Bantuan Hukum Struktural: Sejarah, Teori, dan Pembaruan

Asfin_edited

Bantuan Hukum Struktural (BHS) telah banyak ditulis dari sudut kesejarahannya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menemukan kembali BHS dari asal teori yang melahirkannya dan mencari konstektualisasinya dalam situasi sosial, politik, budaya saat ini. Untuk itu, penulis mendasarkan pada perkembangan teori yang terkait dengan strukturalisme yaitu poststrukturalis dan teori yang berupaya mendamaikan perdebatan antara tindakan dengan struktur.

Sejarah, Model NGO, dan Asumsi Di Baliknya

LBH tentu tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop). Pada 1998, David Korten mengkategorikan Ornop di Indonesia sebagaimana di tempat lain berdasarkan strategi pengembangan program. Hasilnya adalah tipologi tiga generasi. Generasi pertama disebut bantuan dan kesejahteraan (relief dan welfare), generasi kedua adalah pembangunan skala kecil dan kemandirian di tingkat lokal (small scale dan self reliance local development) dan generasi ketiga yaitu pembangunan sistem yang berkelanjutan (sustainable systems development)[2].

Kategori yang disampaikan Korten dapat dibandingkan dengan Eldridge yang mengajukan kerangka teoritis untuk memahami dan mendefinisikan Ornop berdasarkan aktivitas mereka. Dia membagi gerakan Ornop Indonesia menjadi dua kategori. Tipe pertama, “Ornop pembangunan” mengacu pada organisasi yang berkonsentrasi pada program konvensional pengembangan masyarakat, yaitu irigasi, air minum, pusat kesehatan, pertanian, peternakan, kerajinan tangan dan bentuk pembangunan ekonomi lainnya. Yang kedua adalah “Ornop mobilisasi,” yaitu yang upaya utamanya berpusat pada mendidik dan memobilisasi orang-orang miskin seputar isu-isu yang berkaitan dengan ekologi, hak asasi manusia, status perempuan, hak hukum terkait dengan kepemilikan lahan dan kompensasi untuk pengambilan lahan bagi kepentingan publik, dan menjamin hak-hak sewa-menyewa bagi pedagang kecil, pemulung dan penghuni liar di kota-kota[3].

Pada 1991 Mansour Fakih mengembangkan kategorinya sendiri untuk Ornop di Indonesia berdasarkan definisi masalah, metodologi dan program aksi, asumsi tentang sifat masyarakat, tujuan dan tujuan kegiatan, visi/pendekatan/model pembangunan, model pengembangan yang diklasifikasikan berdasarkan aktivitas lapangan[4].

Jenis Ornop yang pertama adalah konformis. Dalam kategori ini adalah organisasi bantuan amal dan organisasi lainnya. Cirinya bekerja tanpa teori. Sebagian besar Ornop dalam kategori ini berorientasi proyek dan bekerja sebagai organisasi bantuan amal. Jenis Ornop ini mengikuti paradigma fungsionalis dan dicirikan oleh kepedulian untuk menjaga dan merawat status quo, tatanan sosial, konsensus, integrasi sosial, solidaritas, dan kebutuhan akan kepuasan[5]. Menurut Mansour, Ornop semacam ini mulai bergerak ke arah kategori berikutnya pada pertengahan 70-an.

Kategori kedua adalah reformis. Organisasi semacam ini telah mendasarkan teori pembangunan mereka tentang ideologi modernisasi. Gerak utamanya adalah meningkatkan jumlah orang yang berartisipasi dalam pembangunan. Mereka cenderung

tak mempertanyakan struktur yang ada dan hegemoni kapitalisme yang tersembunyi di dalamnya konsep pembangunan. Korupsi di pemerintah disalahkan sebagai penyebab mendasar dari pembangunan yang tidak berhasil. Seperti paradigma modernis, tesis yang berada di belakang keterbelakangan sebagian besar masyarakat disebabkan sesuatu yang salah dengan mentalitas dan nilai-nilai masyarakat. Mentalitas yang terbelakang ini yang dianggap sebagai penyebab utama kurangnya partisipasi mereka dalam pembangunan[6].

Menurut Mansour, perubahan kategori 2 menjadi 3 terjadi karena setelah hampir 20 tahun menerapkan model pengembangan ini, beberapa LSM ini mulai menyadari bahwa tak ada perubahan signifikan dalam situasi politik dan ekonomi di pedesaan. Kesadaran inilah yang menggerakkan banyak orang untuk mencari paradigma lain.

Kategori terakhir adalah Ornop transformatif, yaitu yang memeriksa kembali asumsi dasar dan isu ideologis dalam upaya untuk menemukan sebuah alternatif dari dua pendekatan lainnya. Ornop mulai mempertanyakan paradigma yang ada dan ideologi yang tersembunyi. Pencarian mereka adalah untuk menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah struktur yang menindas dan mendominasi dan memungkinkan orang untuk mewujudkan potensi manusia mereka. Paradigma alternatif harus menyediakan struktur yang akan memungkinkan orang mengendalikan bentuk produksi dan mengendalikan informasi serta produksi ideologi. Mereka mencari struktur yang akan memungkinkan orang untuk mengendalikan perkembangan dan sejarah mereka sendiri. Struktur ini akan menanamkan demokrasi tidak hanya di dalam bidang politik tapi juga dalam ekonomi juga seperti dalam pembangunan pedesaan dan perkotaan[7].

Belakangan Korten memperbarui teorinya sehingga strategi pengembangan Ornop berorientasi pembangunan menjadi empat generasi[8].

 

Generasi

Pertama Kedua Ketiga Keempat
Bantuan dan Kesejahteraan Pembangunan masyarakat Pengembangan sistem berkelanjutan Gerakan Rakyat
Definisi Masalah kekurangan situasi lokal yang tidak berubah hambatan kelembagaan  dan kebijakan mobilisasi visi yang tidak memadai
Jangka Waktu segera program kehidupan 10  – 20 tahun masa depan yang tak terbatas
Cakupan individu atau keluarga lingkungan atau desa region atau bangsa nasional atau global
Aktor Pemimpin Ornop Ornop + komunitas semua lembaga publik dan privat  yang sesuai institutions jaringan orang dan organisasi yang didefinisikan secara longgar
Peran Ornop pelaku penggerak katalisator aktivis/pendidik
Orientasi Manajemen pengaturan

logistik

pengaturan

proyek

pengaturan

strategis

menggabungkan dan memberi energi pada jaringan pengelolaan mandiri
Pengembangan Pendidikan anak kelaparan swadaya masyarakat membatasi kebijakan dan institusi dunia dianggap memiliki sumber daya terbatas yang umum bagi seluruh umat manusia (spaceship earth)

 

Berdasarkan teori-teori di atas tentang ornop, terlihat tendensi menganggap gerakan yang menyasar struktur/sistem lebih maju daripada yang tidak. Hal ini sangat jelas pada Mansour Fakih tetapi tampak pula pada tiga teori lain.

Diilihat dari kurun waktu yang disebut oleh Mansour Fakih, tampaknya BHS termasuk dalam gerak Ornop yang semakin mengarahkan kerjanya pada perubahan sistem/struktur daripada perubahan pada level individu atau kasus per kasus.

Melacak Teori Di Balik BHS

Secara gamblang BHS menggunakan kata struktural dan jelas hal ini merujuk pada teori sosial yaitu struktural.

Sebelum lebih jauh melihat teori struktural penting untuk melihat konteks teori ini lebih dulu. Hubungan antara sistem dari makna dan tindakan manusia telah lama menjadi tema dalam teori budaya/sosial. Teori-teori harus mengambil posisi dalam skema ini. Beberapa teori seperti interaksi simbolis dan etnometodologi mengutamakan aktor. Sedangkan yang lain seperti neo-Marxisme, fungsionalisme Parsonian, dan strukturalisme memberi tekanan pada kekuatan sistem makna untuk mengendalikan agen manusia[9]. Dengan kata lain telah terjadi pembagian yang memisahkan fungsionalisme (termasuk teori sistem) dan strukturalisme di satu sisi dengan hermeneutika dan berbagai bentuk ‘sosiologi interpretatif’ di sisi lain[10]. Dalam sosiologi interpretatif, tindakan dan makna adalah hal utama dalam menjelaskan perilaku manusia. Konsep struktural tidak menonjol, dan tidak banyak pembicaraan tentang keterbatasan. Sedangkan untuk fungsionalisme dan strukturalisme, struktur (dalam pengertian yang berbeda-beda) memiliki keutamaan daripada tindakan. Kualitas struktur yang menghambat sangat ditekankan[11].

Tokoh yang dilekatkan dengan strukturalisme antara lain Lévi-Strauss, Althusser, Foucault, Lacan, Barthes. Pemikiran mereka pasti memiliki banyak perbedaan dan mereka mengembangkan gagasan dasar mereka sendiri tentang strukturalisme. Meskipun demikian setidaknya terdapat beberapa kesamaan ciri-ciri yaitu:[12]

  1. Kedalaman menjelaskan permukaan

Kepercayaan utama strukturalis adalah kehidupan sosial hanya kacau balau, tidak dapat diduga, dan berbeda di permukaan. Di balik peristiwa yang membingungkan dan unik tersembunyi mekanisme yang bersifat umum. Untuk memahami apa yang nampak di permukaan, karenanya kita harus melihat pada tingkat yang lebih dalam.

  1. Kedalaman ini terstruktur

Mekanisme umum yang lebih dalam itu tidak semata pada saat ini dan bersifat potensial, tetapi juga terorganisir  dan terpola. Strukturalis cenderung melihat struktur dalam ini terbuat dari penyediaan unsur yang terbatas. Ini digabungkan dan digabungkan kembali menjadi cara yang menjelaskan keanekaragaman permukaan.

  1. Analisis yang obyektif

Strukturalis cenderung melihat diri mereka sebagai pengamat terpisah dan ilmiah yang menemukan semacam kebenaran yang tidak terlihat oleh aktor sosial yang sebenarnya. Kesadaran diri ini berbeda secara radikal dari yang diadvokasi oleh beberapa posisi lainnya, terutama postmodernisme.

  1. Kebudayaan seperti bahasa

Strukturalisme banyak dipengaruhi oleh pekerjaan dalam bidang linguistik struktural. Hal ini menunjuk pada cara bahasa yang  dapat dipahami sebagai sistem yang terdiri dari kata-kata dan bahkan elemen mikro seperti suara. Hubungan antara bahasa yang diaktifkan ini bekerja untuk mengirimkan informasi, untuk menandakan. Pendekatan strukturalis terhadap budaya berfokus pada identifikasi unsur-unsur analog (tanda-tanda, konsep) dan mengeksplorasi bahwa cara mereka diatur untuk membawa pesan. Proses ini kadang-kadang dianggap sebagai salah satu yang melibatkan “decoding” proses semiotik.

  1. Melampaui humanisme

Pendekatan struktural cenderung mengurangi, mengabaikan, atau bahkan meniadakan peran subjek manusia. Fokus utama adalah pada peran dan cara kerja sistem budaya. bukan pada kesadaran agen manusia individual. Strukturalis sering melihat diri mereka sebagai lawan eksistensialisme dan fenomenologi – perspektif yang mereka anggap bersifat individualistik dan tidak ilmiah. Strukturalis melakukan eksplorasi “ilmiah” terhadap sistem ide dan tanda yang tersedia secara objektif alih-alih pemikiran dan pengalaman interior individu. Tujuannya adalah untuk menggantikan subjek sadar manusia dari pusat analisis. Gagasan ini kemudian dikenal di kalangan poststruktural sebagai decentering subjek atau menempatkan subyek tidak menjadi pusat analisis.

Agar apa yang dimaksudkan sebagai strukturalisme semakin jelas, mari kita lihat beberapa pemikir dengan teorinya.

Althusser mengemukakan teorinya bahwa terdapat 3 tingkat dalam struktur  kelas masyarakat yaitu ekonomi, politik dan ideologi. Hal yang ia maksudkan sebagai ekonomi adalah seluruh aspek produksi benda, sedangkan politik adalah seluruh bentuk organisasi dan ideologi yaitu semua gagasan dan kepercayaan[13]. Menurutnya, sejarah mengungkapkan periode ketika satu kelas mendominasi dua kelas lainnya, tetapi kondisi ini tidak pernah permanen[14].

Barthes (2005) mengemukakan adanya pertautan yang erat antara linguistik dan penyelidikan budaya serta menetapkan beberapa tema terminologi dan konseptual dasar untuk menjelaskan penyelidikan semiotis. Di antaranya adalah:[15]

  1. Language/parole (bahasa dan ujaran). Berbeda dengan konsep Saussure, ia mengkontraskan sistem abstrak dari tanda (bahasa) dan penggunaan tertentu bahasa itu (ujaran). Ia mengemukakan bahwa hal ini dapat digunakan untuk semua konteks semiotis. Contohnya ia bersikeras terdapat bahasa yang terbuat dari tabu terkait makanan (benda yang bisa/tidak bisa dimakan): menandakan bagian yang bertentangan (manis/gurih) , aturan berkelompok (makanan yang bisa/tidak bisa bersama) dan ritual penggunaan (misal tata cara makan). Hal ini dapat dibedakan dengan ujaran terkait makanan seperti inovasi individu atau menu yang diberikan yang menciptakan referensi kepada sebuah struktur, tetapi struktur ini diisi secara berbeda pada hari dan pengguna, seperti bentuk lingustik digarap oleh variasi dan kombinasi bebas yang seorang pembicara perlukan untuk pesan tertentu.
  2. Denotasi dan konotasi. Hal ini terkait dengan aturan signifikansi. Barthes mengemukakan bahwa sistem tanda dibangun atas dirinya sendiri dan memiliki begitu banyak lapisan. Denotasi merujuk pada proses aturan yang lebih bawah dan untuk lebih atau kurang makna literal dari tanda. Konotasi sebaliknya, melibatkan sejenis metabahasa. Konotasi cenderung dibangun dari aturan sebelumnya tentang denotasi. Konotasi bersifat ideologis dan cenderung menutupi makna konotasi dengan tema yang menyeluruh.

Menurut Barthes, tanda-tanda (signs) dalam budaya tidak pernah tidak bersalah melainkan mereka terjebak dalam jaring kompleks reproduksi ideologis[16].

Memperkaya BHS

Upaya memperkaya BHS ataupun mengkontekstualisasinya dengan gerak zaman seharusnya menjadi tugas kesejarahan orang-orang yang berkecimpung di LBH. Keinginan ini sebenarnya tampak pada diskusi dan perdebatan saat membicarakan BHS.

Jalan yang dipilih dalam tulisan ini adalah mendasarkan diri pada gerakan teori yang terkait dengan strukturalisme. Oleh karena itu, akan ada dua tema besar dalam bagian ini yaitu poststrukturalisme sebagai perkembangan dari strukturalisme dan teori-tori yang mencoba mendamaikan asumsi di balik strukturalisme (struktur dan bukan agensi) sehingga akan dikemukakan teori yang berupaya menemukan jalan tengah antara struktur dan agensi.

  1. Poststrukturalisme

Sekitar 1967 di Paris, strukturalisme yang telah mendominasi kehidupan intelektual Perancis hampir di sebagian besar tahun 60-an digantikan oleh gerakan intelektual baru dalam filsafat, sosiologi, dan sastra. Pemikiran seperti Jacques Derrida, Julia Kristeva, Gilles Deleuze, Luce Irigaray, Helene Cixous, Jean-Francois Lyotard, dan Jean Baudrillard biasanya dirujuk sebagai poststrukturalis karena beranjak begitu radikal dari asumsi inti strukturalisme[17]. Poststrukturalisme juga sering diasosiasikan dengan postmodern dan istilah ini digunakan secara tumpah tindih[18].

Apa itu poststrukturalis?[19]

  1. Poststrukturalisme paling baik dipahami sebagai perbaikan dan perkembangan strukturalisme daripada sebagai aliran pemikiran yang berlawanan. Poststruktural sebagai pemikiran kontemporer tidak akan mungkin terjadi tanpa penemuan sebelumnya dari strukturalisme. Meskipun penyederhanaan perbedaan biner antara strukturalisme dan poststrukturalisme berlimpah, tidak jelas bagaimana hal ini berguna. Mungkin lebih berguna apabila menganggap strukturalisme dan poststrukturalisme sebagai jenis teori yang tumpang tindih daripada sebagai aliran pemikiran empiris yang memiliki batasan yang jelas dan saling bertentangan.
  2. Tidak ada poststrukturalis tunggal melainkan sejumlah pendekatan yang dikumpulkan secara longgar berdasarkan judul ini. Oleh karenanya, ciri-ciri yang ditemukan pada satu penulis poststruktural mungkin tidak ditemukan di tempat lain. Perhatian harus dilakukan tentang generalisasi berlebih-lebihan dari satu atau dua pemikir ke seluruh bidang.
  3. Lokasi sosial dan konstruksi kesejarahan pengamat dan pengetahuan mereka berperan dalam membentuk pemahaman dan teori. Foucault mengatakan bahwa semua pihak yang terlibat dalam ilmu pengetahuan manusia terlibat dalam struktur kekuasaan dan pengetahuan tertentu yang memiliki dampak untuk menentukan pada wacana yang mereka hasilkan. Argumen semacam ini memiliki beberapa kedekatan dengan tradisi sosiologi pengetahuan dan juga epistemologi relativistik. Mereka mempertanyakan pencapaian dari kenetralan, kebenaran dalam membaca budaya. Mereka menyarankan lebih baik mengalihkan perhatian untuk mengeksplorasi kondisi sosial dari produksi pengetahuan dan dampak klaim pengetahuan dan kebenaran dalam penetapan pengaturan sosial[20].
  4. Poststrukturalis berpendapat bahwa budaya dan teks dapat ditafsirkan dengan cara yang beragam dan mampu menghasilkan banyak dan tanpa henti berkembang, mungkin saling bertentangan, pembacaan. Kebenaran karenanya mungkin lebih sulit dipahami daripada yang kita pikirkan. Bertolak belakang dengan posisi strukturalis, mungkin tidak ada satu pun pemahaman benar atau salah atau pembacaan definitif – sesuatu yang umumnya dikenal sebagai pengakhiran (closure). Poststrukturalis mengklaim bahwa penerapan logika yang ketat dalam analisis tidak membantu kita menyelesaikan pertanyaan tentang makna. Sebaliknya, penulis seperti Derrida berpendapat bahwa ini hanya berfungsi untuk memperbanyak bacaan dan menghasilkan paradoks dan tujuan buntu dalam interpretasi[21].
  5. Teori strukturalisme menekankan kualitas matematis sistem budaya yang kering. Dalam poststruktural, hasrat, kesenangan, tubuh, dan permainan dilekatkan baik sebagai dimensi kebudayaan yang dapat diamati dan sebagai kualitas penulisan teoritis. Upaya ini terinspirasi oleh filsuf Jerman abad XIX Friedrich Nietzsche dan perayaan emosi dan kehendak sebagai pengganti yang logis dan rasional[22].

Meskipun memiliki perbedaan, seperti telah disebutkan di atas, karena poststrukturalis adalah perkembangan dari strukturalis, maka keduanya memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut antara lain:[23]

  1. Dalam memahami budaya

Poststrukturalisme membuat penggunaan luas model budaya linguistik dan tekstual. Ini terutama didasarkan pada karya Levi-Strauss, Barthes, dan Lacan dan karenanya gagasan tentang kode, mitos, narasi dan simbol mengambil posisi yang menonjol. Hasilnya adalah serangkaian alat yang kaya dan kuat untuk membaca dan menulis kehidupan budaya. Berkat adopsi model semiotis penekanan utama juga diberikan pada otonomi budaya. Akibatnya adalah penolakan terhadap Marxisme dalam pemikiran poststruktural. Gagasan tentang ideologi (yang menyiratkan ketergantungan/determinisme terhadap sosial atau ekonomi) cenderung diganti dengan konsep wacana (yang kita anggap di bawah). Sedangkan pada garis yang sama dengan strukturalis, poststrukturalisme telah memperkenalkan seperangkat konsep tambahan yang berpengaruh pada hal yang lebih baik lagi dalam membongkar hal terkait budaya.

  1. Pendekatan kepada Subyek Manusia

Seperti strukturalisme, pemikiran poststruktural telah menyerang gagasan humanis bahwa individu berdaulat harus menjadi fokus utama analisis dan menganjurkan apa yang kadang-kadang dikenal sebagai kematian subjek. Gagasan tentang individu berdaulat berasal dari pemikiran Renaisans dan berlanjut selama masa Pencerahan.  Teori ini mengemukakan sifat manusia yang rasional dan termotivasi. Dalam model humanis ini, masyarakat dan budaya dipandang sebagai produk pilihan dan kontrak yang dimasuki oleh agen manusia yang otonom. Sebaliknya poststrukturalist memberi penekanan tidak hanya pada pemusatan sistem semiotis sebagai sasaran analisis budaya (bukan pelaku/agen) tetapi juga cara subyektivitas dan agensi dibangun oleh kekuatan budaya dan sejarah yang sewenang-wenang namun kuat. Perhatian diberikan pada kondisi bagaimana individu terbatas daripada bebas. Melanjutkan serangan terhadap eksistensialisme dan fenomenologi yang memotivasi Levi-Strauss, keinginan, motivasi, dan konsep tentang subjek manusia ditunjukkan muncul dari wacana tertentu dan bukan kehendak bebas dan pemikiran rasional. Apalagi aspek diri dianggap sering kontradiktif, terpisah-pisah, atau tidak lengkap. Pemahaman semacam ini lagi-lagi menyerang gagasan tentang kesatuan pelaku yang berdaulat. proses memikirkan kembali diri dan menempatkannya sebagai produk wacana kadang-kadang dirujuk sebagai decentering subjek.

Sebagaimana dalam bagian strukturalisme, agar apa yang dimaksud sebagai poststrukturalis semakin jelas, mari kita lihat beberapa pemikir dengan teorinya.

Michel Foucault adalah seorang strukturalis yang bergerak ke poststrukturalis. Ia menggunakan metode genealogi. Genealogi adalah sebuah bentuk sejarah yang kritis dalam arti berupaya mendiagnosis masa sekarang dan tentang kita, dalam masa yang benar-benar sekarang ini, untuk bertanya “apa yang didalilkan sebagai dibuktikan oleh dirinya sendiri?” untuk menghilangkan apa yang sudah biasa dan diterima”[24].

Foucault mencoba mengembangkan pemahaman baru tentang perkembangan sejarah sebagai proses perpecahan (rupture), penyimpangan (deviation), dan kemungkinan (contingenci). Berlawanan dengan pandangan tradisional terhadap sejarah, menurutnya sejarah pada dasarnya ditandai oleh perubahan konstan dan oleh pengaturan ulang berbagai wacana dan praktik mereka. Sejarah karenanya tidak ditentukan oleh urutan sebab tunggal dari peristiwa besar (perang, bencana, dll), juga tidak oleh tindakan individu (kaisar, raja, paus, orang-orang, dll). Sebaliknya, Foucault memeriksa proses konstitutif dari jenis pengetahuan tertentu (misalnya, pengawasan, hukuman, kebersihan) sebagai kekuatan penggerak pada periode yang dia pelajari[25].

Ia juga memfokuskan diri pada kekuasaaan dan analisis relasi kekuasaan. Menurutnya pengetahuan tidak dapat dipahami terlepas dari kekuasaan. Bagi Foucault tidak ada pengetahuan murni selain kekuasan, tapi pengetahuan juga memiliki kekuasaan yang nyata dan tak dapat dikurangi. Foucault mengatakan salah apabila kita membayangkan kekuatan sebagai sesuatu yang bisa dimiliki oleh individu, terorganisir seperti pada piramida, dengan satu orang di puncak, beroperasi melalui sanksi negatif. Ia berpendapat bahwa kekuatan sebenarnya lebih tak berbentuk dan otonom dan pada dasarnya berhubungan. Artinya, kekuasaan terutama bukan pada sesuatu yang dimiliki seseorang, melainkan masalah dari apa yang orang lakukan, berada dalam interaksi kita satu sama lain pada awalnya. Dengan demikian, kekuatan benar-benar ada di mana-mana ke jejaring sosial[26].

Foucault kemudian membentuk pengetahuannya tentang kekuasaan melalui tubuh yaitu sisi anatomo-politics dan bio-politics dari tubuh. Anatomo-politics tubuh artinya tubuh sebagai mesin yaitu pendisiplinannya, pengoptimalan kemampuannya, penghisapan tenaganya, peningkatan secara paralel tentang kegunaan dan kepatuhannya, penyatuannya kepada sistem efisien, dan kontrol ekonomi. Sedangkan bio-politics, fokus pada tubuh spesies. Tubuh dijiwai oleh mekanis kehidupan yang tugasnya adalah dasar dari proses biologis seperti perkembangbiakan, kelahiran, kematian, tingkat kesehatan[27].

Analisa kekuasaan terkait tubuh juga ditunjukkan oleh Foucault melalui istilah bio-power sebagai unsur dari perkembangan kapitalisme. Tubuh menjadi alat dalam produksi sekaligus perlu dikekang dalam tubuh spesies untuk mempertahankan keberlangsungan kapitalisme. Ia kemudian mengatakan berkembangnya bio-power mengakibatkan hukum bekerja semakin lama semakin sebagai norma dan institusi peradilan menjadi lebih banyak sebagai pengatur. Dengan kata lain keadilan berkurang dan hukum menjadi tidak lebih dari alat untuk mengatur masyarakat[28].

Ujung dari masuknya kekuasaan atas tubuh manusia adalah seksualitas sebagai isu politik. Menurut Foucault, isu seksualitas adalah sarana untuk mengakses baik kehidupan tubuh maupun kehidupan spesies. Mengapa demikian karena seksualitas membuat standar untuk pendisiplinan dan menjadi dasar peraturan. Selain itu seksualitas menyangkut sisi terkecil pengalaman manusia yang dilacak dalam tingkah laku, dicari hubungannya ke masa-masa awal kehidupan anak, dan memberikan cap/label kepada individu. Tetapi di sisi lain seksualitas juga sekaligus dapat dilihat sebagai masalah pelaksanaan politik, intervensi ekonomi (melalui kampanye mengkontrol kelahiran), dan kampanye ideologis tentang standar moralitas dan tanggung jawab[29].

Sementara itu, Jean-François Lyotard kritis terhadap kemajuan teknologi khususnya komputerisasi. Baginya ini adalah pertanyaan tentang pengetahuan dan kekuatan sebagai dua sisi dari pertanyaan yang sama yaitu siapa yang menentukan pengetahuan apa, dan siapa yang tahu apa yang perlu diputuskan? Menurut Lyotard, di zaman komputer pertanyaan tentang pengetahuan lebih dari sekedar tentang pemerintah. Dengan sejumlah besar pengetahuan tersimpan secara digital di database, siapa yang menentukan pengetahuan apa yang layak disimpan (apa pengetahuan yang sah) dan siapa yang memiliki akses ke database ini? Baginya perusahaan multinasional perlu dicurigai. Dengan menggunakan IBM sebagai contoh, dia menyarankan hipotesis di mana perusahaan memiliki sabuk tertentu di bidang orbit bumi di mana satelit beredar untuk komunikasi dan/ tahu untuk menyimpan data bank. Lyotard kemudian bertanya, ‘siapa yang akan memiliki akses terhadap mereka? Siapa yang akan menentukan saluran atau data yang dilarang? Negara? Atau apakah Negara hanya menjadi satu pengguna antara lain?[30].

Lyotard juga peduli atas perubahan yang terjadi pada status pengetahuan karena meningkatnya perdagangan pengetahuan. Pengetahuan menjadi komoditas yang sangat laku. Pengetahuan diproduksi agar bisa dijual dan dikonsumsi untuk bahan bakar produksi baru. Menurutnya, pengetahuan sebagian besar telah kehilangan nilai kebenarannya, atau lebih tepatnya, produksi pengetahuan tidak lagi untuk menghasilkan kebenaran. Orang yang mempelajari pengetahuan tidak lagi bertanya apakah hal itu benar, tapi apakah ada gunanya bagi mereka. Mengamati perkembangan pengetahuan, menurut Lyotard komputerisasi dan legitimasi pengetahuan akan menyingkirkan gagasan bahwa penyerapan pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari pelatihan pikiran. Dalam waktu dekat, ia memprediksi, secara serentak pendidikan tidak akan lagi diberi  kepada orang-orang di masa muda mereka sebagai persiapan untuk hidup, melainkan akan menjadi proses pembelajaran informasi terkini yang terus diperbarui yang penting untuk fungsinya dalam profesi masing-masing[31].

Pemikiran Lyotard juga menolak semua ideologi politik dominan sebagai narasi utama yang mengeyampingkan minoritas dan melakukan kekerasan kepada sifat heterogen realitas masyarakat[32].

Postmodern

Mengapa postmodern perlu diangkat dalam tulisan ini? Postmodern sangat terkait dengan poststrukturalisme, dan dapat dianggap sebagai “sayap politik” dari poststrukturalisme. Hal ini berarti mencurigai, dan berusaha untuk menggoncang narasi besar dari organisasi sosial modern dan dominasi termasuk kapitalisme, patriarki, kolonialisme dan heteronormativitas. Teori ini mengadopsi epistemologi dan ontologi poststrukturalis untuk mengngkat kontradiksi dalam narasi besar yang mengkontrol atau mendominasi. Dengan melakukan hal itu, artinya melawan dan menolak dominasi[33].

Pembahasan postmodern akan dibagi menjadi dua yaitu analisis budaya dan teori kritis dalam postmodern[34].

  1. Analisis Budaya

Ciri-ciri umum yang ada pada tulisan tentang postmodern adalah:[35]

  • Budaya dan media massa menjadi lebih kuat dan penting dalam kehidupan sosial daripada sebelumnya;
  • Kehidupan ekonomi dan sosial berkisar pada konsumsi simbol dan gaya hidup, bukan produksi barang melalui kerja industri;
  • Gagasan tentang realitas dan representasinya menjadi masalah. Gambar dan ruang telah menggantikan narasi dan sejarah sebagai prinsip pengorganisasian produksi budaya. Gaya seperti parodi, imitasi, ironi. dan pop eklektis menjadi populer;
  • Pemandangan kota berbasis konsumsi mendominasi daerah urban. Alih-alih diorganisir di seputar produksi ekonomi, pusat kota yang dinamis adalah penyediaan hiburan, waktu luang, dan layanan gaya hidup. Pusat perbelanjaan, taman hiburan dan kompleks perumahan bertema adalah contohnya;
  • Hibriditas/campuran menggantikan batas dan klasifikasi yang kaku.

Selain ciri umum tersebut, globalisasi adalah tema penting dalam postmodern. Globalisasi dapat dijelaskan sebagai sebuah proses yang melibatkan tiga dimensi kunci yaitu:

  • Globalisasi ekonomi yaitu dengan bangkitnya pasar keuangan dunia dan zona perdagangan bebas, pertukaran global barang dan jasa, serta pertumbuhan pesat perusahaan transnasional;
  • Globalisasi politik yaitu tentang bagaimana negara-bangsa digantikan oleh organisasi internasional (misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa, Uni Eropa) dan bangkitnya politik global;
  • Globalisasi budaya yaitu tentang arus informasi, tanda-tanda, dan simbol di seluruh dunia, dan reaksi terhadap arus itu.

Pada bagian ini satu lagi yang penting diangkat adalah kritik neo-Marxist khususnya David Harvey. Ia mendasarkan analisisnya pada fase perkembangan kapitalisme. Abad XX adalah era Fordisme yaitu mengacu pada produksi massal industri mobil Ford. Akibatnya adalah pasar jenuh dengan barang, penerimaan pajak turun dan inflasi di luar kendali. Tanggapan kapitalis atas hal ini disebut Harvey sebagai “akumulasi fleksibel/ flexible accumulation. Kunci akumulasi fleksibel adalah kemampuan untuk cepat mengubah produk dan untuk memproduksi kumpulan kecil untuk pasar terbatas. Caranya adalah dengan menggunakan sejumlah kecil pekerja yang memiliki beragam ketrampilan (multi-skill), teknologi informasi, dan produksi dengan sistem terkomputerisasi. Mereka juga menyebarkan iklan dan strategi lainnya agar terus menghasilkan pergeseran permintaan untuk produk baru dan trendi. Melalui terus-menerus mengubah lini produk dan dengan mendorong demam dan mode, roda konsumerisme dan kapitalisme terus berputar. Ini membantu menunda apa yang Harvey prediksi akhirnya akan menjadi krisis sistem kapitalis.[36]

Harvey melihat kecenderungan arus modal ini meluas ke kehidupan budaya yang lebih luas dan menentukan luasnya cakupan. Kita hidup di dunia dimana media, demam mode dan gambar semakin penting. Hasilnya adalah budaya yang ditandai dengan kedangkalan dimana produk tanpa henti saling menggantikan dan pengejaran gaya kosong telah menggantikan pencarian keaslian, sejarah, dan narasi[37].

Teori Baudrillard paling dikenal adalah tentang kebudayaan konsumsi postmodern[38].

Konsep kuncinya antara lain hyperealitas yaitu “lebih nyata daripada nyata” dalam arti sesuatu yang palsu dan buatan menjadi lebih pasti daripada kenyataan itu sendiri[39].

Konsepnya yang lain adalah simulakra. Terdapat tiga tatanan simulakra:[40]

  • Dalam urutan pertama simulakra, yang dia kaitkan dengan periode pra-modern, gambar adalah tiruan yang jelas dari yang nyata. Citra diakui hanya sebagai ilusi, tempat penanda yang nyata;
  • Dalam urutan kedua simulakra, yang oleh Baudrillard dikaitkan dengan revolusi industri abad XIX, perbedaan antara citra dan representasi mulai rusak karena produksi massal dan penyebarluasan salinan. Produksi semacam itu salah merepresentasikan dan menutupi kenyataan yang mendasarinya dengan menirunya dengan sangat baik, sehingga mengancam menggantikan aslinya (misalnya dalam fotografi atau ideologi). Namun, masih ada keyakinan bahwa melalui kritik atau tindakan politik yang efektif, seseorang masih dapat mengakses fakta tersembunyi yang sebenarnya;
  • Pada urutan ketiga simulakra, yang dikaitkan dengan masa postmodern, kita dihadapkan pada gerakan ke arah Artinya representasi mendahului dan menentukan yang sebenarnya. Tidak ada lagi perbedaan antara realitas dan representasinya, hanya ada simulakra.
  1. Teori Kritis

Ciri-ciri umum teori kritis postmodern adalah:[41]

  • Kritik atas modernitas;
  • Komitmen terhadap teks dan wacana sebagai pusat dalam membangun tatanan sosial;
  • Kepercayaan bahwa teori kebudayaan adalah bagian dari moral dan politik;
  • Pengakuan atas perspektif, suara dan budaya kelompok yang tersubordinasi.

Konsep Zygmunt Bauman yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah liquid modernity. Suatu ekspresi untuk mengatakan perasaan ketidakberakaran dan ketidakstabilan untuk dikontraskan dengan kesolidan dan kepastian dalam masyarakat modern. Apa yang ia maksud dengan cair/liquid adalah segalanya, baik kerja, keluarga, cinta, keintiman dan moralitas. Simbol kesolidan modernitas bagi Bauman adalah fordism yaitu bentuk produksi ban berjalan yang dikenalkan oleh pabrik mobil Ford. Tercerabutnya manusia modern dari sistem sebelumya yaitu feodalisme digantikan dengan kesolidan sistem yang lain yaitu kapitalisme. Sedangkan postmodern ditandai dengan karakter globalisasi pada era posmodern yaitu ledakan teknologi berupa sistem informasi baru. Outsourcing, subkontrak dengan rantai produksi yang terpecah-pecah di berbagai negara bahkan untuk satu produk menandai kecairan ini. Begitu pula investasi berkembang tidak lagi pada manufaktur melainkan pada komunikasi, informasi teknologi dan sektor jasa[42].

Implikasi Pada BHS

Bagaimana ini kemudian berimplikasi pada BHS? Setidaknya penelusuran di atas mempengaruhi 2 hal yaitu analisis masalah serta pendekatan di dalam menyelesaikan masalah atau dengan kata lain strategi sebagai penerapan BHS.

  1. Analisis terhadap masalah
  • Kekuasaan jelas tema yang penting dalam poststrukturalis dan mengikutinya, maka kekuasaan tidak terpusat tetapi hidup dalam berbagai relasi. Oleh karena itu masalah ketimpangan kuasa tidak hanya ada pada hubungan rakyat dengan negara, tetapi juga di dalam komunitas bahkan relasi antar individu;
  • Pengetahuan bukan lagi mengenai soal kebenaran. Pengetahuan sebagai alat menguasai dan/atau melanggengkan kekuasaan adalah cara melihat yang berikutnya. Selain itu pengetahuan menjadi sekedar alat untuk kehidupan keseharian;
  • Berikutnya, masih turunan dari kekuasaan, tubuh adalah medan pertempuran kuasa menguasai. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga hasrat, gerak gerik menjadi hal untuk menguasai. Lebih jauh lagi seksualitas bukan hanya lekat terhadap kesenangan ataupun gairah, tetapi juga intervensi politik dan ekonomi;
  • Hal lain adalah melihat setiap kelompok baik yang minoritas sekalipun termasuk cara pandang kelompok tersebut sebagai sama penting dengan yang dominan/mayoritas;
  • Ekonomi dan politik bukan lagi hal terpenting, wacana memegang peranan tak kalah signifikan;
  • Perkembangan kapitalisme hingga komoditisasi budaya dan memunculkan konsumerisme juga persoalan penting dalam masyarakat;
  • Perkembangan teknologi dan teknologi informasi membuat segala sesuatu menjadi tidak terikat dan karenanya lebih rentan karena penuh ketidakpastian.
  1. Pendekatan atau strategi penerapan BHS
  • Karena sistem politik atau ekonomi bukan sistem satu-satunya tetapi budaya juga digunakan sebagai pertempuran dan alat menguasai, maka pendekatan budaya menjadi penting. Oleh karena itu penyampaian budaya (tidak saja isi budayanya) menjadi sangat penting;
  • Karena kapitalisme telah mengkomoditisasi tidak hanya produk dan orang, tetapi juga budaya, maka penting adanya gerakan ditingkat konsumsi untuk mengimbangi gerakan selama ini yang berada pada wilayah produksi;
  • Teknologi khususnya komputerisasi termasuk didalamnya internet menjadi penting. Karakternya yang masif, melampaui jarak dan waktu, serta terbuka merupakan ancaman sekaligus peluang;
  • Tidak lagi diperlakukannya pengetahuan sebagai kebenaran menjadikan pertarungan wacana menjadi hal penting yang perlu mendapat perhatian;
  • Perlu perspektif global dalam setiap langkah karena globalisasi terjadi untuk modal, politik dan budaya. Globalisasi memperpendek jarak sekaligus menjauhkannya. Apabila dahulu pemilik perusahaan mungkin adalah orang di sekitar rumah kita, kemudian bergeser menjadi orang yang tinggal di satu provinsi, saat ini sangat besar kemungkinannya jarak itu berkembang menjadi antar negara bahkan antar benua. Oleh karena itu perspektif global ini perlu diturunkan dalam strategi-taktik. Pengorganisiran berbasis perusahaan misalnya menjadi kurang relevan dalam sistem kerja outsourcing.

Melampaui Dikotomi Agen – Struktur

Masalah tentang hubungan antara tindakan dan struktur sosial adalah jantung dari teori sosial dan filsafat ilmu pengetahuan dan sebagian besar teoritisi sosial cenderung memberikan penekanan pada salah satunya[43].

 

Apa yang memotivasi tindakan manusia? Apakah individu bertindak sebagai respons terhadap sebab eksternal? Apakah tindakan individu ditentukan oleh “budaya,” “struktur sosial, atau” cara produksi “? Atau apakah aktor bertindak karena alasan mereka sendiri sebagaimana pendapat aliran fenomenologis, interpretatif, dan aktor rasional  dalam ilmu sosial? Jadi apakah yang menjadi epistemologis konsep aktor dalam ilmu sosial tentang perilaku mereka?[44].

Tiga tokoh di bawah ini adalah mereka yang mencoba mendamaikan pembedaan antara struktur dan agen:

  1. Pierre Bourdieu

Bourdieu adalah salah satu sosiolog pertama generasi Perang Dunia II yang membuat agen/struktur sebagai isu utama dalam sosiologi. Dia mengusulkan menghubungkan agen dan struktur dalam hubungan yang dialektis. Dia melawan konseptualisasi tindakan manusia sebagai respon langsung, bebas intervensi kepada eksternal faktor, baik mereka diidentifikasi sebagai struktur mikro dari interaksi atau faktor ekonomi, sosial, budaya di tingkat makro. Ia juga menolak menganggap tindakan sebagai hasil dari faktor internal seperti niat dan perhitungan sadar[45]. Konsep kuncinya terdiri dari habitus, field, dan capital.

Habitus adalah gagasan Bourdieu untuk menjembatani subjektivisme dan objektivisme.[46] Habitus adalah hasil dari sejarah, dihasilkan dari individu dan praktek bersama sesuai dengan skema yang dihasilkan oleh sejarah. Ia memastikan kehadiran aktif dari pengalaman masa lalu, yang disimpan oleh setiap orang dalam bentuk persepsi, pikiran dan tindakan, cenderung untuk menjamin “kebenaran” dari praktek dan keteguhan dari waktu ke waktu, lebih dapat diandalkan daripada semua aturan formal dan norma yang eksplisit[47].

Secara literal, berdasarkan bahasa latin, habitus merujuk pada kebiasaan atau kondisi tertentu, penampakan tertentu khususnya tubuh[48]. Bagi Bourdieu, keberadaan habitus ada di beberapa aras[49]:

  1. Di dalam kepala aktor;
  2. Melalui dan karena praktek aktor dan interaksinya dengan orang lain dan lingkungannya yaitu cara berbicara, cara bergerak, cara membuat sesuatu, dan lain-lain;
  3. Pada tubuh dalam arti lebih kepada indera dan berakar pada pengalaman sensor tubuh.

Konsep yang kedua adalah field. Field adalah arena tempat produksi, sirkulasi, dan apropriasi barang, jasa, pengetahuan , status dan status yang kompetitif yang dilakukan aktor dalam pergulatannya untuk meningkatkan dan memonopoli kapital. Field dapat dipikirkan sebagai ruang terstruktur yang diatur di sekitar jenis tertentu kapital atau gabungan kapital-kapital[50].

Menurut Bourdieu, interaksi terjadi di dalam ruang sosial yang terbagi menjadi ruang sosial yang berbeda (different social fields)[51] sebagai arena praktek  tindakan manusia[52]. Ruang sosial adalah tempat pergulatan  “locus of struggles” yang menyajikan hubungan antara posisi[53].

Singkatnya, fields adalah tempat hubungan kuasa dimana praktek/tindakan aktor tidak sukarela[54].

Konsep ketiga adalah modal/capital. Yang dicakup oleh Bourdie sebagai capital adalah semua bentuk kuasa yaitu:[55]

  1. Material: uang dan bangunan;
  2. Budaya: barang budaya dan jasa termasuk gelar pendidikan;
  3. Sosial: kenalan dan jaringan;
  4. Simbolik: legitimasi.

Capital ini dapat menjadi sumber kuasa dan dalam kondisi dan keadaan tertentu satu capital dapat berubah menjadi capital lainnya[56]. Misalnya, legitimasi dapat berubah menjadi kekuasaan dan akhirnya uang apabila legitimasi tersebut digunakan untuk memperebutkan kursi di legislatif.

Di sinilah habitus memegang peran kunci sebagai penengah agen-struktur. Habitus dapat ditaklukkan dalam situasi tertentu khususnya dalam situasi krisis yang membuat aktor akan menyesuaikan habitusnya agar dapat bertahan. Nalar dan kesadaran juga dapat membuat habitus diubah oleh aktor[57].

  1. Anthony Giddens

Dalam membangun teorinya, Giddens mengartikan struktur sebagai aturan dan sumber daya (rules and resources)[58].

Aturan dan sumber daya ini digunakan oleh pelaku/agen dalam interaksi. Aturan adalah generalisasi prosedur dan metodologi yang dimiliki agen secara refleks dalam simpanan pengetahuannya dan yang mereka gunakan sebagai formula untuk tindakan dalam sistem sosial (konteks empiris tertentu dari interaksi). Aturan dari  struktur ini mengungkapkan sifat-sifat pentingnya yaitu diam-diam diketahui, informal, disetujui secara luas dan sering diingat dan digunakan dalam percakapan, ritual interaktif dan rutinitas keseharian[59].

Adapun sumber daya berhubungan dengan relasi kekuasaan dan yang pelaku bawa untuk pertemuan interaksi. Terdapat dua bentuk yaitu sebagai sumber daya yang teralokasi (allocative resources) yaitu merujuk perintah kita atas obyek material dan sebagai sumber daya sumber otoritatif (authoritative resources) yaitu menentukan perintah atas aktor lain. Aktor yang memiliki sumber daya paling berguna akan memiliki kapasitas transformasi (transformative capacity) untuk mengubah struktur sosial[60].

Salah satu proposisi utama teori strukturasi adalah bahwa peraturan dan sumber daya yang ditarik dalam produksi dan reproduksi tindakan sosial pada saat yang sama merupakan sarana reproduksi sistem (dualitas struktur)[61]. Teori ini didasarkan pada tiga konsep dasar yaitu:[62]

  1. Reflexivity: produksi dan reproduksi kehidupan sosial adalah ketrampilan yang dihasilkan di atas bagian pengetahuan dan kemampuan subyek manusia, bukan respon otomatis kepada logika transhistoris atau imperatif fungsional;
  2. Recursiveness: kehidupan sosial bergerak di bawah kondisi tidak sepenuhnya dipahami, tetapi tidak juga seluruhnya diniatkan oleh aktor sosial. Meski demikian, masuk secara langsung kepada produksi dan reproduksi dari praktek sosial dimana pelaku terlibat secara lebih teknis. Struktur, yang ia pahami sebagai serangkaian aturan dan sumber daya, dibuat tersedia oleh struktur signifikansi, dominasi atau legitimasi. Baik sarana maupun hasil dari praktek sosial membentuk sistem sosial.
  3. Regionalisasi: kesinambungan kehidupan sosial tergantung baik pada interaksi antara pelaku yang secara bersama hadir dalam waktu dan/atau ruang maupun pada relasi yang yang capaiannya melampaui “di sini dan saat ini/”here and now” untuk menegaskan interaksi dengan yang lain yang tidak hadir dalam ruang dan/waktu waktu. Dua dimensi ini yaitu kerutinan waktu-ruang dan distansiasi waktu-ruang memerlukan artikulasi dari kehadiran dan ketidakhadiran melalui bentuk regionalisasi yang menghubungkan kehidupan sosial ke dalam dan ke luar dari situs/lokal/domain.

Refleksi Untuk BHS

Kedua teori di atas menunjukkan meskipun struktur atau sistem menjadi penghambat langkah maupun pencapaian kondisi yang ingin dibangun, tetapi subyek manusia sendiri dapat menentukan nasibnya dengan berbagai jalan. Tentu saja asumsi ini tidak lantas mengabaikan hambatan struktural karena struktur saja sudah tidak relevan dibicarakan dalam kacamata teori-teori tersebut. Nalar dan kesadaran adalah kata kunci yang dibawa oleh Bourdieu atau dalam bahasa Gidden pengetahuan yang tersimpan. Oleh karenanya pengolahan logika dan pendidikan kritis menjadi hal yang penting dilakukan agar masyarakat memiliki pengetahuan yang tersimpan di dalam dirinya.

Baik Bourdieu dan Giddens memberikan perhatian sumber daya dalam kaitannya dengan power. pada Masih belajar dari Bourdieu, penguasaan modal yang  tidak hanya berupa material adalah peluang untuk menyejajarkan posisi. Budaya, sosial dan simbol juga menjadi modal untuk mendapatkan kekuasaan/power. Oleh karena itu, gerakan hukum semata, apalagi  yang kering hanya menggunakan aturan-aturan normatif pasti kurang efektif. Gerakan budaya dan sosial termasuk merebut simbol dan kebiasaan adat perlu dilakukan. Advokasi seperti untuk mengembalikan tanah, air, dan hutan, tidak hanya berarti pengembalian hak, tetapi juga ritus dan tempat suci sebagai sumber kehidupan masyarakat.

Kesimpulan

Berdasarkan pengembangan teori yang melandasi BHS yaitu teori struktural maka pembaruan BHS semakin jelas arahnya. Penulis sungguh tergoda untuk membuat daftar panjang pembaruan tersebut. Tetapi, karena ruang terbatas, kesimpulan ini hanya akan memberikan beberapa contoh dari kemungkinan pengembangan dan pembaruan operasionalisasi BHS. Contoh tersebut adalah:

  1. Advokasi berperspektif global baik mengenai korban yang diadvokasi maupun cara melakukan advokasi;
  2. Perlawanan oleh buruh sebagai aktor produksi perlu dilengkapi dengan gerakan konsumen baik sebagai gerakan konsumen melawan sistem produksi untuk memperkuat gerakan buruh maupun menciptakan gerakan konsumsi alternatif;
  3. Pengorganisiran basis non-tradisional menjadi bagian dari perluasan pengorganisiran basis tradisional;
  4. Penggunaan teknologi untuk pengorganisasian dan kampanye termasuk kepentingan advokasi kebijakan;
  5. Perspektif negara vis a vis rakyat beralih memberikan perhatian kepada negara juga bangsa;
  6. Gerakan struktural menjadi gerakan struktural dan kultural;
  7. Advokasi hukum menjadi advokasi hukum, sosial, politik, dan ekonomi.

 

Daftar Pustaka

Aylesworth, Gary, PostmodernismThe Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diunduh dari [https://plato.stanford.edu/archives/spr2015/entries/postmodernism/].

Bourdieu, Pierre, 1990. Structure, Habitus, Practices, from Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, Cambridge: Polity Press in association with Blackwell Publisher.

Elliot, Anthony dan Turner, Bryan S, ed, Profiles in Contemporary Social Theory, SAGE Publication: London, Thousand Oaks, New Delhi.

Fakih, Mansour, NGOs in Indonesia, 1991. Occasional Paper Series on Non-Governmental Organizations 2. Diunduh dari [http://scholarworks.umass.edu/cie_ngo/2].

Felluga, Dino, Modules on Baudrillard: On Simulation, Introductory Guide to Critical Theory. Diunduh dari [http://www.purdue.edu/guidetotheory/postmodernism/modules/baudrillardsimulation.html].

Foucault, Michel, 1976. History of Sexuality Vol I an Introduction, New York: Random House, Vintage Books.

Fox, N.J, Post-structuralism and postmodernismThe Wiley-Blackwell Encyclopedia of Health, Illness, Behavior and Society. Chichester: Wiley.

Giddens,  Anthony, The Constitution of Society Outline of the Theory of Structuration, University of California Press, Berkeley & Los Angeles.

Internet Encyclopedia of Philosophy, Michel Foucault (1926 – 1984). Diunduh dari [http://www.iep.utm.edu/foucfem/].

Internet Encyclopedia Philosophy, Jean-François Lyotard (1924—1998). Diunduh dari [http://www.iep.utm.edu/lyotard/#SH4b].

Jones, Bradbury  & Boutilier, Introducing Social Theory, ed 2, Polity, UK & USA.

Korten, David C, Strategies of Development-oriented NGOs: Four Generations (1990) Getting to the 21st Century – voluntary action and the global agenda, Bookmark.

New Catholic Encyclopedia Supplement 2012 − 13: Ethics And Philosophy, Post-Structuralism , Volume 3.

Richard Jenkins, Key Sociologist Pierre Bourdieu, Routledge, London & New York.

Rivkin, Julie & Ryan, Michael, Literary ed., Theory: An Anthology, ed.2, Blackwell Publishing, UK, USA, Australia.

Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia.

Swartz, David, Culture and Power: the Sociology of Pierre Bourdieu, The University of Chicago Press, Chicago.

Turner, Jonathan H, Review Essay: The Theory of Structuration, American Journal of Sociology Vol 91 Number 4 (January 1986).

Walther, M, 2014. Repatriation to France and German A Comparative Study Based on Bourdieu’s Theory of Practice, Springer XXIX.

 

Website:

http://www.uh.edu/~cfreelan/courses/1361/BaudrillardQuotes.html.

http://geog.uoregon.edu/amarcus/geog620/Readings/DoHG-structuration%20theory.pdf.

 

 

Catatan Kaki :

[1] Ketua Umum YLBHI Periode 2017-2021.

[2] Korten, David, dalam Mansour Fakih, NGOs in Indonesia, 1991, Occasional Paper Series on Non-Governmental Organizations. 2, hal.6. Dapat dilihat di http://scholarworks.umass.edu/cie_ngo/2.

[3] Elridge, Phillip, dalam Mansour Fakih, NGOs in Indonesia, 1991, Occasional Paper Series on Non-Governmental Organizations. 2, hal.6 dan 7. Dapat dilihat di http://scholarworks.umass.edu/cie_ngo/2.

[4] Mansour Fakih, NGOs in Indonesia, 1991, Occasional Paper Series on Non-Governmental Organizations. 2, hal. 7. Dapat dilihat di http://scholarworks.umass.edu/cie_ngo/2.

[5] Mansour Fakih, NGOs in Indonesia, 1991, Occasional Paper Series on Non-Governmental Organizations. 2, hal. 9. Dapat dilihat di http://scholarworks.umass.edu/cie_ngo/2.

[6] Mansour Fakih, NGOs in Indonesia, 1991, Occasional Paper Series on Non-Governmental Organizations. 2, hal. 9. Dapat dilihat di http://scholarworks.umass.edu/cie_ngo/2.

[7] Mansour Fakih, NGOs in Indonesia, 1991, Occasional Paper Series on Non-Governmental Organizations. 2, hal. 9. Dapat dilihat di http://scholarworks.umass.edu/cie_ngo/2.

[8] Strategies of Development-oriented NGOs: Four Generations

Source: David C Korten (1990) Getting to the 21st Century – voluntary action and the global agenda; Bookmark; ISBN 971-569-005-X.

[9] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005, hal. 133.

[10] Giddens,  The Constitution of Society Outline of the Theory of Structuration, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1984, hal.1.

[11] Giddens,  The Constitution of Society Outline of the Theory of Structuration, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1984, hal.2.

[12] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005, hal 97-98.

[13] Jones, Bradbury dan Boutilier, Introducting Social Theory ed 2, Polity,UK & USA, hal. 50.

[14] Jones, Bradbury dan Boutilier, Introducting Social Theory ed 2, Polity,UK & USA, hal. 50.

[15] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005, 108-109.

[16] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005, hal.109.

[17] Rivkin, Julie dan Ryan, Michael, Literary ed., Theory: An Anthology, ed.2, Blackwell Publishing, UK, USA, Australia, hal. 257.

[18] Aylesworth, Gary, “Postmodernism”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2015 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/spr2015/entries/postmodernism/>.

[19] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005, hal.117.

[20] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005, hal.119-120.

[21] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005,  hal.120.

[22] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005,  hal.120.

[23] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005,  hal.118 – 119.

[24]Foucault, 1988a: 265 dalam Internet Encyclopedia of Philosophy. Dapat dilihat di  http://www.iep.utm.edu/foucfem/.

[25] New Catholic Encyclopedia Supplement 2012 − 13: Ethics And Philosophy, Post-Structuralism , Volume 3, 1246-1247.

[26] Internet Encyclopedia of Philosophy, Michel Foucault (1926 – 1984). Dapat dilihat di  http://www.iep.utm.edu/foucault/#SH4a.

[27]Foucault, History of Sexuality, 1976, hal. 298.

[28] Foucault, History of Sexuality, 1976, hal. 298.

[29] Foucault, History of Sexuality,1976, hal. 301.

[30] Internet Encyclopedia Philosophy, Jean-François Lyotard (1924—1998). Dapat dilihat di  http://www.iep.utm.edu/lyotard/#SH4b.

[31] Internet Encyclopedia Philosophy, Jean-François Lyotard (1924—1998). Dapat dilihat di  http://www.iep.utm.edu/lyotard/#SH4b.

[32] Internet Encyclopedia Philosophy, Jean-François Lyotard (1924—1998). Dapat dilihat di  http://www.iep.utm.edu/lyotard/#S.

[33] Fox, N.J. (2014) ‘Post-structuralism and postmodernism.’ In: Cockerham, W.C.,Dingwall, R. and Quah, S.R. (eds.)The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Health, Illness, Behavior and Society. Chichester: Wiley, hal. 1.

[34] Mengikuti pembagian dalam buku Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005.

[35] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005, 215.

[36] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005, 224.

[37] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005, 224.

[38]Elliot, Anthony dan Turner, Bryan S, ed, Profiles in Contemporary Social Theory, SAGE Publication: London, Thousand Oaks, New Delhi, hal. 196.

[39] http://www.uh.edu/~cfreelan/courses/1361/BaudrillardQuotes.html

[40] Felluga, Dino. “Modules on Baudrillard: On Simulation.” Introductory Guide to Critical Theory. <http://www.purdue.edu/guidetotheory/postmodernism/modules/baudrillardsimulation.html>.

[41] Smith & Riley, Cultural Theory an Introduction, ed 5, Blackwell Publishing, USA, UK, Australia, 2005, 233.

[42] Jones, Bradbury dan Boutilier, Introducting Social Theory ed 2, Polity,UK & USA, hal. 200-201.

[43] Elliot & Turner ed, Profiles in Contemporary Social Theory, SAGE Publication, London, Thousand Oaks, New Delhi, hal. 294

[44] Swartz, David, Culture and Power: the Sociolgy of Pierre Bourdieu, The University of Chicago Press, Chicago, hal. 8.

[45] Swartz, David, Culture and Power: the Sociolgy of Pierre Bourdieu, The University of Chicago Press, Chicago,hal. 8-9.

[46] Richard Jenkins, Key Sociologist Pierre Bourdieu, hal. 45.

[47] Bourdieu, Pierre, Structure, Habitus, Practices, from Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, Cambridge: Polity Press in association with Blackwell Publihers, 1990, hal. 279.

[48] Richard Jenkins, Key Sociologist Pierre Bourdieu, hal. 45.

[49] Jenkin, Key Sociologist Pierre Bourdieu, hal 46.

[50] David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, hal. 117.

[51] Bourdieu, 1966 in reference to the intellectual field dari M. Walther, Repatriation to France and German A Comparative Study Based on Bourdieu’s Theory of Practice, Springer XXIX, 2014, hal. 8.

[52] Chudzikowski & Mayrhofer, 2011 dari M. Walther, Repatriation to France and German A Comparative Study Based on Bourdieu’s Theory of Practice, Springer XXIX, 2014, hal. 8.

[53] Bourdieu, 1972, dari M. Walther, Repatriation to France and German A Comparative Study Based on Bourdieu’s Theory of Practice, Springer XXIX, 2014, hal. 9.

[54]M. Walther, Repatriation to France and German A Comparative Study Based on Bourdieu’s Theory of Practice, Springer XXIX, 2014, hal. 9.

[55] David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, hal. 74.

[56] David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, hal. 75

[57] David Swartz, Culture and Power: The Sociology of Pierre Bourdieu, hal.113.

[58] Elliot & Turner ed, Profiles in Contemporary Social Theory, SAGE Publication, London, Thousand Oaks, New Delhi, hal. 295.

[59] Turner, Jonathan H, Review Essay: The Theory of Structuration, hal. 972.

[60] Jones, Bradbury dan Boutilier, Introducting Social Theory ed 2, Polity,UK & USA, hal. 167.

[61] Giddens,  The Constitution of Society Outline of the Theory of Structuration, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1984, hal. 19.

[62] http://geog.uoregon.edu/amarcus/geog620/Readings/DoHG-structuration%20theory.pdf, hal. 798-799.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *