Kriminalisasi dan Eksklusi Petani di Kawasan Hutan Laposo Niniconang

Ady Anugrah Pratama

Oleh;

Ady Anugrah Pratama

Email : adyanugrahpratama23@gmail.com

Tanah dan darah memutar sejarah

Dari sini nyala api

Dari sini damai abadi

(Sajak Matinya Seorang Petani, Agam Wispi)

Hasan (60 tahun)[1] takut menebang pohon besar yang berada di samping rumahnya di Kampung Ale Sewo.[2] Pohon berusia puluhan tahun itu sudah membahayakan tempat tinggalnya, jika tak segera ditebang, pohon itu akan menjatuhi rumah dan membahayakan keselamatan seluruh keluarganya.[3] Namun,Hasan masih menunggu putusan Pengadilan atas perkara Natu bin Takka, Sabang bin Beddu, dan Ario Permadi, ketiganya didakwa melakukan pengerusakan hutan gara-gara menebang pohon jati di kebun sendiri. Hasan khawatir, nasibnya sama dengan ketiga petani tersebut, berhadapan dengan polisi dan diadili Pengadilan sebagai terdakwa atas perbuatan yang ia anggap bukanlah kejatahatan. Menakutkan.

Hasan bekerja sebagai petani dan penggembala sapi. Di kebunnya, ia menanam berbagai jenis tanaman untuk konsumsi sehari-hari dan untuk dijual. Tanaman seperti serai, lengkuas, cengkeh, kemiri adalah komoditas pertanian yang dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pada sore hari, ia akan menggiring sapinya ke kandang yang berada di samping rumah.

Di Kampung Ale Sewo, hampir semua rumah tangga memelihara sapi sebagai investasi. Memelihara sapi tak ubahnya menabung di bank, jika terdapat anggota keluarga yang membutuhkan uang, sapi segera dilepas ke pasar. Menjual sapi untuk kebutuhan pesta pernikahan atau membayar uang panaik[4] jamak dilakukan warga di kampung ini.

Secara administrasi, Ale Sewo masuk wilayah Kelurahan Bila, Kecamatan Lalabata. Kampung ini berjarak sekitar 5 kilometer dari pusat kota Watansoppeng. Jalanan di Ale Sewo masih berupa jalan beton yang dibuat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri). Jalan ini memanjang mengikuti kampung dan menjangkau sebagian kebun warga.

Jalanan kampung sunyi. Biasanya pada pagi hari, motor-motor petani lewat di kampung ini. Siang dan sore hari, motor itu kembali lewat dengan memuat hasil pertanian.  Mayoritas warga di Ale Sewo bekerja sebagai petani, sisanya bekerja sebagai buruh bangunan di kota Soppeng. Anak-anak muda kampung lebih suka bekerja sebagai buruh, karena bisa cepat mendapatkan uang.

Dari belasan rumah yang berada di Ale Sewo, hanya satu rumah beton. Sisanya, rumah panggung yang kayunya diambil dari kebun-kebun jati yang ditanam sendiri oleh warga Ale Sewo. Kampung ini sangat rindang, ada banyak pohon yang tumbuh, seperti: jati, kelapa, asam, mangga,  kemiri, bambu dan kebun-kebun kakao yang berada di samping rumah warga. Sungai tak jauh dari tempat tinggal warga, diseblahnya, beberapa petak sawah tadah hujan yang hanya dipanen sekali setahun.

Dari keterangan banyak warga, Sewo yang berbukit-bukit begitu kering, berbagai jenis tanaman ditanam warga membuat bukit-bukit itu hijau. Keberadaan pohon yang tinggi menjulang justru menjadi dasar klaim kawasan hutan.

Seluruh warga yang tinggal di kampung Ale Sewo mengalami ketakutan yang sama, ditangkap polisi dan dipenjara dengan tuduhan: merusak hutan. Di kampung ini, beberapa orang warga pernah diteror saat ingin menebang pohon yang ditanamnya sendiri. Terakhir, giliran Natu, Sabang dan Ario Permadi, dituduh merusakan hutan setelah menebang pohon jati di kebun mereka sendiri.

Kampung Ale Sewo dan kebun-kebun milik warga diklaim bagian dari kawasan hutan lindung, Laposo Niniconang.[5] Sementara masyarakat yang sudah turun-temurun tinggal, bersikukuh bahwa tempat tinggal dan kebun mereka adalah milik keluarga yang sudah dikelola puluhan tahun tanpa pernah ditinggalkan atau dialihkan ke pihak lain. Pemerintah pun mengakuinya dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) yang dibayar warga setiap tahunnya.

Saling klaim antara warga dan Kehutanan terus berlangsung dan belum menunjukkan babak akhir. Sebagian lokasi yang diklaim sabagai kawasan hutan lindung tak jelas, tak ada batas-batas kawasan dengan kebun dan pemukiman, tak ada  papan informasi atau sosialisasi langsung kepada masyarakat tentang keberadaan dan batas-batasan kawasan hutan Laposo Niniconang. Bahkan, banyak diantara masyarakat menganggap, kawasan hutan Laposo Niniconang berada belasan hektar dari kebun dan kampung mereka.

Pihak kehutanan dibawah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH Wallanae)[6] cenderung mengutamakan pendekatan penegakan hukum terhadap keberadaan petani yang turun-temurun tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan. Pemidanaan petani terus berlangsung, bahkan terjadi seperti bergiliran, satu persatu petani mendapat giliran berhadapan dengan proses hukum, diancam dan tanamannya dirusak. Di antara mereka sudah ada yang merasakan penjara dan tak berani mengelola kembali kebunnya.

Hasan dan banyak petani merasa harus berbuat sesuatu, kemenangan harus berada di tangan para petani. Setiap hari selasa, Hasan berboncengan dengan warga lain, datang ke Pengadilan Negeri Watansoppeng, menghadiri persidangan Natu, dan memberi dukungan pada tiga orang petani. Ia berharap, Natu bisa bebas dan berkumpul kembali bersama keluarganya.

Jika Natu, Sabang dan Ario diputus bersalah, artinya kebun yang mereka kelola adalah bagian dari kawasan hutan Negara, atau sebaliknya, jika petani diputus tak bersalah, mereka bisa terus mengelola kebun tanpa merasa terganggu. Putusan perkara pidana ini bisa menjadi legitimasi bagi warga dan Kehutanan.

Saat berada di Pengadilan, kadang Hasan hanya mengintip dari jendela ruangan sidang, melihat dari luar bagaiamana tiga orang petani diadili di Pengadilan. Beberapa orang petani bahkan takut masuk ke ruangan persidangan yang kadang dijaga oleh polisi. Kadang-kadang mereka hanya duduk dibawah pohon di depan Pengadilan, menunggu persidangan selesai. Bagi mereka, kehadiran di Pengadilan menjadi penanda dukungan atas tiga orang petani yang sedang diadili.

Setelah sidang selesai, puluhan petani yang datang setiap minggunya, berkumpul di rumah Natu. Mereka makan bersama dengan hidangan yang disiapkan tuan rumah. Ini berlangsung setiap minggu sampai putusan dibacakan Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini.[7]

Untuk membantu keluarga Natu, warga berinisiatif mengumpulkan uang yang akan diberikan pada anak dan menantunya yang memasak setiap hari sidang. Uang itu akan digunakan untuk membiayai perjuangan bersama.

(Petani di Kampung Coppoliang, Soppeng)

(Petani di Kampung Coppoliang, Soppeng)

Kriminalisasi dan Eksklusi

Di ujung jalan beraspal, Sukardi[8] sudah menunggu dan meminta kami segera mengganti mobil yang kami kendarai dari Makassar. Sukardi sudah menyiapkan mobil khusus yang akan membawa kami ke kampungnya: Coppoliang.

Kondisi jalan berlumpur, banyak kubangan bisa menenggelamkan roda kendaraan. Makanya, ia meminta kami ikut mobil yang sudah disewanya, mobil bak terbuka yang berusia tua. Keempat rodanya dipasangi rantai agar bisa mencengkram tanah. Seluruh penumpang duduk di bak belakang, sementara supir duduk di depan dibantu seorang kenek yang memperhatikan lubang yang ada di depan. Jika terdapat kubangan lumpur yang dalam, kenek akan memberi tahu supir agar segera menghindar.

Terdapat pohon pinus di kiri dan kanan jalan yang kami lalui, di sampingnya, pohon cengkeh warga yang hampir setengah tinggi pohon pinus. Tak jarang kami juga menumukan kebun kopi dan tanaman jangka pendek lainnya, seperti cabai dan tomat yang tumbuh bertetangga dengan pohon – pohon yang tinggi menjulang. Pohon durian dan kemiri yang berusia puluhan tahun menjadi penanda bahwa aktifitas manusia memang sudah lama berlangsung di kampung ini.

Secara administrasi, kampung ini masih bagian dari Dusun Waisuru, Desa Umpungeng, Kecamatan Lalabata. Kampung ini dihuni oleh masyarakat yang masih memiliki hubungan kekeluargaan satu sama lain.

Dari Desa Mattebulu, jalan terakhir yang beraspal, dibutuhkan waktu hampir sejam untuk bisa sampai ke perkampungan Coppoliang. Jalanan yang begitu buruk membuat perjalanan berlangsung lama. Infrastruktur jalan begitu buruk, tak ada listrik PLN yang masuk ke kampung. Lampu hanya akan menyala pada malam hari, listriknya bersumber dari turbin air yang dibuat secara swadaya. Pada musim kemarau, sungai mulai mengering sehingga mempengaruhi kekuatan listrik. Jika digelar hajatan, genset yang dimiliki salah seorang warga digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik.

Mushallah menjadi satunya-satunya fasilitas umum di kampung ini. Gedung sekolah dasar letaknya sekitar 6 kilometer dari kampung. Kebanyakan anak-anak usia sekolah hanya sampai jenjang sekolah dasar. Hanya beberapa orang saja yang bisa lanjut sampai ke sekolah jenjang menengah pertama dan menengah atas.

Semua masyarakat bekerja sebagai petani, cengkeh adalah komoditas utamanya, menggusur kemiri yang sudah mulai tua dan tak produktif. Sambil menunggu panen cengkeh yang hanya sekali dalam setahun, masyarakat di kampung ini menanam tanaman jangka pendek seperti labu, cabai, tomat sebagai komoditas lain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.

Membuat gula merah menjadi pekerjaan tambahan. Di kebun warga banyak tumbuh tanaman aren. Pekerjaan ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Pada bulan September sampai Desember, masyarakat mulai memanen madu di kebun dan hutan.

Sukardi yang menjemput kami adalah salah seorang warga Coppoliang. Dia adalah salah satu petani yang pernah ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Watansoppeng, dituduh melakukan pengerusakan hutan setelah menebang pohon besar di dalam kebun yang mengganggu pertumbuhan tanaman cengkeh dan kopinya.  Dia ditangkap bersama Jamadi saat sedang bergotong-royong menanam jahe di kebunnya. Bersama Sahidin yang juga ditangkap, mereka dibawa ke Makassar dan ditahan, dengan tuduhan yang sama: melakukan pengerusakan hutan.[9] Ketiga petani ini didakwa melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pengerusakan Hutan (UU P3H).[10]

Setelah disidangkan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Watansoppeng memutus ketiganya tidak bersalah. Putusan ini menjadi kabar gembira bagi para petani dan keluarga. Ini kemenangan petani untuk pertama kalinya di kabupaten Soppeng dan di Indonesia dari jerat UU P3H.

Upaya masyarakat setiap minggu datang beramai-ramai ke Pengadilan, membentangkan spanduk, meminta agar petani yang ditangkap agar dibebaskan berhasil. Kemenangan ini bukan hanya membebaskan tiga orang petani yang ditangkap, tapi juga membebaskan mereka dari belenggu ketakutan yang selalu memenjarakan mereka saat berada di kebun atau di rumah mereka. Putusan ini menjadi pembelajaran bagi para petani, bahwa petani yang sudah turun temurun tinggal di dalam kawasan hutan, yang mengelola kebun untuk kebutuhan sandang, pangan dan papan tak bisa dipidana.

Pada Putusan Nomor 11/PID.SUS/2018/PN.Wns, hakim pada putusannya mempertimbangkan bahwa petani yang sudah turun temurun tinggal di dalam kawasan hutan, yang mengelola kebun mereka untuk kepentingan sandang, pangan dan papan tak boleh dipidana.[11]

Atas inisiatif masyarakat, putusan kemenangan Sukardi dan dua orang petani lainnya diperbanyak oleh masyarakat. Jika polisi kehutanan datang mengusir mereka, salinan putusan segera mereka perlihatkan sebagai bukti, bahwa petani yang sudah turun-temurun yang mengelola kebun untuk kebutuhan sehari-hari tak bisa dipidana. Bagi warga, salinan putusan bak sebuah mantra pengusir jika ada polisi kehutanan yang mengganggu aktifitas pertanian mereka.

Jika merujuk pada semangat awal pembentukan undang-undang P3H, pembuatan UU ini bertujuan untuk menjerat kejahatan terorganisir terhadap hutan.[12] Namun dalam lapangan implementasi, justru petani-petani kecil yang dikambing hitamkan, dianggap aktor perusak hutan. Selain itu, UU P3H dibuat karena ketentuan hukum yang ada di dalam Undang-undang Kehutanan tak mampu memberantas dan menjerat kejahatan terorganisir terhadap hutan.[13]

Peristiwa penangkapan petani di Kabupaten Soppeng berlangsung terus menerus. Keberadaan petani yang berkebun dan tinggal di dalam kawasan hutan dinilai sebagai tindakan kejahatan yang harus ditindak tegas melalui upaya penegakan hukum.

Upaya kriminalisasi terhadap petani justru sebuah tindakan yang keliru. Upaya untuk melindungi kawasan hutan tak boleh dengan pendekatan refresif. Terlebih kerusakan hutan justru bukan  karena keberadaan petani tradisional yang sudah tinggal turun-temurun dalam kawasan hutan. Dibutuhkan aturan dan kebijakan pengelolaan dan perlindungan hutan yang bisa mengakomodir keberadaan petani tradisional bahkan kebijakan yang melibatkan para petani dalam menjaga hutan agar tetap lestari.

Studi-studi terdahulu tentang pengelolaan hutan menjelaskan bahwa degradasi kualitas dan kuntitas sumber daya hutan di Indonesia bukan hanya semata-mata karena kepadatan penduduk, rendahnya kesejahteraan ekonomi masyarakat, yang  cenderung dikaitkan dengan masyarakat di dalam atau sekitar hutan yang memiliki tradisi perladangan gilir balik (shifting cultivation). Tetapi, kerusakan sumber daya hutan justru terjadi karena pilihan paradigma pembangunan yang berbasis Negara (state-based resource develovment), pembangunan menajemen yang sentralistikdan semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang didukung dengan instrumen hukum dan kebijakan yang represif.[14]

Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Nancy Peluso, pada Hutan Kaya, Rakyat Miskin bahwa “Negara berusaha menetapkan lingkup tindakan warganya dengan undang-undang, terkadang dalam menanggapi kegiatan-kegiatan warga yang cenderung membandel. Undang-undang ini merumuskan tindak kejahatan dan menggariskan perlakuan terhadapnya. Para pengguna hutan yang tidak berwenang dicap sebagai “pemburu liar”, “pencuri kayu”, atau “penyerobot lahan. [15]

Banyak Negara, termasuk Indonesia melarang atau membatasi akses petani di kawasan-kawasan yang oleh Nancy Peluso dan Peter Vandergest (2001) disebut sebagai “Hutan Negara” yakni tanah yang dinyatakan pemerintah sebagai hutan.

Nancy Peluso dalam “Hutan Kaya, Rakyat Miskin, Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa “Negara kolonial dan Negara masa kini sering mengambil alih kawasan yang luas sebagai hutan, untuk perkebunan, atau untuk proyek-proyek pembangunan yang besar, merampas dan mencampakkan sistem hak-hak kepemilikan tanah yang sudah lebih dahulu ada dan menetapkan aturan hukum baru untuk tata guna tanah dan sumber daya. Sering kali, pengambilalihan ini diberi alasan pembenar dalam klaim bahwa perubahan itu demi “kebaikan bersama” bagi kemaslahatan sebesar-besarnya”

Di Kabupaten Soppeng, kriminalisasi[16] terhadap petani yang tinggal didalam kawasan hutan sudah berlangsung lama. Kriminalisasi bermula sejak tahun 2001. Tiga orang dinyatakan bersalah dengan kurungan masing-masing 2,5 tahun penjara dan denda 17 juta.

Tak hanya pemidanaan terhadap petani, banyak petani yang berada di dalam kawasan hutan Laposo Niniconang yang mendapatkan tindakan kekerasan, ancaman sampai pengerusakan tanaman pertanian/perkebunan karena dianggap masuk dalam kawasan hutan.[17]

Kriminalisasi terhadap petani yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan secara langsung atau tidak langsung membuat masyarakat kehilangan akses terhadap kebun/lahan pertanian yang diklaim menjadi bagian dari kawasan hutan. Hal ini bisa dilihat, ketika salah seorang petani dikriminalisasi membuat petani lainnya takut mengelola kebunnya karena takut akan mengalami hal yang sama.

Ketentuan dalam UU P3H sebagai salah satu instrumen hukum yang dibuat untuk melindungi kawasan hutan, justru membuat masyarakat secara pelan dan pasti kehilangan akses terhadap kebun dan lahan pertanian. Keberadaan UU P3H sebagai aturan yang dibuat untuk menjaga hutan agar tak dirusak oleh banyak pihak yang tak bertanggung jawab justru membuat banyak petani kehilangan akses tanah sebagai sumber daya.

Menurut Derek Hall, Phillip Hirch, dan Tania Li, dalam Kuasa Ekslusi ; Dilema Pertanahan di Asia Tenggara bahwa, pembenaran atas nama lingkungan dan ideologi konservasi dengan istilah berwatak inklusif sebagai kebaikan bersama justru membuat eksklusi di tempat-tempat yang mudah dikenali, seperti zona-zona konservasi dan kawasan lindung.[18] Penduduk di kawasan hutan dengan status perlindungan tertinggi , seperti hutan lindung dan taman nasional adalah orang-orang yang yang paling rentan terusir dan paling terancam kehilangan sumber penghidupan.

Masih menurut Derek Hall, Phillip Hirch, dan Tania Li, Peraturan menjadi kuasa utama yang bekerja dalam rezim eksklusi jenis ini. Kuasa eksklusi lewat peraturan membawa wacana “kebaikan bersama” yang justru harus dibayar dengan eksklusi petani-petani dari kawasan luas yang subur, serta dengan pembatasan-pembatasan lain atas pengelolaan sumber daya alam dan pemamfaatan lahan.

Selain kuasa peraturan, kuasa legitimasi dan pemaksaan juga punya peranan penting dalam mengusir petani yang berada di dalam kawasan hutan.  Gagasan moral “kebaikan bersama untuk generasi sekarang dan masa depan yang terkandung dalam wacana konservasi dan pelestarian alam menyediakan landasan moral yang kuat bagi eksklusi.

Di dalam UU P3H, impunitas[19] diberikan kepada petani yang sudah turun temurun tinggal di dalam kawasan hutan. Namun, dalam penegakannya, impunitas tak ditegakkan bagi petani tradisional, petani yang secara turun – temurun mengelola hutan bukan untuk tujuan komersial. UU ini mengandung dilema, di satu sisi dibutuhkan untuk menjerat kejahatan terorganisir terhadap hutan, namun di sisi yang lain justru banyak menjerat petani kecil.

(Sukardi duduk di Kebun miliknya di Kampung Coppoliang)

Penetapan Kawasan Hutan Secara Otoriter

Sukardi selalu meneteskan air mata saat ia menceritakan pengalaman penangkapan sampai ia dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan. Putusan itu selain membebaskan dirinya dari penjara, putusan juga telah memberikan keberanian pada dirinya.

“Dulu, baru didengar suara motornya polisi kehutanan lari maki, tapi setelah ada putusan tidak takut maki, bahkan kadang-kadang kami yang panggil itu polisi hutan kalau lewat.”Ujar Sukardi di tengah tengah pertemuan masyarakat.[20]

Sebelumnya, Sukardi juga pernah berhadapan dengan hukum saat ia merantau di Malaysia, tapi tuduhan pengerusakan hutan yang membuat dirinya ditahan membuat dirinya merasakan kesedihan mendalam.

“Saya pernah ditangkap waktu merantau di Malaysia, tapi saya merasa lebih berat saat ditahan di Indonesia, saya merasa seperti gila di dalam tahanan.” Ungkap Sukardi saat menceritakan pengalamannya.

Selama ditahan, ia selalu teringat anak dan istrinya.

“Kalau di Malaysia belumpi ada anak dan  istri, tapi waktu ditahan di Makassar dan di Soppeng adami anak istri, saya pikir mereka akan makan apa.” Cerita Sukardi dengan mata berkaca-kaca.

Tapi, keadilan berpihak padanya bersama dua orang petani lainnya. Setelah dibebaskan, Sukardi kembali mengurus kebunnya bersama istri. Di sela pohon cengkeh dan kopi, ia kembali menanam jahe.

La Kunnu, kakak kandung Sukardi juga memiliki pengalaman pahit berhadapan dengan polisi kehutanan.[21] Ia sangat takut polisi Kehutanan. Tanamannya pernah dirusak oleh polisi Kehutanan, bahkan ia pernah ditodong senjata, dan digertak akan dipenjara karena berkebun di dalam kawasan hutan. Baginya, mereka sudah sering ditakuti-takuti bahkan ditipu oleh pemerintah.

La Kunnu masih ingat, tahun 1980-an, ia pernah diminta untuk menanam pinus yang dibibit di Waisuru, tetangga kampung Coppoliang. Pinus-pinus ditanam di kebun-kebun warga, termasuk di kebun sendiri. Selain menerima upah menanam, La Kunnu dijanjikan akan  mengambil sendiri hasil getah pinus. Namun setelah pinus tumbuh besar, keberadaan pohon itu justru menjadi dasar klaim kawasan hutan oleh pemerintah.

Saling klaim kepemilikan sebagai ketegori kawasan hutan antara pemerintah dan petani menjadi sumber konflik yang berkepanjangan. Dalam kenyataannya, sebagian besar kawasan hutan yang diklaim sebagai hutan Negara itu, pada kenyataaanya, sudah jadi lahan garapan.

Kondisi ini juga terjadi di Kabupaten Soppeng, sebagian kawasan hutan Negara adalah lokasi perkebunan atau pertanian masyarakat menjadi lahan garapan yang dikuasai dan dikelola secara turun-temurun.

Kawasan hutan Laposo Niniconang ditetapkan sebagai kawasan hutan pertama kalinya pada tahuin 2014, melalui surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor Sk.5536/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 2 September 2014 tentang Penetapan Kawasan Hutan pada kelompok hutan Laposo Niniconang. Kawasan hutan ini dikelompokkan dalam tiga fungsi yaitu; kawasan hutan konservasi, lindung dan produksi.

Proses penetapan ini dimulai tahun 1982 melalui penunjukan kawasan hutan Laposo Niniconang. Proses ini berlanjut dengan penatabatasan yang dilakukan pada tahun 1998 dan ditetapkan pada tahun 2014. Kemudian tahun 2019, beberapa perkampungan warga dikeluarkan melaluin SK 362/ MENLHK/ SETJEN/ PLA.0/5/2019.

Semua tahapan dari proses penunjukan sampai penetapan berlangsung senyap, tak melibatkan partisipasi masyarakat. Perihal partisipasi masyarakat adalah hal yang sangat penting karena penetapan kawasan hutan berkaitan erat dengan keberadaan kebun dan tempat tinggal mereka.

Dalam proses penataan batas, terdapat proses identifikasi pihak ketiga. Pihak ketiganya dimaksud adalah tanah-tanah yang didalamnya terdapat klaim hak dan dapat dibuktikan dengan dokumen kepemilikan atau penguasaan.

Tak pernah terlihat upaya pemerintah untuk menghentikan praktek kriminalisasi terhadap para petani. Sementara di sisi petani, selama lahan pertanian, kebun dan tempat tinggal mereka masih dalam kawasan hutan, kriminalisasi masih akan terus mengincar mereka.

Mengeluarkan kebun dan tempat tinggal masyarakat di dalam klaim kawasan hutan menjadi salah satu agenda. Pelepasan kebun dan tempat tinggal dari dalam kawasan hutan bisa meminimalisir/menghentikan kriminalisasi. Dari segi kebijakan di level pemerintah daerah dan Kehutanan, tak pernah dibuat upaya bersama menyelesaikan konflik klaim antara masyarakat dan pihak kehutanan. Hanya beberapa kampung yang dikeluarkan melalui revisi perda RT/RW, itu pun prosesnya dilakukan secara sepihak tanpa melibatkan warga.

Vonis bebas terhadap tiga orang petani ternyata tak mengakhiri praktek kriminalisasi. Kondisi ini membuat resah para petani. Tiga orang petani di Kelurahan sewo, Kecamatan Lalabata dilaporkan dengan tuduhan yang sama, pengrusakan hutan. Ketiganya adalah Natu bin Takka, Ario Permadi bin Natu dan Sabang bin Beddu.  

Natu (75 tahun) tak menyangka ini akan terjadi dalam kehidupannya. Di usianya yang sudah senja, untuk pertama kali dalam hidupnya ia harus berhadapan dengan polisi. Ia bersama anak laki-lakinya Ario Permadi dan iparnya, Sabang dituduh merusak hutan setelah menebang puluhan pohon jati di kebunnya sendiri.

Natu bermaksud membangun rumah untuk anak laki-lakinya; Ario Permadi. Dalam menebang pohon jati ia dibantu Sabang, iparnya. Lokasi rumah yang akan dibangun tak jauh dari kebun tempatnya menebang jati.

Setelah menebang pohon, ia didatangi polisi dari Polres Soppeng yang mendapat laporan dari salah satu anggota polisi kehutanan. Natu ketakutan dan mencoba lari dari rumahnya. berhari-hari ia tak bisa makan, seluruh anaknya khawatir dengan kondisi kesehatan ayahnya.

Letak kebun jati Natu hanya sekitar 300 meter dari rumahnya, berada di pinggir jalan kebun yang sering dilewati motor para petani yang kebunnya lebih jauh dari kebunnya. Selain jati, di kebun itu ditanam mangga, nangka dan bambu. Di pinggir kebun, terdapat mata air yang dulu menjadi sumber air warga kampung.  

Semua warga kampung tahu, kalau kebun Natu adalah warisan mendiang ayahnya: Takka. Setiap tahunnya, ia membayar pajak atas tanah itu. Tak pernah ada petugas kehutanan yang menegurnya. Unsur pemerintah setempat juga tak pernah menegurnya.

Dari kasus Natu, barulah warga mengetahui kalau kampung Ale Sewo dan kebun mereka masuk dalam kawasan hutan lindung Laposo Niniconang. Tak ada batas yang jelas antara kawasan hutan, kebun dan pemukiman masyarakat.

“Bukan kebun saya yang masuk kawasan hutan, tapi kawasan hutan yang masuk ke kebunku.” Tutur Natu dengan suara pelan.

Saat bersaksi di persidangan, dua orang petugas kehutanan, mengakui memang tak pernah ada sosialisasi terhadap batas-batas kawasan hutan. Selain itu, petugas kehutanan mengakui bahwa memang tak ada papan pengumuman yang memberi informasi warga tentang kawasan hutan. Salah satu alasannya karena ketiadaan anggaran.

Natu dan dua anggota keluarganya divonis bersalah dan dihukum tiga bulan penjara. Semua petani yang datang ke Persidangan bingung dan kecewa. Fakta hukum antara perkara Sukardi dan Natu sama, namun putusannya berbeda.

Sukardi dan Jamadi yang datang setiap minggunya heran dengan putusan mejelis hakim yang memeriksa perkara Natu dan dua orang anggota keluarganya. Selain ketidakpastian kapan lahan pertanian atau perkembunan mereka dikeluarkan dari kawasan hutan, mereka dibuat bingung atas putusan kasus Natu. Kriminalisasi bisa kembali mengincar mereka. Tak ada yang tahu siapa yang akan mendapat giliran selanjutnya.

Tak lama setelah putusan Natu dan dua orang anggota keluarganya, program reboisasi dijalankan di kawasan hutan Laposo Niniconang. Program ini dibiayai dari dana CSR (corporate social responsibility) PT. Vale. Patok-patok batas dipasang, warga mulai dilanda keresahan. Program ini membelah warga, sebagian pasrah menerima, sebagian lagi menolak tapi tak menunujukkan penolakannya secara terbuka. Paska putusan kasus Natu, warga mulai kehilangan keberanian.

Program perhutanan sosial yang disodorkan juga menuai pro kontra di tingkatan warga. Masih banyak warga menolak program tersebut. Mereka bersikukuh, tanah mereka bukan kawasan hutan.

Natu sedang menunggu putusan selanjutnya, ia tak terima putusan hakim, dan memutuskan untuk menempuh upaya hukum banding. Ia kembali beraktifitas, mengelola kebun sereh dan lengkuas. Dua kali seminggu menantunya membawa sereh dan lengkuas ke pasar untuk dijual.

Sementara kebun jati yang berada di dekat rumahnya tak pernah diinjaknya lagi. Di rumahnya hanya tinggal dirinya bersama Ario, menantu dan dua orang cucu perempuannya. Dua anak laki-lakinya telah meningggalkan rumah setelah menikah, dua hari sebelum pembacaan putusan. Natu dan banyak orang menyesalkan putusan ini, tapi Natu masih menunggu keadilan.

(Sabang; kiri Ario Permadi;Tengah dan Natu; Kanan di Ruang tunggu Pengadilan Negeri Watansoppeng )

Daftar Pustaka

Inn, Nurjaya, Makalah Sejarah Pengelolaan Hutan di Inodonesia. (2005), Universitas Brawijaya, Malang

Hall, Darek, Hirsch, Philip, Li, Tania Murray. (2020). Kuasa Eksklusi, Dilema Pertanahan di Asia Tenggara. Insist Press; Yogyakarta.

Peluso Nancy Lee (2006). Hutan Kaya, Rakyat Miskin, Penguasaan Sumber Daya dan Perlawanan di Jawa. KONPHALINDO. Indonesia


[1] Hasan adalah nama samaran.

[2] Kampung Ale Sewo berada di Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan.

[3] Wawancara pada tanggal 03 bulan November Tahun 2020 di Desa Ale Sewo, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng.

[4] Sejumlah uang yang diberikan calon pengantin laki-laki kepada pihak keluarga perempuan. Uang  ini biasanya digunakan untuk menggelar pesta keluarga perempuan.

[5] Penetapan kawasan hutan Laposo Niniconang ditetapkan melalui SK 5536/Menhut-VII/2014 tertanggal 2 September 2014 tentang penetapan  kawasan hutan Laposo Niniconang. Kemudian terbit SK terbaru Nomor 362/Menlhk/Setjen PLA/0/05/2019 tentang penunjukan kawasan hutan. Berdasarkan SK terbaru, pemukiman masyarakat dikeluarkan dari kawasan hutan lindung.

[6] Kelompok Pengelola Hutan (KPH Wallanae) membawahi dua Kabupaten, yaitu: Kabupaten Soppeng dan Wajo.

[7] Putusan atas perkara Natu, Sabang dan Ario Permadi dibacakan tanggal 19 Januari 2021. Hakim memutus ketiganya bersalah dan dipidana penjara masing-masing tiga bulan.

[8] Penulis bertemu pertama kali dengan Sukardi pertama kali pada 13 Februari 2019 saat Sukardi menjemput penulis dan membawa ke Kampung Coppoliang.

[9] Sukardi, Jamadi dan Sahidin ditangkap pada tanggal 11 bulan Oktober Tahun 2017 oleh polisi Kehutanan melalui operasi gabungan yang dilakukan oleh GAKKUM wilayan Sulawesi Selatan, Polres Soppeng, Kodim 1423 Sopppeng, Staff BPKH dan Polhut Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan di kawasan hutan Laposo Ninicong

[10]  Dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan, terdapat dua bentuk pengerusakan hutan, yaitu; Penebangan pohon tanpa seizin pejabat yang berwenang dan pembalakan liar. Ketiganya didakwa dengan pasal 82 ayat(1), pasal 82 ayat (2), pasal 83 ayat (1), pasal 84 ayat (1) Jo. Pasal 12 huruf f dan pasal 84 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan.

[11] Putusan Nomor 11/PID. SUS/2018/PN. Wns yang dibacakan 21 Maret 2018 atas Muhammad Sahidin, Jamadi dan Sukardi.

[12] Yang dimaksud kejahatan yang terorganisir terhadap hutan adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang/sekelompok orang yang merusak hutan untuk tujuan komersial.

 

[13] Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

[14] Makalah Sejarah Pengelolaan Hutan di Indonesia, Nurjaya In, (2005) Universitas Brawijaya, Malang.

[15] Nancy Pelusi, Hutan Kaya Rakyat Miskin,(2006)Hlm. 17.

[16] Kriminalisasi diartikan tindakan yang sebenarnya bukanlah tindakan kejahatan tapi paksakan seolah-olah tindakan itu adalah kejahatan (melanggar hukum).

[17] Siampe, warga Coppoliang dirusak tanamannya oleh petugas kehutanan karena dianggap kebunnya masuk dalam kawasan hutan.

[18] Derek Hall, Phillip Hirch dan Tania Li, Kuasa Ekslusi ; Dilema Pertanahan di Asia Tenggara, Insist Press; Yogyakarta, Tahun 2020. Hlm. 99

[19] Perlindungan hukum

[20] Observasi Partisipasi bersama masyarakat Kampung Coppoliang Desa Umpungeng Kecamatan Lalalabata Kabupaten Soppeng Pada tanggal 15 Februari 2019

[21] Peristiwa pengerusakan tanaman dan penodongan senjata ke La Kunnu dan Siampe saudaranya terjadi pada tahun 2013.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *