Peran Strukural LBH dalam praksis Oligarki

MM Billah_edited

A. Negara Hukum & HAM

 Rechsstaat       

  1. UUD 1945 Pasal 1 (3) menyatakan secara eksplisit bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara hukum’ (Rechtsstaat).[3] Dalam konsep Rechsstaat, di satu sisi, kekuasaan negara dibatasi untuk melindungi warga dari olah-kekuasaan sewenang-wenang negara yang dilakukan secara serampangan; dan di sisi lain, pada warga negara secara legal dianggap melekat kebebasan sipil (civil liberties) serta hak menggunakan peradilan vis-à-vis Oleh karenanya dikatakan pula bahwa pada konsep Rechtsstaat ini terkandung ciri (dan watak) demokrasi (yakni, sebagaimana yang diungkapkan oleh Lincoln: ‘sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’). Rechtsstaat (juga) dalam arti ‘negara konstitusional’ dikenalkan pada karya termutakhir ahli filsafat Jerman Immanuel Kant (1724-1804). Kant menyatakan bahwa dalam ‘negara konstitusional,’ konstitusi tertulis adalah dasar fundamental dari asas ‘supremasi hukum’, yaitu asas yang menjamin implementasi dari gagasan sentral: satu kedamaian kehidupan yang permanen sebagai satu kondisi dasar bagi kebahagiaan dari kesejahteraan warganya. ‘Konstitusi dari sebuah negara pada ujungnya didasarkan pada moral warganya, yang, sebaliknya, didasarkan pada sifat kebaikan dari konstitusi ini’ — jadi ada hubungan timbal-balik antara moral warga dengan sifat baik konstitusi –. Selanjutnya Kant mengatakan antara lain bahwa: ‘Tugas menegakkan satu kehidupan universal dan permanen bukan hanya merupakan satu bagian dari teori hukum, melainkan per se adalah tujuan yang bersifat mutlak dan akhir.’ Untuk mencapai hal ini, negara harus menjadi komunitas dari sejumlah besar orang, hidup disediakan (atau dilayani) dengan jaminan legislatif atas hak kepemilikan yang dipastikan oleh konstitusi bersama. Supremasi konstitusi…haruslah diturunkan secara a priori bagi pencapaian dari gagasan mutlak di dalam organisasi kehidupan orang yang paling adil dan jujur di bawah dukungan/perlindungan) hukum publik.’[4]

 

  1. Prinsip paling penting dari Rechsstaat adalah:
  • Negara didasarkan pada supremasi konstitusi nasional, untuk melakukan olah-paksa, menjamin keselamatan, dan hak konstitusional warganya;
  • Masyarakat sipil (sebagai masyarakat sipil yang terbuka, adil, dan selaras/harmoni adalah mitra sejajar bagi negara (sedangkan Negara di bawah ‘the rule of law’ /‘Legal State’);
  • Ada pemisahan kekuasaan, cabang-cabang pemerintahan (eksekutif, legislatif dan judikatif) saling membatasi kekuasaan masing-masing dan mengaktualisasikan ‘check and balances’;
  • Judikatur dan eksekutif terikat oleh hukum (sehingga seharusnya tidak ada tindakan melawan hukum), serta legislatur terikat oleh prinsip konstitusional;
  • Legislatur dan demokrasi sendiri terikat oleh hak konstitusional elementer dan prinsip-prinsipnya;
  • Transparansi dari tindakan negara dan persyaratan bagi negara untuk memberikan alasan bagi semua  tindakan yang dilakukannya;
  • Peninjauan-ulang (review), termasuk satu proses banding, atas keputusan negara dan tindakan negara oleh organ yang independen;
  • Tersedia jenjang hukum, serta persyaratan atas kejelasan dan kepastian (hukum);
  • Kehandalan (reliability) tindakan negara, dan penerapan asas ‘non-retroactivity’;
  • Prinsip dari proporsionalitas dari tindakan negara;
  • Monopoli atas pengunaan kekerasan yang legitimate.

 

  1. Dalam kerangka pemerintahan konstitusional, Buchanan berpendapat bahwa setiap campur tangan pemerintahan dan regulasi didasarkan pada tiga asumsi. Pertama, kegagalan berfungsinya ekonomi pasar dapat dikoreksi oleh campur tangan pemerintah; kedua, mereka yang memegang jabatan politik dan menangani birokrasi niscaya bersikap alturistik dari kepentingan publik, tidak mementingkan kesejahteraan ekonomi sendiri; ketiga, perubahan tanggung-jawab dari pemerintah ke arah intervensi-lebih dan pengendalian tidak akan bermaksud mempengaruhi tatanan sosial dan ekonomi sehingga membusuk. Pada abad 21, konsep negara hukum telah menjadi bukan hanya satu yang legal akan tetapi juga padanya melekat konsep ekonomi. Hatta, jauh sebelum itu (pada pertengahan abad 20), secara tidak langsung searah dengan Buchanan dengan menyatakan bahwa pada dasarnya dalam konsep ‘negara konstutusional’ (di Indonesia) terkandung (juga) dua substansi penting yang disebutkannya dengan ‘demokrasi politik’ (yang merupakan cerminan dari hak-hak sipil dan politik) dan ‘demokrasi ekonomi’ (yang menyiratkan hak ekonomi warga) – yang disebut terakhir ini tersurat dalam pasal 33 UUD 1945, yang menjadi dasar dan sekaligus kiblat dari sistem perekonomian yang dibayangkan, diharapkan serta diperjuangkannya ddengan amat gigih dan konsisten. Dalam gagasan Hatta, negara bukan saja bisa campur-tangan dalam urusan ekonomi masyarakat, akan tetapi negara menjadi salah satu pelaku ekonomi (lewat BUMN) – khususnya pada ekonomi produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak – selain dua pelaku ekonomi lain, yakni swasta dan koperasi (yang disebut terakhir ini sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat kecil).

 

       Hak Asasi Manusia

  1. Hak (yang menjadi kata kunci dari Hak Asasi Manusia) acapkali dipahami sebagai suatu kepemilikan khusus untuk memilih (entitlements to choose) [Beitz, 1984], atau untuk melakukan sesuatu (tindakan), (hak untuk) memiliki, (hak untuk) menikmati atau melakukan (tindakan itu) [McClosky, 1976]. Dengan mengacu ke tiga penulis lain,[5] Nino [1994][6] secara lebih sistematis memerikan lima kemungkinan pengertian dari konsep tentang ’hak’, yaitu:
  • hak sebagai ketiadaan pelarangan [Hohfeld menyebutnya sebagai memiliki kebebasan (untuk melakukan) tanpa ada kewajiban liyan untuk mengikuti];
  • hak sebagai ijin langsung;
  • hak sebagai yang berkaitan dengan kewajiban aktif atau pasif dari liyan [Hohfeld menyebutnya sebagai ‘pendakuan sesuatu atas liyan, dengan kewajiban liyan untuk menyediakan sesuatu itu’];
  • hak sebagai tuntutan/pendakuan [Hohfeld menyebutnya sebagai ‘kekuasaan untuk melakukan sesuatu yang berakibat pada (kewajiban) kepatuhan liyan];
  • hak sebagai kekebalan [Hohfeld menyebut sebagai kekebalan: liyan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan sesuatu yang tidak harus dilakukan].

Diantara kelima kemungkinan itu, banyak ahli yang berpendapat bahwa makna ketiga (yaitu hak sebagai yang berkaitan dengan kewajiban aktif atau pasif dari liyan) yang menisbatkan hubungan antara kelakuan yang bersifat wajib (obligatory conduct) dan penikmatan atas satu hak oleh liyan adalah makna yang sentral. Pendek kata, penjelasan singkat itu menyatakan inti substansial dari konsep tentang hak, yaitu bahwa di satu sisi hak dapat ‘dimiliki, dinikmati dimanfaatkan, dilakukan (diterapkan)’ oleh pemegang hak (rights holder); dan pada sisi lain hak dapat ‘didaku, dituntut, dan didesakkan’ kepada pemangku kewajiban (duty bearer).

  1. Di dalam DUHAM terkandung pra-anggapan dasar tentang hak yang melekat pada setiap manusia, dasar filosofis tentang persamaan dan kebebasan manusia, nilai yang diakui (yakni martabat, kebebasan, dan persaudaraan manusia), dan hak dasar yang esensial (yaitu hak hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan), serta prinsip dasar persamaan dan non-diskriminasi.  Selain itu, di dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina (Juni 1993) dinyatakan bahwa semua Hak Asasi Manusia bersifat semesta (universal), tidak bisa dibagi-bagi (indivisible) dan saling-tergantung (interdependent) serta saling berkaitan (interrelated). Oleh karenanya komunitas internasional harus memperlakukan hak asasi manusia secara global dalam perilaku yang adil dan sama, berujung pada yang sama, dan dengan penekanan yang sama [Symonides, 2000:xi].

 

  1. DUHAM, dan juga semua turunannya, didasarkan pada satu prinsip tunggal yang fundamental, yakni pengakuan atas martabat yang melekat pada manusia perorangan (inherent dignity of the human person) [Groom, 2001:1]. HAM itu bukanlah suatu anugerah pada seorang individu, melainkan sesuatu yang melekat pada keberadaan manusia, dan oleh karena itu tidak dapat diambil atau dicabut. Negara hanya bisa mengatur penikmatan atas hak-hak dan kebebasan tertentu untuk menjamin persamaan [Groome, 2001]. HAM ‘diperlukan’ bukan hanya untuk hidup melainkan untuk hidup bermartabat (life in dignity). Karena HAM muncul dari ‘martabat yang melekat pada manusia,’ maka penolakan dan pelanggaran HAM berarti menolak martabat seseorang. Orang memiliki HAM bukan sebagai sarat bagi kesehatan melainkan untuk ‘kebutuhan’ hidup bermartabat, untuk kehidupan yang bermanfaat bagi kemanusiaan, satu kehidupan yang tidak  bisa dicapai  tanpa hak-hak itu. Sebagai hak-hak moral yang tertinggi, HAM mengatur struktur dasar dan praktik kehidupan politik, sehingga HAM didaku sebagai memiliki universalitas moral (moral universality), dan universalitas internasional normatif (international normative universality) [Donnely, 1989].

 

  1. Meskipun pada dasarnya hak asasi manusia melekat pada diri orang karena yang bersangkutan adalah manusia sehingga tidak bisa dicabut, akan tetapi sesungguhnya ada penikmatan atas beberapa hak-hak yang bisa ditangguhkan dengan syarat dan maksud tertentu. Ada sejumlah hak non-derogable (hak yang tidak dapat ditangguhkan) yang tidak boleh ditangguhkan dalam keadaan apa pun, kapan pun, dan oleh siap pun, termasuk oleh Negara, yang harus dihormati oleh semua dan setiap negara pihak, misalnya dalam periode darurat publik, seperti satu perang sipil atau penyerangan [Conde, 1999:96].  Selain yang ditentukan sebagai hak non-derogable, ada sejumlah hak yang penikmatannya bersifat dapat ditangguhkan (‘derogable human rights’), yaitu  hak asasi manusia yang bisa ditangguhkan dalam waktu darurat publik yang diumumkan (dideklarasikan) dari satu negara sesuai dengan perjanjian hak asasi manusia dan sepanjang keadaan darurat itu berlangsung [Conde, 1999:34]. Hak atas ‘kebebasan beragama atau berkeyakinan,’ yang termasuk ke dalam salah satu kebebasan fundamental,  adalah hak asasi manusia yang non-derogable, akan tetapi hak untuk mengejawantahkan ‘agama atau keyakinan’ seseorang bersifat derogable, dengan syarat dan maksud tertentu (Psl. 18 DUHAM; Psl. 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik). General Comment No. 22 tanggal 20 Juli 1993 menyatakan bahwa pembatasan kebebasan untuk mengejawantahkan (mengekspresikan) agama atau keyakinan hanya diperbolehkan jika pembatasan itu ditentukan lewat undang-undang dan jika pembatasan itu dianggap perlu untuk melindungipublic safety, public order, public health atau public morals, atau hak-hak dasar dan kebebasan liyan(‘fundamental feedom of others’) [Amor, dalam Lindholm et.al., 2004:xvi].

 

       Posisi & Peran Indonesia dalam penegakan HAM

  1. Indonesia menempati posisi sebagai salah satu anggota dari komunitas internasional dan lebih khusus lagi berperan  sebagai Negara Pihak  di dalam konteks kesepakatan/perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia,  dan oleh karena itu, sesuai dengan asas pact sunt servanda, memangku kewajiban untuk mematuhi semua isi dari kesepakatan/ perjanjian yang diratifikasi.  Kewajiban mematuhi itu juga dirumuskan secara formal dalam sejumlah pasal di setiap instrumen internasional hak asasi manusia yang ditanda-tangani seperti deklarasi, dan/atau diratifikasi — yang di dalamnya dikenal asas ‘vinculum juris’  — oleh Indonesia seperti konvensi,  kovenan,  atau lainnya, dan oleh karenanya, Indonesia memangku kewajiban yang ditetapkan peraturan dalam kesepakatan itu. Selain kewajiban mematuhi hak asasi manusia itu diturunkan dari posisi sebagai Negara pihak dalam konteks hukum perjanjian internasional, kewajiban itu juga telah diteguhkan, dalam proses domestikasi, menjadi ketentuan konstitusional [karena dinyatakan di dalam UUD 1945 Psl 28I (4)], dan ketentuan peraturan legal [sebab telah dinyatakan secara eksplisit di dalam peraturan perundang-undangan, misalnya di dalam UU No. 39/1999: Konsideran (d),   Psl 8,  Psl 22(2),   Psl 71,  Psl 72;  dan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi menjadi UU No.12/2005; Konsideran,  Psl 1(3),  Psl 2,  Psl 3,  Psl 5]. Pendek kata, Indonesia memangku kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), memenuhi (to fulfil), dan memajukan (to promote) hak asasi manusia sebagai kewajiban-legal internasional, kewajiban konstitusional, dan kewajiban legal-nasional.

 

  1. Dalam DUHAM disebutkan bahwa Negara pihak:
  • wajib memenuhi ketentuan janji untuk meningkatkan penghormatan, penghargaan, dan pemajuan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental  yang bersifat deklaratori  dengan melakukan tindakan progresif dan efektif; dan
  • tidak melakukan perbuatan yang bertujuan merusak HAM dan kebebasan manapun dalam deklarasi, dan tidak menafsir pasal-pasal dalam Deklarasi secara bertentangan tujuan dan prinsip-prinsip dari PBB – Psl. 30 DUHAM — [Groome, 2001:6-7].

Kewajiban itu ditegaskan secara lebih rinci di dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik  (dan juga dalam beberapa konvensi)  yang telah diratifikasi menjadi undang-undang, sehingga — berbeda dengan ketentuan yang bersifat deklaratori dalam DUHAM – bersifat mengikat secara hukum (legally binding), yakni:

  1. kewajiban legal untuk memajukan, menghormati, menjamin, mengambil tindakan legislatif atau lainnya; dan
  2. kewajiban untuk tidak menafsir secara bertentangan dan tidak melakukan perbuatan untuk menghacurkan hak atau kebebasan yang diakui, serta tidak melakukan pembatasan atau pengurangan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.

Dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa, Negara pihak dapat mengambil upaya menyimpang (derogate) dari kewajiban dengan beberapa syarat dan pembatasan tertentu, sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 4.

 

  1. Kewajiban Indonesia untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak asasi manusia ditegaskan dalam mukadimah DUHAM, dan pasal 30 DUHAM. Kewajiban semacam itu yang bersifat mengikat secara hukum dinyatakan secara lebih rinci di dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik. Termasuk di dalamnya hak asasi manusia, khususnya dalam hal ini, adalah hak atas ‘kebebasan beragama atau berkeyakinan,’ yang disebutkan di dalam Psl. 18 DUHAM,  dan Psl 18. Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan kewajiban untuk tidak menafsirkan ketentuan dalam DUHAM secara bertentangan dengan maksudnya, dan tidak terlibat atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak dan kebebasan (equality before the law) – kaidah ini juga menjadi salah satu ciri penting dari negara hukum (Rechsstaat), sebagaimana yang telah disebutkan di muka –, dan memiliki akses yang sama ke kekuasaan.  Kedaulatan rakyat (popular sovereignity) adalah lazim akan tetapi bukanlah subyek yang memotivasi secara universal bagi pemantapan demokrasi. Di beberapa negara, demokrasi didasarkan pada prinsip filosofikal atas hak yang sama (equal rights). ‘Pemerintahan mayoritas’ seringkali digambarkan sebagai satu ciri yang khusus dari demokrasi, akan tetapi tanpa proteksi pemerintahan atau konstitusional atas kebebasan individu, mungkin pada praktiknya bisa terjadi satu minoritas ditindas oleh ‘tirani mayoritas’. Lebih lanjut, kebebasan ekspresi politik, kebebasan berbicara, dan kebebasan pers, adalah esensial sehingga waga negara diberi informasi dan mampu memilih di dalam kepentingan pribadi mereka.

 

  1. Aristoteles mengkontraskan pemerintahan oleh yang banyak (demokrasi/polity), dengan pemerintahan oleh yang sedikit (oligarkhi/aristokrasi), dan dengan pemerintahan oleh orang yang tunggal (tirani atau saat ini otokrasi/monarki). Kant juga berpikir bahwa ada varian baik dan jelek dari setiap sistem, dan juga melihat demokrasi sebagai mitra-degeneratif pada polity. Bagi manusia (termasuk hak atas kebebasasn beragama atau berkeyakinan).

 

Praksis Oligarki dalam Sistem Demokrasi Normatif

Demokrasi

  1. Demokrasi adalah satu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan memerintah diturunkan dari rakyat, oleh kesepakatan (demokrasi konsensus), oleh referendum langsung (demokrasi langsung), atau oleh alat perwakilan yang dipilih oleh rakyat (demokrasi perwakilan). Tidak ada definisi yang diterima secara khusus dan universal tentang kosa-kata ini, tetapi kesetaraan (equality) dan kebebasan (freedom) diidentifikasikan sebagai ciri penting sejak masa kuno. Prinsip ini dicerminkan oleh kaidah bahwa semua warga negara sama di depan hukum (equality before the law).

 

  1. Bagi Aristoteles prinsip yang menggaris-awahi demokrasi adalah kebebasan: hanya karena demokrasilah, menurutnya, warga negara memiliki suatu bagian dalam kebebasan. Ada dua aspek utama dari kebebasan: pada satu sisi diperintah, dan pada sisi sebaliknya memerinah. Dewasa ini satu prinsip fundamenal dari bentuk konstitusi demokrasi adalah liberty (kebebasan) – yaitu suatu hal yang biasanya disetujui, dan hanya di bawah konstitusi ini orang berpartisipasi dalam kebebasan, dan sebagai tujuan dari setiap demokrasi. Ahli filsafat Plato mengkontraskan demokasi, sistem ‘rule by governed’, dengan alternatif sistem monarki (rule by one individual), oligarki (rule by a small elite class) dan timokrasi (ruling class of property owners). Meskpun demokrasi Athenian dewasa ini dilihat oleh banyak orang memiliki bentuk demokrasi langsung, walaupun aslinya mengandung dua ciri yang berbeda: pertama, seleksi dengan lot atas warga negara biasa untuk menjadi pejabat pemerintah dan hakim, dan kedua, majelis yang terdiri dari semua warga negara. Secara normatif semua warga memiliki peluang untuk berbicara dan memilih di dalam majelis (permusyawaratan), yang merancang hukum dari negara kota, meskipun dalam kenyataannya dalam realitas politik di sepanjang sejarah tidaklah tepat seperti yang disebutkan itu.

 

  1. Ada berbagai ragam dan bentuk dari demokrasi, beberapa diantaranya menyediakan perwakilan yang lebih baik dan kebebasan lebih bagi warga negaranya daripada yang lain. Tetapi, bila setiap demokrasi tidak dilegislasikan dengan baik – lewat penggunaan keseimbangan – untuk menghindari distribusi kekuasaan politik yang ganjil, seperti pemisahan kekuasaan, maka suatu cabang dari sistem pemerintahan dapat mengakumulasikan kekuasaan, dan menjadi tidak demokratis – gejala seperti ini nampak sebagai awal dari pergeseran demokrasi ke oligarki –. Sebagai proses yang esensial di dalam demokrasi perwakilan adalah pemilihan yang kompetitif yang adil secara substanif dan prosedural. Banyak orang menggunakan istilah ‘demokrasi’ sebagai kependekan dari demokrasi liberal, yang bisa termasuk anasir tambahan seperti pluralisme politik; persamaan di depan hukum (equality before the law); hak untuk membuat petisi pejabat yang dipilih untuk menggapi yang keadaan (polititk) yang buruk; due process; kebebasan sipil; hak asasi manusia; dan anasir masyarakat sipil di luar pemerintahan. Di dalam demokrasi terdapat pemisahan kekuasaan (separation of power) sebagai atribut yang mendukung.  Di dalam kasus lain, ‘demokrasi’ digunakan untuk mengatakan demokrasi langsung. Meskipun istilah ‘demokrasi’ secara tipikal digunakan dalam konteks dari satu negara politikal,  prinsip demokrasi  dapat diterapkan bagi organisasi swasta dan kelompok lain juga. Demokrasi disebut ‘bentuk terkhir pemerintahan’ (‘the last form of government’) dan telah meluas secara mengagumkan di seluruh dunia. Hak untuk memilih telah diperluas di banyak jurisdiksi sepanjang waktu dari kelompok yang nisbiah kecil/sempit (seperti pada orang kaya dari kelompok etnik tertentu).

 

  1. Ragam demokrasi yang diangkat oleh para ahli, antara lain diantaranya (sebagai contoh) adalah: demokrasi agregratif, demokrasi deliberatif, demokrasi radikal.
  • Demokrasi agregarif (aggregative democracy) menggunakan proses demokrasi untuk memperjelas preferensi warga-negara dan kemudian mengagregasikannya bersama untuk menentukan kebijakan sosial. Oleh karena itu, para pengikut pandangan ini berpendapat bahwa partisipasi demokrasi terutama harus fokus pada pemilihan (suara), di mana kebijakan dengan suara terbanyak yang diperoleh niscaya diimplementasikan. Ada variasi yang berbeda dari jenis ini, yakni:
  1. demokrasi minimalis, yakni sistem pemerintahan di mana warga memberi kepada tim pemimpin politik hak untuk memerintah dalam periode pemilihan. Menurut konsepsi para minimalis, warga tidak dapat dan tidak harus ‘memerintah’ karena, misalnya, dalam banyak hal warga tidak mempunyai pandangan yang jelas atau pandangan yang jelas seperti itu tidak dapat ditemukan dengan baik.
  2. demokrasi langsung (direct democracy), di mana warga harus berpartisipasi secara langsung dalam membuat hukum dan kebijakan, tidak lewat perwakilan mereka, dengan berbagai alasan, yakni:
  • tindakan dan kegiatan politik dianggap mempunyai nilai pendidikan dan pembatinan pada dirinya sendiri,
  • partisipasi rakyat dapat melakukan pengujian-ulang terhadap kekuasaan besar dari elit,
  • dan yang paling penting adalah warga secara nyata memerintah diri mereka sendiri bilamana mereka secara langsung menentukan hukum dan kebijakan,
  • serta pada umumnya pemerintah cenderung akan memproduksi hukum dan kebijakan yang erat pada pandangan dari pemilih yang berada di tengah [Down, 1957].

Salah satu prinsip demokrasi adalah bahwa keputusan kolektif bersifat mengikat, dan setiap orang di dalam komunitas politik memiliki hak atas kepentingan yang sama (tidak selalu bahwa semua orang sama puasnya dengan keputusan kolektif). Dahl menggunakan istilah poliarki untuk mengacu ke masyarakat dimana ada satu rangkaian kelembagaan dan prosedur yang dilihat sebagai mengarah ke demokrasi semacam itu, yakni:

  1. pertama pemilihan reguler yang bebas dan terbuka yang digunakan untuk memilih perwakilan,
  2. dan yang menghasilkan perwakilan yang mengelola semua kebijakan publik.
  • Demokrasi deliberatif (‘deliberative democracy’) didasarkan pada pemikiran bahwa demokrasi adalah pemerintahan lewat diskusi. Demokrasi deliberatif berpendapat bahwa hukum dan kebijakan harus didasarkan pada alasan yang diterima oleh semua warga. Arena politik haruslah sesuatu di mana para pemimpin dan warga membuat argumen, mendengarkan, dan mengubah pikiran mereka.
  • Demokrasi radikal (‘radical democracy’) didasarkan pada gagasan bahwa ada hubungan kekuasaan hirarkial dan bersifat menindas (oppressive) yang ada di dalam masyarakat. Peran demokrasi adalah membuat mungkin dan menantang hubungan itu dengan memberikan peluang bagi yang berbeda, menyempal dan antagonistik di dalam proses pengambilan keputusan.

 

  1. Ada berbagai faktor yang disebutkan berpengaruh pada perkembangan demokrasi oleh para ahli, yaitu, antara lain:

 

  1. faktor budaya, misalnya diketengahkan bahwa Protestanisme mempengaruhi perkembangan demokrasi, penegakan hukum, hak asasi manusia dan kebebasan politik;
  2. Lipset menyebutkan pengaruh dari kekayaan, dan
  3. Inglehart menekankan bahwa peningkatan standard hidup mengarah pada meningkatnya nilai ekspresi diri yang amat berkaitan dedngan demokrasi;
  4. relevansi pendidikan dan modal manusiawi (human capital) serta kemampuan kognitif (cognitive ablity), yang pada gilirannya meningkatkan toleransi, rasionalitas, kemelekan politik dan partisipasi. Dua efek dari pendidikan dan kemampuan kognitif dibedakan: akibat kognitif (kompetensi membuat pilihan rasional, pemrosesan informasi yang lebih baik) dan satu efek etikal (mendukung nlai-nilai demokrasi, kebebasan, hak asasi manusia dsb.), yang pada dirinya tergantung pada intelegensia (perkembangan kognitif menjadi prasyarat bagi perkembangan moral [Glaeser et.al., 2007; Deary et.al., 2008; Rindermann, 2008).

 

  1. Demokrasi disebut ‘bentuk terakhir pemerintahan’ dan meluas secara mengagumkan di seluruh dunia, akan tetapi hal itu tidak berarti tanpa kritik sama sekali. Paling sedikit ada enam kritik yang muncul ke permukaan, yaitu: (a) demokrasi bersifat ilusori; (b) menghasilkan kekacauan; (c) mendorong pembusukan moral; (d) Pembelian suara; (e) mengakibatkan ketidak-stabilan politik; (f) memunculkan tangapan pemerintah yang lamban.
  • Pemikir Italia abad ke 20 Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca (secara sendiri-sendiri) berpendapat bahwa demokrasi bersifat ilusori, dan hanya melayani untuk menutupi realitas dari pemerintahan elite. Sesungguhnya, mereka berpendapat bahwa elit oligarki adalah hukum manusia alamiah yang menjadi lebih santai atau informal, karena secara luas ada apati dan pembagian masa (sebagai lawan dari dorongan, inisiatif dan kesatuan dari elite), dan lembaga demokratik akan tidak berbuat lebih untuk menggeser olah kekuasaan dari penindasan hingga manipulasi]
  • Demokrasi membuka proses pengambilan keputusan yang tidak berdaya-guna (efisien). Ahli ekonomi sejak Milton Friedman memiliki kritik yang keras atas efisiensi demokrasi. Friedman mendasarkan kritiknya ini pada presmise tentang pemilih yang irrasional. Argumennya adalah bahwa para pemilih tidak sangat terinformasikan tentang banyak isu politik, khususnya berkaitan dengan ekonomi, dan memiliki bias yang kuat atas sedikit isu pada mana mereka dapat mengetahui secara adil/sama.
  • Plato (dalam the Republic) menyajikan pandangan kritikal atas demokrasi lewat narasi dari Socrates: ‘Demokrasi, yang merupakan bentuk pemerintahan yang amat menarik, penuh dengan beragam kekacauan, dan membawa hasil satu jenis persamaan maupun ketidak-samaan juga.’ Dalam karyanya, Plato mendaftar 5 bentuk pemerintahan dari yang terbaik ke yang terburuk. Dengan beranggapan the Republik ditujukan menjadi satu kritik yang serius atas pemikiran politik di Atena, Plato berpendapat bahwa hanya Kallipolis, satu aristokrasi yang dipimpin oleh raja-filosof yang paling bijak adalah satu bentuk pemerintahan.
  • Dianggap ada pembusukan moral (moral decay) yang terjadi pada kebudayaan Asian tradisional, yang yakin bahwa demokrasi menghasilkan ketidak-percayaan (distrust) dan kekurang-hormatan (disrespect) pada kesucian pemerintahan atau keagamaan. Ketidak-percayaan dan ketidak-hormatan ini menyebar ke seluruh semua bagian dari masyarakat — kapanpun dan dimana pun ada senioritas dan junioritas, misalnya antara orang tua dan anak, guru –.
  • Muncul gejala pembelian suara, yang merupakan bentuk sederhana dari himbauan pada kepentingan pemilih dalam jangka pendek. Taktik ini telah dikenal menjadi matang digunakan di wilayah utara dan timur laut Thailan. Taktis yang sama di selatan Italia, di mana mafia lokal mengambil peran aktif didalam proses – gejala ini juga didaku terjadi di Indonesia, terutama pada masa dilaksanakannya Pemilu dan Pilkada –.
  • Mengakibatkan political instability: demokrasi dikritik karena tidak cukup menawarkan kestabilan politik, oleh sebab pemerintah dipilih secara frekuen, terus menerus ada kecenderungan terjadi perubahan di dalam kebijakan negara demokrasi baik secara domestik dan internasional. Bahkan manakala partai politik memelihara kekuasaan, teriakan keras gaduh, protes yang menyita berita utama dan kritik yang seringkali muncul di media masa cukup bisa untuk memaksa perubahan politik yang mendadak dan tidak diharapkan. Perubahan kebijakan politik dan kekacauan bisnis mempengaruhi investasi dan amat menggangu pertumbuhan ekonomi – ingat peristiwa/gejala yang disebut sebagai ‘Arab spring’ yang terjadi di negara-negara Timur Tengah –. Untuk alasan ini, banyak orang berpendapat bahwa demokrasi tidak cocok bagi satu negara berkembang di mana pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan dianggap sebagai prioritas utama. Demokrasi juga dikritik karena pemilihan yang sering mengakibatkan ketidak-stabilan dari pemerintahan koalisi. Koalisi seringkali dibentuk setelah pemilihan di banyak negara, dan basis persekutuan sangat tidak mampu menghasilkan mayoritas yang dapat bertindak praktis, bukannya basis ideologi yang sama. Koalisi oportunistis bukan hanya mengandung hambatan untuk memotong begitu banyak faksi ideologis yang saling berlawanan, akan tetapi biasanya berumur pendek karena masing-masing melihat atau memiliki ketidak keseimbangan dalam perlakuan mitra koalisi, atau perubahan kepemimpinan dalam mitra koalisi sendiri, dapat dengan mudah mitra koalisi menarik dukungan dari pemerintahan.
  • Demokasi membawa kecenderungan tanggapan pemerintah yang lamban. Lembaga demokratik bekerja di atas kesepakatan untuk menentukan suatu isu, yang biasanya memerlukan waktu yang lebih panjang dari pada keputusan unilateral.

 

B. Oligarki dalam demokrasi

  1. Oligarki (Yunani: oligarkhia) adalah satu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan secara efektif berada di ruas (segmen) kecil elite dari masyarakat yang dibedakan oleh keningratan, kekayaan, ikatan keluarga, keagungan militer, atau hegemoni keagamaan. Aristoteles memulai menggunakan istilah ini sebagai padanan bagi ‘pemerintahan oleh yang kaya’ — di mana padanan istilah ini secara leksikal adalah plutokrasi –, akan tetapi oligarki tidaklah selalu suatu pemerintahan dengan kekayaan, karena oligarki secara sederhana bisa menjadi satu kelompok yang mempunyai privelese — kombinasi dari kosa-kata plutokrasi dan oligarki membenuk kata plutarki –. Beberapa negara-kota dari Yunani Kuno adalah oligarki, dan satu contoh modern dari oligarki dapat dilihat di Afrika Selatan selama abad 20;   meskipun oligarki Afrika Selatan ini berakhir saat kedatangan demokrasi di Afrika Selatan pada tahun 1994 – akhir oligarki Afrika Selatan ini ditunjukkan oleh peralihan pada satu pemerintahan demokrasi-yang-dipilih yang didominasi oleh mayorias kulit hitam –. Beberapa penulis kontemporer telah menandai kondisi saat ini di AS bersifat oligarki; ‘munculnya kembali oligarki finansial Amerika adalah amat mutakhir’, satu struktur yang digambarkan secara rinci sebagai menjadi yang paling maju di dunia; dan bahwa ‘oligarki dan demokrasi bekerja di dalam satu sistem tunggal, dan politik Amerika adalah satu pertunjukan sesehari dari interplay’   Piketty, seorang ahli ekonomi Perancis, bahkan menyatakan secara lugas bahwa: ‘‘the risk of a drift towards oligarchy is real and gives little reason for optimism about where the United States is headed’ [Piketty, 2013].  Gilens dan Page bahkan menyatakan secara lebih keras bahwa ciri AS bukanlah hanya sebagai sebuah oligarki per se, melainkan juga berfisat ‘oligarki sipil’ (‘civil oligarchy’),  sebagaimana juga dikatakan oleh Winters, di mana warga negara paling kaya mendominasi  kebijakan tentang isu penting berkenaan dengan perlindungan kekayaan dan penghasilan dalam ‘civil oligarchy’ seperti di Amerika Serikat.

 

  1. Robert Michels yakin bahwa setiap sistem politik pada akhirnya berubah ke dalam satu oligarki, mengikuti apa yang disebutnya sebagai hukum besi oligarki (‘iron law of oligarchy’). Menurut aliran pemikiran ini, demokrasi modern pada praktiknya harus dipandang sebagai oligarki. Dalam sistem ini, perbedaan aktual antara pesaing politik nampak kecil, elit oligarki memaksakan secara kaku batas-batas pada posisi politik yang dapat ‘diterima’ dan ‘dihormati’, dan karier politik amat tergantung pada ekonomi dan media elit yang tidak dipilih. Gejala seperti ini diungkapkan dalam frase yang populer: hanya ada satu partai politik, yakni partai ‘petahana’ (incumbent party). Bilamana kekuasaan secara efektif berada di tangan satu kelompok elit yang kecil individu di dalam entitas ekonomi atau perangkat ekonomi yang amat berpengaruh, seperti bank, entitas komersial, maka disebut dengan korporatokrasi (corporatocracy). Entitas komersial yang terlibat seperti yang disebutkan itu lazimnya melakukan perbuatan yang tidak benar, oleh dorongan oligarki, dan seringkali dengan sedikit atau sama sekali tanpa apapun bagi perlindungan hak prerogatif secara konstitusional.

 

C. Peran bantuan hukum struktural dalam praksis oligarki

20. Struktur, dalam gerakan intelektual ‘strukturalisme’, dipahami sebagai sesuatu yang menentukan posisi dari setiap anasir yang terkandung di dalam satu keseluruhan; sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial, misalnya sosiologi dan antropologi, struktur itu seringkali didefinisikan sebagai relasi-relasi antara berbagai anasir yang membentuk satu keseluruhan yang terdiri dari semua anasir itu. Ada 4 gagasan yang biasa berkaitan dengan strukturalisme, menurut Alister, yakni:

  • struktur adalah apa yang menentukan posisi dari setiap anasir dari keseluruhan;
  • strukturalis yakin bahwa setiap sistem memiliki satu struktur;
  • strukturalis berkepentingan dalam hukum ‘struktural’ yang berkaitan dengan koeksistensi daripada perubahan;
  • struktur adalah ‘sesuatu yang nyata’ yang ada di bawah permukaan atau penampakan dari makna.

Strukturalisme merambah masuk ke dalam jajaran ilmu-ilmu sosial, misalnya dalam antroplogi struktural. Antropologi struktural ini didasarkan pada gagasan Claude Levi-Strauss bahwa orang berpikir tentang dunia dalam wacana oposisi biner — seperti tinggi-rendah, luar-dalam, orang-binatang, hidup-mati –, dan bahwa setiap kebudayaan dapat dipahami dalam arti yang berlawanan ini. Ia menulis bahwa ‘Dari awal mula, proses persepsi visual menggunakan oposisi-biner ini.’ Levi-Strauss berpendapat bahwa disamping orang berpikir tentang dunia dalam wacana oposisi biner, juga menyatakan bahwa setiap kebudayaan dapat dipahami dalam arti yang berlawanan ini. Pendekatan Levi-Struss muncul, secara fundamental, dari filsafat Hegel, yang menjelaskan bahwa dalam setiap situasi dapat ditemukan hal-hal yang berlawanan dan pemecahannya; Hegel menyebut hal ini sebagai ‘tesis, antithesis, sintesis.’ Selanjutnya Levi-Strauss menyatakan pada kenyataannya kebudayaan memiliki struktur ini, dan menunjukkan, misalnya, bagaimana gagasan yang saling berlawanan akan bersaing dan bertabrakan dan juga dapat dipecahkan di dalam aturan-aturan perkawinan, mitologi, dan ritual. Analisis struktural menimbulkan kesadaran menyatukan kembali perspektif yang sempit yang mencerminkan keyakinan yang bersifat mutually exclusive: peka-rasa-intelek, kuantitas-kualitas, atau ‘etik’ dan ‘emik’ [Strusturalism and Ecology, 1972]. Adapun posisi dapat dimengerti sebagai ‘locus’ (lokasi) suatu entitas di dalam ruang (fisikal) atau dalam matra ruang, dan jika pengertian itu dituangkan di dalam konteks sosial, maka posisi (sosial) adalah lokasi entitas (individu, kelompok, atau kategeori sosial) di dalam serangkaian peran yang saling bertalian [Lunberg; Reading, 1986:312].[7]

  1. Konsep/gagasan bantuan hukum struktural’ (BHS) bukanlah suatu yang jatuh dari langit secara tiba-tiba, melainkan datang secara berangsur-angsur dari pergulatan praktik advokasi dan pemberdayaan hukum, serta kumpulan pengalaman lapangan pemberian/ pelayanan bantuan hukum yang dilakukan oleh para aktivis LBH (YLBHI) kepada orang miskin — yang pada umumnya dianggap tidak mampu dan buta hukum –, sejak awal berdirinya lembaga ini (yakni awal tahun 1970-an) hingga awal tahun 1980-an. Menjelang dasawarsa 1980-an oleh HIPPIS diselenggarakan suatu kegiatan seminar dengan tema ‘kemiskinan struktural’, bersamaan dengan diangkatnya ke kancah perdebatan kajian pembangunan yang diangkat dalam teori ‘dependensi’.  Praktik kegiatan pelayanan hukum dan kumpulan pengalaman kognitif dan empirikal yang diperikan dan didiskusikan dalam suatu pertemuan sejumlah aktivis itu diberi label (nama) justru oleh seorang intelektual-aktivis Indonesia berkewarga-negaraan Belanda sebagai ‘bantuan hukum struktural’. Sebagai satu konsep, sampai dengan saat ini belum ditemukan satu rumusan tuntas tentang BHS yang dapat diterima oleh semua aktivis, antara lain karena setiap aktivis cenderung mengemukakan pengertian mereka masing-masing berdasarkan berdasarkan pengetahuan kognitifnya – yang kadangkala tidak selalu meliput dan menyeluruh, melainkan cenderung lebih parsial – dan pengalaman empirikal yang beragam, karena setiap aktivis bekerja di lapangan yang berbeda dan beragam. Keragaman takrif dan tafsir BHS di kalangan aktivis terekam dalam berbagai tulisan yang dibukukan dan diterbitkan oleh LBH sendiri.[8]

 

  1. Di dalam ilmu-ilmu sosial, tidak ada kesepakatan tentang pemisahan teoritis dan empiris struktural antara hubungan masyarakat politik (negara), masyarakat ekonomis (pasar) dan sosial (masyarakat sipil), akan tetapi Abercrombie et.al [1984] melihat adanya pergeseran makna dan konsep masyarakat sipil yang menunjukkan sikap teoritikal hubungan antara negara, ekonomi, dan masyarakat; sedangkan Cohen & Arato [1994] melihat penting adanya anasir dan relasi antar unsur struktural yang terdapat di dalam setiap masyarakat di berbagai tingkatan, di mana ada terdapat anasir: negara (masyarakat politik), masyarakat sipil (di mana posisi ornop biasanya berada], dan pasar (masyarakat ekonomi) – disebut dengan model (struktural) tiga bagian (three part model) –.  Rumusan Gramsci mengenai hubungan antara ekonomi, masyarakat dan negara dalam arti dua yang kontras antara kehidupan pribadi dan publik, kerelaan (consent) dan paksaan (coercion) telah memainkan peran yang fundamental di dalam analisis Marxis kontemporer mengenai ideologi dan kekuasaan (power)[9] [Mouffe e.d, 1979; Abercrombie et.al.,1984].

 

  1. Bilamana model (three part) ini dipergunakan sebagai latar konsep BHS, maka ranah bantuan hukum itu perlu dilihat dalam konteks relasi (hubungan) antara berbagai subyek hukum yang antara lain terdiri dari para pelaku tindakan hukum, para korban perbuatan hukum, dan para penegak hukum di dalam setiap peristiwa hukum yang terjadi, baik pada tataran makro (nasional domestik) maupun pada tingkat mikro-indiviual.  Jadi, wilayah teban (kerja) — atau dalam bahasa lain: medan perang–  BHS adalah:
  • ranah yang menjadi latar dari peristiwa hukum yang mengejawantah adalah hubungan antara negara (masyarakat politik) dengan warga-negara baik individu maupun kelompok (di dalam masyarakat sipil), baik termanifestasi pada segi politik, ekonomi, maupun sosial;
  • ranah yang menjadi latar peristiwa hukum yang terungkap dalam hubungan antara pasar (bidang dan pelaku ekonomi) dengan indiidu dan/atau kelompok warga dalam masyarakat; dan
  • ihwal yang terjadi dalam hubungan antar berbagai individu dan kelompok di dalam masyarakat sipil sendiri.

 

  1. Pada tataran makro berkenaan dengan hubungan antara negara dan masyarakat sipil dapat terlibat berbagai masalah yang dapat muncul, yang di kalangan para aktis masalah itu seingkali dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni: (i) the content of law (masalah isi substansial hukum), (ii) the structure of law (masalah struktur hukum), dan (iii) the culture of law (masalah kebudayaan hukum). Oleh karena itu gagasan dan praksis BHS niscaya perlu menjawab berbagai masalah yang muncul dari sedikitnya tiga kategori tersebut.

 

  1. Berkenaan dengan isi substansial hukum, praksis BHS dapat dianggap perlu, misalnya antara lain, terlibat di dalam upaya membangun politik hukum dengan melakukan berbagai perubahan atas beragam peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak lagi dapat menjawab berbagai persoalan hukum mutakhir (misalnya dalam hal perbuatan pidana), ketika jumlah,  jenis dan ragam tindak kejahatan telah berkembang searah dengan perkembangan masyarakat (misalnya perkembangan demografi, teknologi pada tataran infrastruktur, dan masalah sosial, budaya, dan politik pada tataran struktur sosial),[10]  apalagi bilamana dibandingkan dengan masa ketika undang-undang pidana ditetapkan pada masa penjajahan – upaya perubahan KUHP telah dilakukan lebih dari setengah abad yang lalu, yang tak kunjung selesai, antara lain misalnya  karena masih terdapat perdebatan tentang santet, maupun  karena ‘politik hukum’ yang amat tidak jelas, sdrta persaingan antar faksi-faksi politik, baik dilegislatif maupun eksekutif; oleh karena itulah praksis BHS niscaya merambah ranah dan matra ini –.

 

  1. Dalam ranah struktur hukum, para ahli melihat berbagai tumpang-tindih yang berkelindan dan bahkan juga adanya berbagai rumusan hukum yang dianggap saling bertentangan – ada berbagai ketentuan hukum yang berbeda yang mencerminkan kurang adanya koherensi dan konsistensi, serta berbagai ketentuan hukum yang tidak terintegrasikan dengan baik –. Pendek kata terdapat banyak pekerjaan yang menantang praksis BHS setidaknya untuk mengidentifikasi ketentuan hukum yang tidak sinkron, menganalisis sebab-musabab tiadanya koherensi, konsistensi, dan integrasi struktural. Identifikasi semacam itu perlu dilanjutnya dengan kategorisasi masalah, yang seterusnya dilanjutkan dengan perencanaan progam pembangunan (reformasi) hukum yang dapat menjamin kepastian hukum, ketelitian, dan keadilan hukum (baik prosedural maupun substansial),[11] sebagaimana yang diungkapkan oleh aktivis LBH mendiang Yap Thiam Hien.[12]

 

  1. Matra ‘medan perang’ praksis BHS yang sama sekali bukan tak penting dan berada di pinggiran, melainkan justru amat penting dan berada di pusat putaran masalah, adalah berkaitan dengan apa yang disebut sebagai ‘kebudayaan hukum’ masyarakat sipil maupun komunitas birokrasi di sisi negara. Kebudayaan hukum ini antara lain meliputi ‘kesadaran hukum’ (dalam hal ini termasuk pengetahuan kognitif tentang hukum, perilaku aktual berupa ‘kepatuhan hukum’ (law obidient) atau ‘pembangkangan hukum’ warga negara termasuk individu dan berbagai kelompok komunitas dan masyarakat, berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) misalnya pelaku bisnis dalam ranah ekonomi dan berbagai institusi politik (seperti partai politik), aparatus penindas negara (repressive state apparatus).[13] Salah satu wajah konkrit dari ‘kesadaran hukum’ yang rendah dan perilaku (sosial) yang menabrak hukum itu dapat secara jelas terlihat dari bagaimana oleh berkendara di jalanan umum di Jakarta dan di kota-kota Indonesia pada umumnya dewasa ini, dan pengeroyokan oleh masa terhadap orang yang dituduh mencuri ‘amplifier’ hingga meninggal baru-baru ini, yang sebelumnya sikap dan perilaku seperti itu telah dikritik oleh Koentjaraningrat[14] dan Muchtar Lubis.[15] Dalam konteks ini, sesungguhnya LBH telah melakukan berbagai upaya percobaan yang dilakukan dalam program ‘pemberdayaan (hukum) masyarakat’, misalnya yang tercermin dalam kegiatan pelatihan ‘bare-foot lawyers’ (pembela-hukum-kaki-telanjang) dan penyadaran hukum serta pemberdayaan warga[16] lewat kegiatan ‘kertunjukan ketoprak’ yang antara lain pernah digelar di daerah Wonogiri – sayang sekali upaya itu dilakukan secara parsial tidak berkesinambungan, dan kini sama sekali tidak terdengar gaungnya –; dan juga perbuatan melawan hukum lewat kegiatan ‘extra legal’ di masa Orde Baru.[17]

 

  1. Praksis BHS dalam matra politik dikenal lewat jargon ‘lokomotif demokrasi’ (istilah ini cenderung lebih menandai perspektif atau matra/dimensi  politik dari aktivisnya daripada  perspektif/matra hukum/legal dan lebih mencerminkan inklinasi politik dari penggagas atau pencetusnya) yang diangkat dan dipopulerkan oleh salah satu ‘bapak pendiri LBH’ (‘the founding fathers’) mendiang DR. Adnan Buyung Nasution (Bang Buyung) pada akhir dasawarsa 1980-an (atau awal 1990-an) ketika kondisi dan praktik demokrasi di Indonesia rezim Orde Baru pada saat itu semakin membusuk dan dianggap telah digerogoti dan dipelintir (distorted) oleh praktik otoritarian anti demokrasi – meskipun penguasa menggunakan istilah eufismitis ‘demokrasi Pancasila’ untuk menyebut praktik demokrasi politik pada saat itu –. ‘Lokomotif demokrasi’ sebagai suatu konsep memang menarik perhatian pemerintah dan khalayak, akan tetapi sebagai konsep sama sekali tidak terumuskan dengan jelas dan tidak terelaborasi secara rinci, dan oleh karenanya tidak mengandung pada dirinya sendiri parameter (dan/atau indikator konkritnya), sehingga dalam praktik ternyata sulit untuk menyatakan apakah ‘lokomotif’ itu ada dan bergerak ke arah depan (yang mana, juga tidak jelas), atau dengan kata lain jargon ‘lokomotif demokrasi’ itu lebih cenderung bersifat metaforik atau bahkan amat retorik. Dalam matra politik, sesungguhnya BHS dapat menggali lebih dalam dan mengangkat lebih tinggi ciri-ciri substansial dari demokrasi yang dibayangkan dan dikehendakinya, yang di dalamnya terkandung esensi nilai-nilai yang terkandung dalam konsep demokrasi dan yang perlu dijadikan kiblat dan tolok ukur dari wujud demokrasi yang dibayangkan, diharapkan, dan diaktualisasikannya, dan juga bentuk kelembagaan yang dianggap sesuai dengan nilai-nilai itu – dalam bahasa Mertonian, BHS harus menemukan rumusan demokrasi pada tataran ‘culture structure’ (nilai-nilai) dan ‘social structure’ (kelembagaan) yang  kedua struktur ini saling cocok, sesuai, dan selaras, sehingga tercermin apa yang disebut dengan sikap ‘conformity’ –.[18] Kelemahan lain dari gagasan ‘lokomotif demokrasi’ adalah ‘ketidak-niscayaan’ mengaktualisasikan gagasan itu karena LBH tidak memiliki wahana (kelembagaan) untuk melakukannya sebab LBH bukanlah partai politik dan tidak memiliki partai politik, sebagaimana yang dikemukakan oleh mendiang Daniel Lev, promotor promosi doktor ABN. Oleh karena itu, jika praksis BHS tetap mejadikan matra poltik sebagai ‘medan perangnya’, maka perencanaan yang cermat program ‘menjadikan lokomotif demokrasi’ sebagai gagasan (ide, nilai-nilai) dan sosok kelembagaan amatlah diperlukan, dan bahkan dapat menjadi ‘condition sine qua non’.

 

  1. Matra lain yang sama sekali tidak nampak atau dimunculkan (bisa jadi menjadi ‘titik-buta’ yang melengkapi ‘bias politik dan hukum’dari pandangan LBH) adalah matra ‘demokrasi ekonomi’ (meminjam istilah Hatta). ‘Lokomotif demokrasi’ ABN nampak jelas bias politik, mengesampingkan sementara atau setidaknya meletakkannya dibawah matra hukum, seraya melupakan dan bahkan menafikan (negation) matra ekonomi yang amat ditonjolkan oleh Hatta – bahkan Hatta menekankan bahwa tidak ada ‘demokrasi politik’ tanpa ‘demokrasi ekonomi’) –; padahal dalam praktik bantuan hukum, LBH juga telah melakukan kegiatan membantu sektor buruh dalam lingkungan masyarakat ekonomi. Pendek kata di sinilah letak titik-buta dari gagasan ‘lokomotif demokrasi’ dalam BHS. Karena matra ‘demokrasi ekonomi’ ada di titik-buta, maka akibatnya gagasan tentang bagaimana BHS akan memfasilitasi lahir dan berkembangnya ‘demokrasi ekonomi’ juga sama sekali tidak disebut – yang sesungguhnya secara konstitusional juga mau tidak mau harus diaktualisasikan dan dikembangkan, sehingga tindakan dan program itu menjadi keniscayaan konstitusional –. Salah satu isu pokok yang penting berkaitan dengan ‘demokrasi ekonomi’ (yang diabakan ini, baik pada tataran praksis, maupun pada sisi konkrit) adalah: sosok sistem perekonomian manakah yang memiliki probabilitas yang paling tinggi bagi terciptanya ‘keadilan dan kesejahteraan ekonomi warga’? Sesungguhnya secara normatif pertanyaan ini secara konseptual pada tataran gagasan sudah disediakan oleh konstitusi yang berakar pada gagasan ‘negara kesejahteraan’ (welfare state), yang kemudian dituangkan dalam rumusan Pasal 33 UUD 1945. Pertanyaan operasional kurang lebih sebagai berikut: bagaimana BHS mengelaborasi rumusan Pasal 33 UUD 1945 ke dalam program terencana sistematis yang akan dilaksanakannya pada masa mendatang menuju ‘keadilan dalam negara kesejahteraan’ atau ‘negara kesejahteraan yang berkeadilan’?  Reformasi hukum yang seperti apa yang niscaya dilakukan (antara lain atas dorongan BHS) agar cita-cita (visi) konstitusional itu terwujud di persada nusantara dalam wadah ‘negara hukum’ yang ‘berkeadilan dan warganya berkesejahteraan’? Jika praksis BHS gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, maka BHS akan kehilangan eksistensinya, dan gagasannya akan menguap ‘diterpa badai ekonomi global’; atau jika terjadi ‘pembelokan arah demokrasi’ yang dituju oleh ‘lokomotif demokrasi’ itu dari yang semula digagas ke arah ‘demokrasi liberal’ yang seturut dengan asas ‘pasar bebas (global)’ dan pada gilirannya menghasilkan ‘oligarki’, maka keberadaan BHS juga terancam dan misinya akan gagal pula!

 

Catatan penutup

  1. Sosok dan bentuk ‘demokrasi’ atau ‘oligarki’ dapat dipandang, dari satu sisi, (hanya) sebagai wahana yang dapat dipilih sesuai dengan kehendak politik warga untuk mewujudkan cita-cita (visi) politik bernegara, setidaknya karena tiga hal: (i) konsep atau gagasan dari ‘demokrasi’ dan ‘oligarki’ merupakan ungkapan dari bentuk atau wahana yang mengandung pada dirinya sisi positif maupun sisi negatif, dan oleh karena itu tersedia ruang dan peluang bagi warga untuk memilih salah satu dari bentuk wahana itu; dan (ii) sebagaimana disebutkan oleh Michel ada ‘hukum besi oligarki’; serta (iii) kedua konsep atau gagasan itu tidak lepas dari berbagai kritik. Di samping itu ‘negara demokrasi’ atau ‘negara oligarki’ dapat diperlakukan sebagai latar di mana BHS akan bekerja, bergiat, dan melaksanakan program-programnya. Setiap latar itu, pada satu sisi, memiliki sifat yang dapat menjadi penghalang aktualisasi tindakan dan program; dan pada sisi sebaliknya, juga membuka peluang bagi dilakukannya kegiatan dan kerja operasional. Hal yang disebut terakhir ini sama sekali tidak akan mengubah ‘visi BHS’ sama sekali, melainklan hanya dapat mempengaruhi rumusan strategis bagaimana visi itu akan dicapai. Dengan kata lain, perbedaan latar ‘negara demokrasi’ atau ‘negara oligarki’ hanya akan dan memang memerlukan rumusan-rumusan strategis operasional yang berbeda. Perbedaan rumusan operasional kerja strategis ini juga amat bergantung pada ketersediaan sumber-daya, modal-manusiawi (kompetensi, integritas, profesionalitas, kepiawaian, ketrampilan, jumlah), teknologi yang diadopsi, serta faktor eksternalitas lain (seperti hambatan, kendala, ancaman, peluang, dan jejaring-sosial-politik yang mendukung/menghambat). Jadi, kepada LBH dituntut untuk membuat rumusan perencanaan strategis yang memenuhi SMART (specific, measurable, achievable, rational atau research-based, dan time bound).

 

Jakarta, 8 Agustus 2017

 

Catatan kaki :

[1]  Pokok-pokok pikiran yang dipersiapkan untuk dan disajikan pada Renstra YLBHI dengan tema diskusi ‘Menemukan kembali YLBHI’ pada 8 Agustus 2017 di Hotel Neogreen Savana, Sentul City. Saya ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada Asfina, Ketua Dewan Pengurus YLBHI, yang memberi kesempatan kepada saya untuk terlibat dalam kegiatan ini sebagai narasumber. Makalah ini, dengan sedikit perubahan di sana sini, pernah disajikan pada Studium Generale ‘Melawan Oligarki dengan memperkuat Demokrasi, HAM dan Negara Hukum melalui perluasan gerakan Bantuan Hukum Struktural’ dalam Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) yang diselenggarakan oleh LBH Jakarta pada 3 April 2017 di Gedung YLBHI, Jakarta [MMB].

[3] Rechsstaat adalah satu konsep pemikiran legal Eropa kontinental (dipinjam dari jurisprudensi Jerman), yang diterjemahkan sebagai ‘legal state’, ‘state of law’, ‘state of justice’, atau ‘state of rights’. Rechsstaat adalah ‘negara konstitusional’ (‘constitutional state) di mana olah-kekuasaan pemerintah dibatasi oleh hukum [Carl Schmitt, The Concept of the Political, ch. 7; Crisis of Parliamentary Democracy], dan senada dengan konsep Anglo-American ‘rule of law’. Konsep Rechtsstaat muncul di dalam konteks Jerman dalam buku Robert von Mohl berjudul Die deutsche Polizeiwissenschaft nach den Grundsatzen des Rechtsstaates’.

[4]   Kant, Immanuel,  ‘History of Political Philosophy’, edited by Leo Strauss and Joseph Cropsey, University of Chicago Press, Chicago and London, 1987.

[5] Ketiga ahli yang diacu oleh Nino adalah Hohfeld, Kelsen, dan Von Wright, masing-masing dalam bukunya: Hohfeld, W.N., Fundamental Legal Conceptions, New Haven, 1920; 1978 edn., 23 ff.; Kelsen, General Theory of Law and State, pt. 1, sect. vi.; von Wright, G.H. , Norm and Action: A Logical Enquiry, London, 1963, 85.

[6] Nino, Carlos Santiago, The Ethics of Human Rights, Oxford, Clarendon Press, 1994, pp. 16-37.

[7]  Di dalam ilmu sosial posisi itu ditakrifkan sebagai lokasi atau tempat individu atau kategori sosial dalam satu sistem atau hubungan sosial – pengertian posisi ini mirip dengan pengertian status (sosial)–, oleh karena itu setiap posisi melibatkan harapan akan peran.

[8]  Lihat kumpulan karangan/tulisan tentang ‘banuan hukum struktural’ yang dimuat di dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh LBH [MMB].

[9]  Pengaruh ini khususnya tertlihat di dalam kontras antara ‘ideological state apparatus’ dan ‘repressive state apparatus‘ di dalam karya L. Althusser. Tetapi, penggunaan modern dari istilah ‘masyarakat sipil’ tidaklah menyelesaikan secara menyeluruh masalah tradisional dari hubungan antara basis dan suprasruktur [Abercrombie et.al.,1984]

[10]  Marvin Harris, seorang Marxis Strukturalis, mengelaborasi teori Marx berkenaan dengan struktur masyarakat yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni: material infrastructure, social structure, dan ideological superculture.

[11]  Perihal keadilan procedural dan keadilan substansial ini lihat tulisan ahli filsafat hukun John Rawls ‘Theory of Justice’

[12]  Yap Thian Hien mengangkat ketiga hal ini (kepastian, ketelitian, dan fairness – tetapi istilah terkahir ini disebutnya sebagai fair play –) di dalam majalah Prisma sektar tahun 1970-an [MMB].

[13]  ‘Repressive State Apparatus’ (RSA = apparatus penindas negara) adalah istilah yang dikemukakan oleh Louis Althusser, sebagai pasangan dari istilah lain yakni ‘ideological state apparatus’. Dalam RSA itu termasuk tentara, polisi, penegak hukum lainnya (jaksa dan hakim).

[14]  Koentjaraningrat menyatakan bahwa salah satu sikap mental orang Inddonesia yang dianggapnya menghambat pembangunan adalah ‘sikap sikap menerabas’ (lihat tulisannya tentang Sika Mental yang menghambat pembangunan di dalam buknya yang terkenal) [MMB].

[15]  Lihat pidato kebudayaan Muchtar Lubis di Taman Ismail Marzuki yang bertema ‘Manusia Indonesia’ yang kemudian dibukkan [MMB].

[16]  Kegiatan ‘penyadaran hukum dan pemberdayaan masyarakat’ ini menjadi salah satu matra bantuan hukum LBH yang masuk dalam kategori kegiatan ‘non-litigasi’, yakni kegiatan di luar pengadilan dan isinya melam[aui hukum (beyond the law), sebagai pelengkap pentingdari kegiatan ‘litigasi’ yang di lakukan di peradilan. Kegiatan ‘beyond the law’ ini mengadopsi berbagai gagasan pendidikan orang dewasa yang disebut dengan ‘consientization’ (‘penyadaran’) yang diilhami oleh antara lain ahli pendidikan Amerika Latin Paulo Freire. Pengaruh Freire ini mulai terasa di Indonesia pada dasawarsa 1970-an [MMB].

[17]  Aktivis lapangan LBH Surabaya, yang saat ini menjadi komisioner Komisi Kejaksaan  menggunakan istilah ‘extra legal’ ini untuk mengaktualisasikan perlawanan terahadap kebijakan pemerintah saat itu [MMB].

[18]  Robert Merton ketika membahas ‘anomie’ melihat persesusaian atau ketidak-sesuaian antara nilai-nilai substansial yang terkandung di dalam tataran ‘culture structure’, dengan segi-segi kelembagaan pada tataran ‘social structure’. Merton melihat pola adopsi: conformity, innovasion, retreatism, rebellion [Lihat Merton, Anomie, 1937].

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *