya. Dengan tujuan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap stabil dalam menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan bahkan melalui cara melonggarkan sejumlah ancama pidana bagi pengambil kebijakan. Tetapi faktanya ekonomi Indonesia minus 5,32 persen pada kuartal II 2020 atau yang terparah sejak kuartal I 1999. Hal ini juga akibat dari strategi yang diambil pemerintah tidak dibuka secara jujur kepada masyarakat. Melalui PERPU 1/2020 yang kemudian jadi UU 1/2020 ini malah memberi insentif ekonomi kepada korporasi besar dengan peluang mengambil dana abadi pendidikan & Badan Layanan Umum yang antara lain adalah Rumah Sakit dan Universitas.

YLBHI mendesak Presiden dan jajaran pemerintah untuk terbuka dan mengakui permasalahan-permasalahan tersebut, dan menyelesaikannya segera berdasar amanat  Konstitusi. Dalam bidang Hukum dan HAM, jika Presiden hendak memperbaiki maka perlu kebijakan dan arah strategi yang jelas, tidak sekedar lips service dan formalitas.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *