Nyawa Jadi Tumbal Asian Games 2018

ynvutcas2n3brxsf1soh-1020x510

Demi pengamanan Asian Games 2018 Kepolisian Indonesia telah menembak mati 15 orang yang “diduga” sebagai penjahat jalanan. Petinggi kepolisian mengeluarkan perintah tembak mati terhadap tersangka kriminal “kelas teri” ini. Padahal, Asian Games yang tunduk dibawah konstitusi Komite Olimpiade Internasional sejatinya bertujuan menjadikan olahraga sebagai bentuk merayakan perdamaian dan menjunjung tinggi martabat manusia.

2 Juli 2018, tepat sebulan sebelum Asian Games ke-18 ini diselenggarakan Kapolda Metro Jaya Idham Aziz mengeluarkan perintah kepada anggotanya untuk tidak segan-segan menembak begal dan penjahat jalanan lainnya. “Tidak usah ragu-ragu melakukan tindakan tegas, apabila para pelaku membahayakan masyarakat dan membahayakan mengancam jiwa petugas”. Bahkan Kapolri Tito Karnavian mengatakan akan mem”begal” Kapolres yang tidak bisa memberantas begal. Pada operasi yang dinamai operasi kewilayahan cipta kondisi ini Kapolda Metro Jaya mengerahkan 1000 anggota kepolisian untuk memburu begal dan penjahat jalanan. 2 hari setelah perintah Kapolda Metro Jaya tersebut LBH Jakarta sudah mengingatkan bahwa potensi extrajudicial killing sangat besar jika perintah tersebut dilaksanakan.

Kepolisian tidak bergeming, dalam dua pekan operasi tersebut telah menyebabkan 15 orang tewas ditembak di bagian badan dan 41 orang lumpuh ditembak dibagian kaki. Dari 15 orang yang mati semua ditembak di bagian dada.  Selain itu, kurang lebih 2000 orang telah ditangkap, 320 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka dengan berbagai tuduhan kejahatan. Polisi mengklaim korban tewas ditembak akibat melawan aparat.

Fenomena semacam ini pernah terjadi di Brasil pada tahun 2016, saat menjelang pelaksanaan Olimpiade ke – 31 di kota Rio de Janeiro. Sebanyak 40 orang tewas akibat extrajudicial killing oleh polisi di Rio pada bulan Mei, meningkat 135% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Peristiwa tersebut telah menjadi perhatian dunia. Sejumlah lembaga HAM meminta menyelidikan yang independen terhadap peristiwa tersebut. Hasil penyelidikan mengindikasikan polisi Brasil telah menggunakan senjata api secara tidak proposional. Justifikasi bahwa tersangka melawan diragukan.

18 Juli LBH Jakarta mengingatkan kembali tindakan kepolisian dengan membuka posko pengaduan bagi korban operasi pengamanan Asian Games tersebut. LBH Jakarta mengingatkan tindakan kepolisian tersebut melanggar konstitusi, UU HAM, Konvensi Hak Sipil dan Politik, Peraturan Kapolri Implentasi Prinsip HAM di Kepolisian dan Perkap Penggunaan Kekuatan Polri dan sejumlah aturan internasional mengenai penggunaan senjata api oleh aparat penegak hukum. Sehari setelah itu petinggi kepolisian, Setyo Warsito dan Argo Yuwono menyatakan tindakan tembak ditempat tersebut sudah sesuai prosedur tanpa menjelaskan fakta-fakta peristiwa penembakan. Bahkan Setyo Wasirto menyebut kepolisian halal menembak di kepala.

Agustinus Pohan, Profesor hukum di Universitas Parahyangan mempertanyakan tindakan tembak mati ini. “Apakah para tersangka ini benar-benar melarikan diri atau menolak penangkapan? Saya bertanya-tanya bagaimana polisi bisa begitu akurat dalam menembak seseorang yang melarikan diri dari mereka,” katanya. Disisi lain, Anggota Ombudsman Adrianus Meliala sempat mempertanyakan tindakan tembak kepolisian namun diam setelah diberikan laporan yang tidak memadai sesuai aturan yang ada.

Mengingat pentingnya bersikap terhadap peristiwa extrajudial killing ini, LBH Jakarta melalui posko menerima langsung pengaduan dari keluarga korban tembak mati kepolisian.  Total LBH Jakarta menerima 4 pengaduan dari warga. Karena keterbatasan informasi dari pengadu LBH Jakarta hanya dapat menindaklanjuti 2 pengaduan. LBH Jakarta telah melakukan investigasi, wawancara langsung dengan 2 keluarga korban, 6 saksi di lapangan, pengecekan lokasi penembakan, penelusuran informasi media masa dan perbandingan dengan keterangan kepolisian.

Dari penelusuran LBH Jakarta terhadap korban, ditemukan berbagai kejanggalan sebagai berikut:

  1. Terjadi over profiling, “stigma” kepada para tersangka. Dua orang keluarga korban tembak mati atas nama Bobi dan Dedi yang mengadu ke LBH Jakarta mengaku tidak setuju dengan penjelasan kepolisian mengenai profil dan catatan kriminal anggota keluarga mereka. Polisi seolah cukup menyatakan para tersangka sebagai penjambret atau pembegal yang sangat sadis dan residivis tanpa bukti putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Keluarga membantah hal tersebut. Seolah polisi selama ini telah bekerja serius menumpas penjahat kelas kakap.
  2. Tidak terdapat surat-surat penangkapan dan penahanan atau surat terkait upaya paksa kepolisian yang diberikan kepada tersangka atau keluarganya. Polisi menangkap Dedi dan Bobi yang dituduh perampok dan jambret tanpa surat-surat perintah yang diwajibkan KUHAP sebagai pertanggungjawaban tindakan perampasan kemerdekaan. Hingga saat ini keluarga tidak menerima surat apapun.
  3. Lokasi penembakan berbeda. Polisi tidak transparan dan akuntabel. Polisi tidak memberikan penjelasan memadai perihal lokasi penembakan dan situasi yang terjadi kepada keluarga Bobi dan Dedi. Keluarga hanya diberitahu bahwa tersangka melawan saat dilakukan “pengembangan”.
  4. Justifikasi penembakan senjata api yang mematikan tidak terpenuhi. Penembakan yang dilakuakan saat pengembangan sangat diragukan kebenarannya. Dedi dan Bobi sudah dalam keadaan tidak berdaya saat ditangkap polisi. Pada saat dilakukan pengembangan tersebut Dedi dan Bobi dikawal banyak petugas dan diborgol. Tidak masuk akal mereka melakukan perlawanan.
  5. Tembakan diarahkan ke dada. Dedi dan Bobi ditembak di bagian dada. Sebuah posisi luka tembak yang langsung mengenai organ vital. Keterangan dokter forensik RS Kramat Jati, Edi Purnomo, menyatakan semua korban tewas luka tembak di dada. Dari posisi luka tembak, kuat indikasi penembakan dilakukan memang dengan tujuan mematikan.
  6. Terdapat dugaan kuat adanya penyiksaan. Pada jenasah Dedi dan Bobi terdapat luka lebam di bagian wajah dan luka bakar bekas puntung rokok di bagian punggung tangan. Keluarga mempertanyakan asal luka-luka tersebut namun tidak diberikan penjelasan.
  7. Keluarga tidak diberikan kesempatan otopsi jenasah. Saat penyerahan jenasah polisi memaksa keluarga Bobi dan Dedi untuk menandatangi surat pernyataan tidak akan melakukan otopsi. Keluarga bahkan tidak diperbolehkan untuk melihat secara keseluruhan jenasah korban.
  8. Keluarga diberikan uang/ motor oleh kepolisian dan dilarang menuntut kejanggalan kematian. Polisi hanya meminta maaf secara lisan atas meninggalnya korban. Keluarga Dedi dan Bobi diberikan sejumlah uang di dalam amplop. Bahkan istri Bobi diberi motor oleh Polisi. Polisi menyebutnya pemberian sebagai uang duka.

Dari penelusuran terhadap tembak mati kepada tersangka atas nama Frangky, Heru Astanto, Ismail dan Fikri yang dilakukan Tempo juga ditemukan kejanggalan-kejanggalan yang serupa.

LBH Jakarta menilai hal tersebut melanggar ketentuan penggunaan senjata api yang terdapat di dalam Peraturan Kepal Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009 serta aturan internasional UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement OfficialDalam aturan tersebut dilarang penegak hukum/polisi menggunakan senjata api kecuali sebagai upaya terakhir dan untuk menghindari adanya korban juga menyelamatkan nyawa.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas LBH Jakarta menuntut:

  1. Komnas HAM, Komisi Kepolisian Nasional, Ombudsman RI harus segera melakukan investigasi independen yang menyeluruh serta memproses penegakan hukum atas peristiwa tembak mati (extra judicial killing) pada Asian Games 2018 ini.
  2. LPSK harus memberikan perlindungan bagi saksi maupun keluarga korban yang menuntut haknya terkait tindakan pelanggaran hukum oleh aparat kepolisian.
  3. Jika pelanggaran hukum terbukti maka para pelaku dengan rantai komando dituntut dan bertanggung jawab sesuai hukum yang berlaku baik secara disiplin/etik, pidana, dan perdata.
  4. Komnas HAM, Komisi Kepolisian Nasional, Ombudsman RI harus mendesak Kepolisian RI untuk melakukan evaluasi operasi pengamanan Asian Games yang mengakibatkan terjadinya dugaan penangkapan, penahanan sewenang-wenang maupun evaluasi terhadap penggunaan senjata api oleh kepolisian yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yang mengakibatkan pembunuhan diluar proses hukum (extra judicial killing);

  

Jakarta, 12 September 2018
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta

 

Narahubung:
Shaleh Al Gifari (085376769969)
Arif Maulana (0817256167)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *