Dapatkah Operasi Militer Menyelesaikan Persoalan Aceh ?

Penetapan status darurat militer di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan sebuah fase penting dalam upaya penyele-saian masalah Aceh. Sebuah “perjudian besar” sedang dimainkan oleh para petinggi pemerintahan, TNI, Polri, Parlemen (MPR dan DPR) dan insitusi-insitusi negara lainnya, taruhannya adalah mesa depan Aceh. Opsi darurat militer ini menjadi anti-klimaks dari sebuah proses perundingan yang sedang berlangsung dalam sebuah rel bernama Cessation of Hostilites Agreement (CoHA) dan kemudian mengalami kebun-tuan. Dan puncak dari kebuntuan tersebut adalah deadlock-nya perundingan Joint Council di Tokyo pada tanggal 17 Mei lalu, yang kemudian dijadikan dasar oleh Pre-siden RI untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.28 tahun 2003 ten-tang Pemberlakuan Status Darurat Militer di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang berlaku efektif mulai tanggal 19 Mei 2003.

Ketidakharmonisan hubungan antara Pemerintah (pusat) RI dengan Aceh baik sekelompok orang maupun secara regional telah berlangsung semenjak proklamasi kemerde-kaan, bahkan jika dirunut lebih jauh ke belakang, hubungan wilayah Aceh dengan pemerintah pusat kolonial Belanda juga merupakan hubungan yang paling buruk di antara wilayah-wilayah lainnya di seluruh kepulauan nusantara, baru pada awal abad 20-lah Aceh baru bisa dikatakan “takluk” oleh pemerintah kolonial.

Tulisan ini mencoba untuk melihat kon-tekstualitas persoalan di Aceh dengan perspektif historis dan melakukan analisis atas situasi politik Aceh sekarang ini. Maksud tulisan ini adalah melihat konteks persoalan Aceh dalam sebuah rentang waktu yang cukup panjang sekaligus memahami mengapa persoalan Aceh sampai sekarang ini tidak kunjung selesai. Ada babakan-babakan penting yang perlu menjadi titik perhatian dalam melihat pro-ses pembentukan Aceh baik dari sebuah negara independen sampai menjadi sebu-ah propinsi bagian dari Republik Indonesia. Fokus utama analisis ini adalah meli-hat bagaimana relasi ekonomi-politik-budaya antara Aceh dan Indonesia terbentuk, dan melihat kecenderungan-kecenderungan yang bisa diprediksikan akibat dari kebijakan-kebijakan politik yang akan diambil atas Aceh.

Konteks yang akan dilihat adalah hubu-ngan politik antara Aceh dengan Pemerintah RI (Jakarta) yang sampai saat ini be-lum menujukkan hubungan yang koheren-sial dan harmonis. Latar belakang historis dari ketidakharomisan relasi politik antara Aceh dengan Pemerintah (Pusat) RI, dalam konteks pemerintahan republik, dengan juga melihat lebih ke belakang bagaimana relasi Aceh dengan wilayah-wilayah di sekitarnya terbentuk, dan melihat konteks ini semua dalam melihat perkembangan Aceh akhir-akhir ini terutama setelah penandatanganan perjanjian CoHA dan rencana operasi mili-ter pemerintah RI. Dalam keseluruhan pem-bahasan ini akan dilihat apakah operasi militer (darurat militer) dapat menyelesaikan persoalan Aceh, dalam konteks ini relasi Aceh – dengan struktur pemerintahan Pusat (setelah kemerdekaan biasa disebut Jakarta) yang telah berlangsung selama ratusan tahun.

Silahkan unduh Laporan YLBHI No. 5, Juli 2003 (PDF, Bahasa Indonesia)

Download YLBHI Report No. 5, Juli 2003 (PDF, English)

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *