Pasal Zina Dalam Rancangan KUHP : Bermasalah, Tak Jelas Arah

Isnur

“Di salah satu desa di Ciamis misalnya, itu jauh dari ibu kota. Zina itu bisa dilakukan oleh 80 persen dari keluarga yang ada di situ

Ungkapan ini diucapkan pada 09 Februari 2017 oleh Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti M.Si, Guru Besar di IPB dan Pemohon pada perkara pengujian pasal-pasal kesusilaan KUHP di Mahkamah Konstitusi. Bu Euis dan para pemohon[2] meminta MK agar memperluas definisi delik pidana pasal-pasal kesusilaan pada KUHP, yang berarti akan bisa memidanakan 80 persen warga di salah satu desa Ciamis tersebut. Tak terbayangkan berapa ribu orang yang harus dipidana dan kemudian dipenjara jika dikabulkan permohonan tersebut, dan itu pun baru satu desa. Di tahun 2018, Indonesia memiliki 74.950 desa, berapa juta orang yang hendak dipidana dengan pola pikir dan permohonan tersebut?

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut dan menyerahkan bahwa ini kewenangan DPR bersama Pemerintah sebagai penyusun Undang-undang. Bola sekarang bergulir di DPR dan Pemerintah yang sedang membahas RUU Hukum Pidana. Nafsu memidana dan memenjarakan akhlaq atau moralitas manusia nampak jelas di sana.

 

Pasal Zina dan problematika di Indonesia

Sebagaimana dituliskan oleh Asfinawati dalam artikel lain di buletin ini, akibat KUHP yang belum diterjemahkan secara resmi, seperti pasal-pasal lain, Pasal 284 KUHP lama mengandung masalah. Moeljatno dan R. Soesilo dalam penerjemahannya mengartikan overspeel dengan zina . Sedangkan Andi Hamzah dan BPHN mengartikan dengan gendak atau mukah.

Penerjemahan overspeel sebagai “zina” akan menjadi kurang tepat, karena bukan hanya mengandung hubungan persetubuhan bagi yang sudah menikah saja (adultery), tapi juga bagi yang orang yang melakukan hubungan seksual di luar perkawinan itu belum terikat perkawinan dengan orang lain (fornication). Padahal fornication adalah penerjemahan dari ontuch,  bukan overspell sebagaimana tertulis dalam KUHP berbahasa Belanda.  Kata zina yang memiliki konteks berbeda di Indonesia menjadi berbeda arah dengan overspell dalam bahasa Belanda aslinya. Akibat ini akan sangat panjang, dimana akan ada multitafsir, perbedaan, bersifat karet  dalam penerapan, dan lainnya. Padahal salah satu asas hukum pidana adalah lex scripta, lex certa, dan lex stricta. Semuanya harus jelas, tegas, dan tidak multitafsir.

Ahmad Sofian[3] menjelaskan bahwa ada banyak persepsi tentang pemaknaan zina. Menurut dia telah terhadi perbedaan konsepsi terkait dengan perbuatan zina. Karena ada perbedaan konsepsi maka, menimbulkan formulasi yang berbeda juga. KUHP menurut Sofian menempatkan zina sebagai kejahatan kesusilaan.

Dalam konteks kesusilaan ini, maka KUHP memberikan batasan zina sebagai perbuatan hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang dimana salah salah satunya telah menikah.  Dalam konteks ini, bisa ditafsirkan bahwa KUHP mengambil posisi pada perlindungan pernikahan atau perlindungan keluarga. KUHP memberikan jaminan perlindungan atas ikatan lahir batin ini sehingga ketika salah satu pihak melakukan perbuatan menyimpang (zina) maka KUHP memberikan peluang bagi salah satu pihak untuk menuntutnya. Tuntutan ini sifatnya tidak mutlak (opsional) karena sangat ditentukan salah satu pasangan yang dinilai menjadi “korban” dan bukan orang lain. Perlindungan terhadap pernikahan atau keluarga merupakan filosofis dipidananya perbuatan zina”. [4]

Problemnya juga bukan hanya di tataran konsepsi, tetapi juga di tataran aparat dan praktik masyarakat. Tragedi di Cikupa, Tangerang pada November 2017 dimana warga menggerebek, menelanjangi, mengarak, dan melakukan kekerasan terhadap pasangan yang diduga mesum menjadi cerita yang sangat sering kita dengar dan lihat dalam pemberitaan. Aparat pun kemudian bukannya menindak tegas para pelaku kekerasan tersebut, malah ikut andil memfasilitasi ancaman dan pelanggaran lanjutan dengan memediasi bahkan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap korban.

 

Pembaruan yang semakin mundur dan berbahaya

Upaya memperluas pemidanaan dalam delik pasal zina menemukan kejelasannya ketika Presiden Joko Widodo pada pada 5 Juni 2015 menyerahkan draft resmi Rancangan KUHP melalui Surat Presiden No 35/Pres/06/2015. Dalam bagian ke empat tentang zina dan perbuatan cabul, tercantum Pasal 484 yang berbunyi :

Pasal 484

(1)  Dipidana karena  zina,  dengan  pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun:

  1. laki‑laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
  2. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki yang bukan suaminya;
  3. laki‑laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui  bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
  4. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki‑laki, padahal diketahui bahwa laki‑laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
  5. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.

(2)  Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.

(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 29.         

(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

 Tampak perluasan makna yang sangat luas dari draft pasal tersebut, negara merasuki ranah yang seharusnya menjadi area privat warga negara menjadi wilayah publik.   Semangat yang muncul bertabuh gendang dengan kampanye partai-partai dan tokoh atas nama moral dan agama; bahwa hal ini melanggar akhlak dan moral agama, dan sangat penting dipidanakan. Terlihat tendensi memperluas pidana, yang awalnya konsensual tanpa korban bukan sebuah kejahatan menjadi kejahatan.

Perluasan ini mendapatkan banyak tentangan dan kecaman. Aliansi Nasional Reformasi KUHP dimana YLBHI tergabung di dalamnya, serta lembaga negara seperti Komnas Perempuan menolak dan mengecam dengan tegas.

Supardi Hamid[5] memperingatkan bahwa perluasan ini akan berakibat pada beberapa hal di antaranya:

  • Langkah ini berpotensi menimbulkan situasi viktimisasi baru (viktimisasi sekunder);
  • Situasi viktimisasi berpotensi muncul dari batasan perbuatan asusila yang multi tafsir, unsur-unsur perbuatan yang salah kriteria;
  • Viktimisasi sekunder dapat terjadi pada proses peradilan mulai dari kepolisian hingga pengadilan;
  • Pada tahap penyidikan, penyidik hanya akan melihat apakah unsur terpenuhi atau tidak (melihat unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan akan mudah mentersangkakan orang yang dianggap sebagai pelaku);
  • Potensi kasus persekusi akibat perluasan makna tersebut akan meningkat terhadap orang atau pihak yang diduga pelaku;
  • Potensi konflik dalam masyarakat dengan sendirinya akan meningkat

Bahkan Fahri Hamzah, yang kita kenal berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dimana fraksi PKS cukup getol mengajukan perluasan ini bereaksi:

“Saya cenderung punya pandangan yang sama bahwa kita harus berhati-hati mengkriminalisasi privasi. Sebab itu bisa berbahaya, itu bisa backfire, bisa menjadi alat untuk menjebak seseorang, yang notabene mempunyai motif lain ke depannya. Intinya hati-hati menerapkan pasal yang bisa mengkriminalisasi kegiatan pribadi orang.  Pada dasarnya privasi orang itu wilayah yang harus kita biarkan. Karena itu akan jadi tanggung jawab orang itu. Baik secara sosial maupun keagamaan. Jangan terlalu banyak mendelik segala sesuatu yang bisa disalahgunakan,”[6]

Akademisi Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan juga menilai perluasan ketentuan pasal perzinaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) justru berpotensi disalahgunakan. Menurut Agustinus, tak menutup kemungkinan perluasan pasal zina memunculkan tindakan kejahatan lain, yakni pemerasan. “Apa yang akan terjadi (jika perluasan pasal zina disahkan)? Pemerasan. Ini ekses negatif yang kemungkinan bisa terjadi dan ini yang harus diantisipasi”[7].

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/2016  telah memperingatkan dalam pertimbangannya :

Pembentuk undang-undang harus benar-benar memperhatikan bukan hanya perkembangan hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia tetapi juga perkembangan dunia. Simposium Pembaruan Hukum Nasional yang dilakukan di Semarang pada bulan Agustus 1980, untuk menunjuk sebuah referensi, merekomendasikan bahwa untuk menetapkan kebijakan kriminalisasi perlu diperhatikan kriteria umum, yaitu:

  1. apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban; 

  2. apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai; 

  3. apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya; 

  4. apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat. “

Jelas perluasan pasal zina yang disusun oleh Pemerintah bersama DPR tidak memenuhi pertimbangan-pertimbangan tersebut. Selain tidak merugikan, mendatangkan, atau dapat mendatangkan korban, biaya mengkriminalisasikan pun akan sangat berat. Aparat penegak hukum pun akan sangat berat melakukan penegakan dan pengawasan hukum. Di samping itu, kriminalisasi juga telah banyak terkandung pada pasal lain. Kriminalisasi melalui perluasan delik zina jelas mengancam dan berpotensi over kriminalisasi sehingga aparat makin tidak mampu melaksanakan tugasnya.

 

Mengancam Anak Indonesia

Setelah mendapatkan desakan dan tekanan dari banyak kelompok, draft RKUHP yang terakhir ada perubahan, dimana pihak ketiga yang melaporkan menjadi diubah menjadi orang tua dan anak[8]. Tetapi, tetap secara konstruksi tindak pidana perzinaan diperluas hingga mencakup perbuatan laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang bersetubuh.

Situasi perkawinan anak di Indonesia telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data UNICEF pada 2017, Indonesia menduduki peringkat 7 perkawinan anak di dunia dan posisi ke-2 di negara ASEAN berdasarkan data Council of Foreign Relation. Menurut Badan Pusat Statistik pada 2016, 17% anak Indonesia kawin pada usia sebelum 18 tahun[9].

Penelitian UNICEF  bersama ICJR di tahun 2016 mengenai Dispensasi Perkawinan menunjukkan bahwa 89% perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik karena faktor ekonomi maupun karena asumsi orang tua bahwa anaknya telah melakukan hubungan seksual di luar perkawinan.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak,  salah satunya adalah faktor hukum[10]. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dengan  Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 dan telah keluar UU No 23 tahun 2002 yang kemudian diubah dengan UU No. 35 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak yang mendefinisikan anak sebagai orang yang belum berusia 18 tahun serta mengatur peran serta orang tua dalam mencegah perkawinan anak. Tetapi, Indonesia masih memiliki hukum buatan tahun 1974 (UU Perkawinan) yang melegalkan setiap anak di Indonesia melakukan perkawinan anak.

Dengan melihat rumusan Pasal 446 ayat (1) huruf e RKUHP yang merupakan delik aduan dimana yang dapat mengadu salah satunya adalah “orang tua”, maka potensi untuk terjadinya kawin paksa sangat besar apabila dalam kondisi anak sudah berhubungan seksual dengan pasangannya dan diketahui oleh orang tua namun menolak untuk dikawinkan. Perkawinan anak selama ini dicatat sebagai salah satu perenggut hak anak untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, tumbuh kembang dan banyak hak lainnya.

 

Penutup

KUHP  sejatinya tidak ingin membenturkan semua perilaku menyimpang untuk dibawa ke ranah hukum pidana, karena pada akhirnya akan membuat banyaknya tugas yang harus dibebankan pada hukum pidana.

Seperti dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa hukum pidana adalah jalan yang paling terakhir (ultimum remedium). Ada kaidah kesusilaan, kesopanan, dan kaidah agama yang seharusnya terus dikembangkan, dipupuk dan dan diperkuat agar memiliki dampak penataan sosial.  Membebankan seluruh tanggung jawab dalam menata fenomena sosial berupa perilaku yang dianggap menyimpang kepada semata kepada kaidah hukum adalah tindakan tidak proporsional, terlalu menyederhanakan persoalan. Seolah dengan pemidanaan akan selesai, tapi justru ini menumpulkan kaidah-kaidah lain.

Menurut MK, jika ketaatan dipaksakan, maka ini adalah ketertiban semu. Seharusnya tertib sosial itu juga dilandasi kesadaran lahir untuk taat karena dibutuhkan kehidupan bersama. Maka, tugas pendidikan menemukan tantangan dan tanggung jawab besar.  Peran pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat harus dievaluasi kembali.

Pemidanaan terhadap perbuatan zina yang tidak diikat oleh pernikahan akan membuat terjadinya kriminalisasi yang berlebihan. Pada akhirnya negara akan menjadi penjaga moral individu, bukan menjaga ketertiban masyarakat.

Ada sebuah pandangan dalam hukum pidana terkait dengan delik zina dan delik-delik kesusilaan yang menyatakan bahwa hukum pidana harus berhenti ketika berada di depan pintu kamar.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Asfinawati, Masalah-masalah Mendasar Hukum Pidana Indonesia. Artikel yang akan diterbitkan di Buletin Bantuan Hukum. Jakarta: YLBHI, 2018.

Draft RKUHP Juli 2018. Diunduh dari http://reformasikuhp.org/r-kuhp/. Diakses 7 Agustus 2018.

Erdianto, 2018. Perluasan Pasal Zina Dalam RKUHP Berpotensi Disalahgunakan. https://nasional.kompas.com/read/2018/05/07/17233361/perluasan-pasal-zina-dalam-rkuhp-berpotensi-disalahgunakan. Diakses 20 Juli 2018.

ICJR, 2018. Isu Kesehatan dalam RKUHP Diabaikan, Program Pemerintah dan Komitmen Presiden Joko Widodo Terancam Gagal Direalisasikan. Artikel dalam http://icjr.or.id/isu-kesehatan-dalam-rkuhp-diabaikan-program-pemerintah-dan-komitmen-presiden-joko-widodo-terancam-gagal-direalisasikan/. Diakses 1 Agustus 2018.

ICJR, 2018. Anak Membutuhkan Perlindungan Hukum dari Perkawinan Anak Bukan Ancaman Pidana. Artikel dalam http://icjr.or.id/anak-membutuhkan-perlindungan-hukum-dari-perkawinan-anak-bukan-ancaman-pidana/. Diakses 1 Agustus 2018.

Pradipta, 2018. Fahri Tak Setuju Perluasan Makna Zina di RKUHP. http://www.teropongsenayan.com/80628-fahri-tak-setuju-perluasan-makna-zina-di-rkuhp. Diakses 20 Juli 2018.

 

 

 

Catatan Kaki :

[2] Pada Juni 2016, Tim Advokasi Untuk Indonesia Beradab (Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti., M.Si., et.al) mengajukan permohonan pengujian materil terhadap sebagian frasa dan kata dalam Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) KUHP, Pasal 285 KUHP, dan Pasal 292 KUHP terhadap UUD 1945 Dalam Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut “KUHP”) juncto Undang- Undang Nomor 73 tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

[3] Dalam keterangan sebagai ahli memakili di Mahkamah Konstitusi dalam perkara   46/PUU-XIV/2016 Tanggal 19 Januari 2017.

 [4] Prof. Marita Carnelley dalam Jurnal Fundamina juga menyatakan bahwa secara historis dimasukkan delik zina dalam KUHP di banyak negara adalah dalam rangka melindungi stabilitas institusi pernikahan dan munculnya potensi ketidakpastian dari asal usul keturunan dari perbuatan zina tersebut. Pemidanaan zina tidak dimaksudkan untuk mengatur soal moralitas seseorang, karena akan menimbulkan banyak kesulitan terutama beragamanya nilai-nilai dan idiologi yang dianut dalam suatu masyarakat (Marita Carnelley, Jurnal Fundamina 19 (2), 2013: 185).

[5] Dosen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, disampaikan pada Kopi Darat Kastrat BEM UI pada 23 Maret 2018 yang diselenggarakan di Aula Student Center, Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI.

[6] Periksa http://www.teropongsenayan.com/80628-fahri-tak-setuju-perluasan-makna-zina-di-rkuhp.

[7] Periksa https://nasional.kompas.com/read/2018/05/07/17233361/perluasan-pasal-zina-dalam-rkuhp-berpotensi-disalahgunakan.

[8] Draft Per Juli 2018, bisa di download melalui http://reformasikuhp.org/r-kuhp/.

[9] Periksa http://icjr.or.id/isu-kesehatan-dalam-rkuhp-diabaikan-program-pemerintah-dan-komitmen-presiden-joko-widodo-terancam-gagal-direalisasikan/.

[10] Periksa http://icjr.or.id/anak-membutuhkan-perlindungan-hukum-dari-perkawinan-anak-bukan-ancaman-pidana/.

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *