YLBHI dan ICW ‘Kalahkan’ Presiden di PTUN Jakarta

Majelis hakim terdiri dari: Elizabeth Tobing (kiri), Teguh Satya Bhakti (tengah), dan Tri Cahya Indra Permana (kanan). Foto: RZK
Majelis hakim terdiri dari: Elizabeth Tobing (kiri), Teguh Satya Bhakti (tengah), dan Tri Cahya Indra Permana (kanan). Foto: RZK

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memberikan ‘kado akhir tahun’ yang manis kepada Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Senin (23/12), majelis hakim yang diketuai Teguh Satya Bhakti mengabulkan gugatan YLBHI dan ICW.

Sebagaimana diketahui, YLBHI dan ICW memberikan kuasa kepada sejumlah pengacara publik yang tergabung dalam Tim Advokat Penyelamat Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggugat Keppres No 87/P Tahun 2013 yang berisi tentang Pengangkatan Jabatan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.

Dalam berkas gugatan, YLBHI dan ICW menyatakan pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi tidak sesuai dengan UU No 24 Tahun 2003 tentang MK yang telah diubah dengan UU No 8 Tahun 2011. Makanya, YLBHI dan ICW meminta kepada PTUN Jakarta agar Keppres No 87/P Tahun 2013 dinyatakan batal.

Pada sidang pembacaan putusan, majelis hakim menyatakan Keppres No 87/P Tahun 2013 yang menjadi objek sengketa batal atau tidak sah. Untuk itu, majelis hakim memerintahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku tergugat untuk mencabut Keppres tersebut.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut keberadaan Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No 24 Tahun 2003 sebagai bentuk pengakuan Presiden SBY atas persoalan yang terjadi dalam proses seleksi hakim konstitusi. Keberadaan Perppu itu seolah-olah menunjukkan bahwa Presiden menyadari ada kekeliruan dalam proses pengangkatan hakim konstitusi.

“Berdasarkan penafsiran Teologis, dengan terbitnya Perppu No 1 tahun 2013, tergugat seolah-olah mengakui bahwa ada masalah dalam proses seleksi hakim konstitusi,” papar Tri Cahya Indra Permana, anggota majelis hakim.

Majelis hakim berpendapat ketentuan seputar seleksi hakim konstitusi memang tidak detail. Makanya, muncul kesan masing-masing tiga lembaga yakni DPR, Mahkamah Agung (MA), dan Pemerintah menentukan cara mereka sendiri dalam melakukan seleksi. “Terjadi inkonsistensi dalam proses seleksi hakim konstitusi yang dijalankan oleh Presiden.”

Putusan ini diwarnai dengan pendapat berbeda atau dissenting opinion dari anggota majelis hakim Elizabeth Tobing. Menurut dia, Keppres No 87/P Tahun 2013 tidak melanggar peraturan perundang-undangan. Elizabeth juga menegaskan bahwa pengangkatan Patrialis Akbar selaku hakim konstitusi tidak mengandung cacat dari segi prosedural maupun substansi.

Usai persidangan, salah seorang kuasa hukum penggugat, Bahrain mengatakan dengan adanya putusan ini Patrialis Akbar seharusnya legowo langsung mundur. Menurut dia, selaku negarawan, Patrialis harus menghormati putusan majelis hakim PTUN Jakarta.

“Meskipun masih ada upaya hukum banding, ini kita bicara soal moral, Patrialis Akbar sebagai seorang negarawan harusnya mundur dari jabatannya sebagai hakim konstitusi,” ujar Bahrain.

Demi Kepentingan Bangsa
Merespon putusan ini, Jaksa Pengacara Negara selaku kuasa hukum Presiden, Alheri Tanjung menyatakan akan berkoordinasi terlebih dahulu terkait upaya hukum yang akan ditempuh. Jawaban senada juga disampaikan oleh Muhammad Ainul Syamsu selaku kuasa hukum Patrialis.

Namun, melalui sambungan telepon, Patrialis tegas menyatakan akan mengajukan upaya hukum banding. Menurut dia, hal ini dilakukan demi kepentingan bangsa yang lebih besar yakni keberlangsungan MK dalam menjalankan fungsi dan tugas, khususnya dalam hal penanganan perkara sengketa pemilihan kepala daerah.

Selain itu, Patrialis juga mengingatkan bahwa jika dirinya pasrah dan kemudian putusan PTUN berkekuatan hukum tetap, maka MK akan mengalami situasi darurat karena minimnya jumlah hakim. Sementara, tahapan seleksi yang diatur dalam Perppu No 1 Tahun 2013 tentunya akan memakan waktu yang cukup lama.

“Kalau saya tidak banding, bagaimana nasib MK? bagaimana nasib perkara-perkara pemilihan kepala daerah? Kalau begini, maka negara dalam keadaan darurat,” ujar mantan Menteri Hukum dan HAM.

Ketua MK Hamdan Zoelva berpendapat putusan PTUN Jakarta tidak serta merta akan berdampak pada status Patrialis dan Prof Maria Farida yang turut disebut dalam Keppres No 87/P Tahun 2013 sebagai hakim konstitusi. Menurutnya, putusan itu belum berkekuatan hukum tetap, dan masih dimungkinkan upaya hukum banding, lalu kasasi.

Sumber: hukumonline.com

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *