Press Rilis Bersama ILR – YLBHI – ICW – Perludem – Correct

Matinya Integritas MK!!??

-Mahkamah Konstitusi proses kilat pembatalan Pengawasan dan Pengetatan Seleksi Hakim MK-

DSC_0026

Pasca tertangkapnya Akil Mochtar yang membuat kepercayaan publik terhadap MK turun drastis, Presiden SBY kemudian mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada intinya, Perpu tersebut mengatur dua hal yang selama ini membuat MK  sangat rapuh dalam menegakkan konstitusi: 1) Memperketat
seleksi hakim konstitusi dengan membentuk lembaga ad hoc bernama Panel Ahli dan syarat-syarat calon hakim konstitusi; 2) Membentuk MKHK sebagai instrument pengawasan etik  hakim konstitusi.

Keberadaan Perpu tersebut tentu saja disambut dengan positif oleh banyak pihak, karena substansi yang diaturnya menutup lubang lemahnya sistem di MK selama ini: tidak adanya pengawasan dan buruknya mekanisme seleksi hakim konstitusi. DPR pun mengafirmasi pentingnya substansi yang diatur oleh Perpu tersebut dengan mengesahkannya menjadi undang-undang (UU N0.4 Tahun 2014). Meskipun publik dan lembaga-lembaga negara menginginkan perubahan yang lebih baik untuk MK ke depan, namun bagi sebagian hakim MK, secara eksplisit mengatakan akan membatalkannya jika ada pihak-pihak yang mengajukannya ke MK.

Sinyal yang tidak etik yang disampaikan oleh sebagian hakim MK tersebut kemudian ditanggapi oleh pihak-pihak yang “dekat” dengan MK dengan mengajukan PUU MK tersebut ke MK dalam perkara Nomor 1/PUU-XII/2014 dan perkara Nomor 2/PUU-XII/2014. Potensi “main mata” itu terlihat dari beberapa kejanggalan, antara lain:

1.      Dari sidang pemeriksaan pendahuluan sampai dengan pembacaan putusan (Kamis, 13 Februari 2014) hanya memakan waktu 20 hari.

2.      Sidang pemeriksaan hanya dilakukan satu kali, dan langsung dinyatakan ditutup.

3.      Dalam pemeriksaan, MK hanya membolehkan satu orang keterangan ahli yang didengar.

4.      MK tidak memberikan kesempatan bagi para pihak dengan adil. MK hanya memberikan kesempatan kepada pihak terkait (Presiden, DPR dan KY) untuk menyampaikan keberatannya secara tertulis hanya dalam waktu 3 hari.

 

Selain beberapa keganjilan di atas, tindakan MK yang menerima pengujian UU MK yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang dekat dengan MK ini jelas menabrak prinsip umum dalam hukum: nemo judex in casua sua. Artinya jelas: MK tidak bisa menjadi hakim atas dirinya sendiri.

Berangkat dari beberapa keganjilan di atas dan tindakan tidak etik MK yang ingin “memotong” substansi pengetatan seleksi hakim dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam UU N0 4 Tahun 2014 tentanf MK, tentu saja merupakan preseden buruk dalam sejarah konstitusi Indonesia. MK secara telanjang mengajarkan kepada semua orang bagaimana kekuasaan yang dimilikinya digunakan secara sewenang-wenang untuk mengakali hukum dan konstitusi.

Oleh karena itu, kami (Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK) menyatakan sikap sebagai berikut:

1.      Mengecam tindakan semua hakim MK yang memilih untuk menjadi hakim terhadap pengujian undang-undang UU (UU MK) yang berkaitan dengan kepentingan mereka sendiri.

2.      Mempertanyakan alasan di balik tindakan MK yang memeriksa perkara dengan proses yang tidak normal (20 hari).

3.      Meminta kepada MK untuk menolak uji materil terhadap pengawasan dan pengetatan seleksi hakim MK yang diajukan oleh beberapa advokat dan akademisi tersebut.

4.      Meminta kepada Dewan Etik MK untuk memeriksa beberapa keganjilan dalam proses pengujian UU MK yang terkesan dipaksakan untuk diputus tersebut.

 

 

Jakarta, 12 Februari 2014

Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *