Larangan Memfoto, Merekam Persidangan Tanpa Izin Ketua Pengadilan akan Memperparah Mafia Peradilan

Larangan Memfoto, Merekam Persidangan Tanpa Izin Ketua Pengadilan akan Memperparah Mafia Peradilan

YLBHI memperoleh dokumen Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditandatangani pada 7 Februari 2020.

Dalam surat edaran tersebut terdapat aturan bahwa “Pengambilan Foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan”. Menanggapi aturan ini, YLBHI berpendapat bahwa Larangan Memfoto, Merekam, dan Meliput Persidangan Tanpa Izin Ketua Pengadilan Akan Memperparah Mafia Peradilan yang selama ini dalam banyak laporan sangat banyak ditemukan. Hal ini juga bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kerja-kerja jurnalistik dalam memperoleh informasi dan menyebarluaskannya kepada masyarakat. Apalagi terdapat ancaman pemidanaan di dalamnya. Ancaman pidana yang ada dalam Surat Edaran tersebut sudah terdapat dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sehingga tidak pada tempatnya dicantumkan dalam Surat Edaran ini. Selain itu, memfoto, merekam, dan meliput persidangan tanpa izin adalah ranah hukum administrasi yang dihubungkan dengan sesuatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan memfoto, merekam, dan meliput tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang. Selain itu ketua pengadilan dan birokrasinya akan dengan mudah menolak permohonan izin tersebut dengan berbagai alasan dan kepentingan tertentu.

YLBHI mencatat, selama ini rekaman sidang memiliki setidak-tidaknya beberapa manfaat yaitu:

1. Bukti keterangan-keterangan dalam sidang.
Indonesia tidak memiliki tradisi dan ketentuan yang ketat mengenai catatan jalannya sidang. LBH-YLBHI sering menemui keterangan saksi dikutip secara berbeda baik di dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum maupun putusan majelis hakim. Atau keterangan saksi tidak dikutip secara utuh baik oleh Jaksa maupun hakim sehingga menimbulkan makna berbeda. Pola lain adalah ada keterangan saksi-saksi tertentu tidak diambil dan tidak dijelaskan pemilihan keterangan saksi tersebut. Dalam pengalaman LBH juga sering ditemukan hakim menghalang-halangi liputan media dan juga dokumentasi oleh Tim Penasihat Hukum;

2. Bukti sikap majelis hakim dan para pihak.
Hakim dan para pihak terikat pada hukum dalam bertindak di dalam sidang. Pasal 158 KUHAP misalnya melarang hakim menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di dalam persidangan tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa. Atau Pasal 166 KUHAP yang mengatur pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi;

3. Rekaman persidangan baik audio maupun video juga membuat hakim dan para pihak merasa diawasi.
Setidaknya hakim dan para pihak akan berpikir dua kali apabila mereka hendak bertindak tidak patut atau melanggar hukum acara karena akan ada bukti dari rekaman audio dan video tersebut.

Di sisi lain, masalah-masalah pengadilan belum banyak berubah. Meskipun terdapat beberapa peraturan di tingkat MA yang membawa pembaruan MA, tetapi praktik-praktik minta uang serta layanan yang belum teratur masih ditemui di mana-mana. Pengadilan lambat merespon permintaan pihak-pihak yang berperkara.

Berdasarkan hal tersebut kami menyatakan:

  1. Mengecam larangan MA untuk memfoto, merekam dan meliput persidangan tanpa izin Ketua Pengadilan.
  2. Meminta perihal larangan memfoto dan merekam persidangan dicabut dari SE Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum No. 2/2020 Tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan.

 

Jakarta, 27 Februari 2020

CP :
Asfinawati
Muhamad Isnur

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *