“Politisasi Kasus Ahok Persulit Upaya Mematikan Pasal Ini”

Perempuan pertama yang memimpin Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini meminta maaf kepada wartawan Tirto karena datang terlambat dari waktu yang dijanjikan. Asfinawati pun buru-buru mempersilakan kami masuk ke ruang rapat untuk memulai wawancara.

“Menurut saya, pemakaian istilah ‘penistaan’ adalah spin untuk wacana tertentu,” kata pengacara yang membela terdakwa-terdakwa kasus Komunitas Eden, Syiah, Ahmadiyah, dan Gafatar ini, sambil menerangkan bahwasanya undang-undang hanya mengenal istilah “penodaan agama.”

Terkait proses persidangan yang menimpa Ahok, posisinya menarik karena LBH Jakartayang berada di bawah koordinasi YLBHImengajukan diri menjadi Amicus Curiae, dengan pendapat bahwa pernyataan Ahok tidak masuk ke dalam tafsir agama, dan karenanya tidak termasuk penodaan agama. Sebelumnya, LBH kerap berseberangan dengan Gubernur DKI Jakarta tersebut terkait pembelaan hukum korban penggusuran dan reklamasi. “Sikap terhadap penggusuran dan sikap terhadap kasus penodaan agama itu tidak sama dengan menyuruh orang memilih salah satu [calon gubernur],” katanya.

Ia juga menyatakan dengan terang bahaya politisasi kasus Ahok. Pasal penodaan agama, yang disebutnya seperti pasal sampah, akan semakin sulit dieliminasi karena pasal penodaan agama terbukti semakin kuat dan bisa dimanfaatkan untuk apa saja, termasuk mengatasi persaingan politik. Berikut ini wawancara lengkapnya.

Anda pernah menjadi pengacara Lia Eden, Ahmadiyah, Tajul Muluk (kasus Syiah Sampang), dan terakhir Gafatar. Apa yang membuat Anda concern dengan kasus-kasus penistaan agama? Apakah itu tugas dari LBH atau memang pilihan Anda sendiri?

Kasus yang pertama itu Ibu Lia Eden dan pengikutnya Rahman Eden, 2005. Menangani kasus Ibu Lia adalah penugasan dari kantor. Tapi dalam pertengahan kasus ini para pengacaranya, termasuk saya, mengerti makna pentingnya kasus ini. Dulu ada pendapat [umum] di LBH, bahwa kasus yang paling struktural, yang paling bisa membawa perubahan itu adalah kasus yang massal dan kolektif. Karena itu, kasus penggusuran dan perburuhan itu menjadi salah satu fokus LBH-LBH.

Tapi ketika kita menangani kasus penodaan agama, kita sadar bahwa meskipun ia [kasus] individual, ia penting. Mengapa? Sebab, yang sedang ditentang oleh masyarakat dalam kasus-kasus penodaan agama adalah hak orang untuk berpikir dan meyakini sesuatu. Itu sesuatu yang sesungguhnya sangat mendasar dalam diri manusia.

Dan sebenarnya, kami tidak pernah memakai istilah “penistaan agama.” Menurut saya, pemakaian istilah “penistaan” adalah spin untuk wacana tertentu. Dengan memakai kata “menista,” orang akan terbit sentimennya. Tapi sebetulnya tidak ada istilah itu di dalam perundang-undangan. Di undang-undang, yang ada [istilah] “penodaan agama,” yang lebih abstrak.

“Menodai agama” akan terasa abstrak, tapi begitu diganti jadi “menista agama,” orang menjadi paham: “Ooh, dia mengejek agama, menista.” Padahal, enggak ada istilah menista agama. Jadi menurut saya, pemakaian istilah “penistaan agama” juga bukan tanpa maksud. Istilah “penistaan agama” akan lebih mudah dimengerti orang dan [tindakan terhadap orang itu] akan mudah dilegitimasi.

Dari sekian kasus itu, yang friksinya paling kental dengan pemeluk agama sebagai massa, yang mana?

Semuanya. Karakter dasar kasus penodaan agama, kriminalisasi keyakinan, pasti dimulai dengan massa. Dalam kasus Lia Eden dan kasus Syiah sangat dramatis karena mereka diserang, terus mereka diangkut ke [kantor] polisi untuk diamankan, tapi berujung penahanan Lia Eden sebagai pimpinan komunitas yang diserang.

Syiah juga begitu. Dalam kasus Tajul Muluk [salah satu tokoh Syiah dalam kasus persekusi Syiah Sampang, Madura], bahkan sampai ada kesepakatan dia harus meninggalkan tempat tinggalnya. Karena adanya kemarahan yang luar biasa. Salah satu dakwaannya mengatakan karena ia kembali ke kampungnya, itu berarti dia memancing gangguan ketertiban dan ia harus dipenjara.

Jadi, pertanyaan tadi menunjukkan begini: di Indonesia, konstruksi penodaan agama pasti melibatkan massa. Sangat jarang atau bahkan tidak ada orang didakwa kasus penodaan agama tanpa diawali dorongan massa. Kedua, orang sebetulnya tidak bisa membedakan, termasuk polisi sampai hakim, antara penodaan agama dengan gangguan ketertiban. Dalam kasus penodaan agama, selalu ada dakwaan gangguan ketertiban. [Pasal] penodaan agamanya sendiri sudah bermasalah, tapi implementasi lebih gawat lagi.

Gawat karena mengganggu ketertiban selalu diikutkan dalam dakwaan?

Iya, dalam dakwaan pasti ada. Orang dianggap mengganggu ketertiban karena dia membuat marah banyak orang. Misalnya begini, setiap menjadi fasilitator dalam pelatihan saya bertanya apakah mereka yang muslim terganggu dengan Saksi Yehuwa [kelompok dalam Kristen yang banyak berbeda dengan Kristen pada umumnya]. Mereka menjawab tidak. Tapi jika yang ditanya orang Kristen, bisa jadi mereka menjawab terganggu atau marah. Berarti, gangguan ketertiban ini [bersifat] relatif, tergantung apakah ada yang marah.

Nasib orang ngeri banget. Kalau kita ketemu orang yang sabar, kita enggak masuk penjara karena dia enggak marah. Tapi kalau kita ada di sebelah orang yang intoleran, dia akan marah dan kita akan masuk penjara. Seharusnya tidak begitu. Seharusnya orang diadili karena tindakannya, apakah orang itu mencuri atau enggak. Bukan karena orang marah sama dia.

Dari semua kasus yang pernah Anda bela, hal apa yang Anda sorot?

Ada dua hal. [Pertama], dalam kasus-kasus penodaan agama, negara sebetulnya sedang mengikuti pendapat mayoritas. Tidak hanya secara empiris bahwa ada orang yang berbeda keyakinan dengan mayoritas di suatu daerah. Tapi pasal UU PNPS juga bilang begitu: orang yang melakukan tafsiran yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama. Yang pokok itu kan pasti yang mainstream. Meskipun untuk ahli agama ini pasti sangat problematis. Ahli-ahli kami bilang, betul bahwa ada yang pokok dan yang cabang dalam hukum agama. Tapi yang mana yang pokok dengan yang mana yang cabang juga diperdebatkan di antara mereka. Itu sikap negara.

Yang kedua, sebetulnya negara sedang mendidik warna negara yang intoleran dengan menjalankan kasus-kasus ini. Jadi yang terjadi di tingkat masyarakatnya begini, “Si anu katanya begini-begini.” Dalam banyak kasus, mereka tidak mengklarifikasi, terus dia menuntut ke negara, “Tolong dong orang yang berbeda ini dipenjara.” Ketika negara mengiyakan itu, maka warga negara belajar, “Oh betul, orang tidak boleh berbeda. Tuh, buktinya laporan saya diterima, dia dipenjara.”

Di tingkat masyarakat, yang terjadi adalah intoleransi karena tidak bisa menerima perbedaan. Negara sebetulnya sedang menanam bibit konflik. Karena semakin orang tidak toleran, dia akan mudah tersulut. Beda sedikit saja, misalnya masalah klasik perbedaan jumlah rakaat seperti tarawih, orang bisa marah. Semakin orang tidak toleran, semakin mudah tersulut, artinya negara menanam konflik jangka panjang. Menuainya kapan? Semoga saja enggak [terjadi].

Yang harus dilakukan adalah pembelajaran toleransi oleh negara dan negara harus mempraktikkan itu. Negara tidak bisa menyuruh Hizbut Tahrir harus toleran, berpancasila, tetapi negara sendiri tidak melakukan itu.

Negara tidak mempraktikkan toleransi itu misalnya dalam kasus apa?

Misalnya dengan terus memproses orang yang dituduh melakukan penodaan agama. Orang jadi belajar, “Memang enggak boleh berbeda, kok.”

Jadi sejak awal, laporan ke polisi itu seharusnya tidak diterima?

Seharusnya tidak diterima. Kecuali, misalnya ada permusuhan. Dan itu sudah pasal lain, jika dia terbukti melakukan siar kebencian. Dan siar kebencian juga seharusnya tidak langsung dipenjara juga, melainkan diberi edukasi. Kalau yang melakukannya pejabat publik, karena pejabat publik itu pasti didengar, bisa dia diproses pidana.

LBH-LBH yang berada di bawah koordinasi YLBHI di satu sisi kerap bersama massa, misalnya dalam kasus perburuhan dan penggusuran. Tetapi dalam kasus penodaan agama, LBH berada di seberang massa. Bagaimana Anda melihat kontradiksi ini?

Kalau di sisi saya sih itu menunjukkan kekuatan. Posisi LBH membela buruh dan korban penggusuran karena mereka ada di posisi yang benar menurut hak asasi manusia, meskipun menurut hukum negara mungkin tidak [benar] karena tinggal tinggal di tanah yang tidak ada sertifikatnya, misalnya. Tapi secara hak asasi manusia, mereka yang benar. Begitu pula dalam kasus penodaan agama. Secara hukum salah, tapi dari sudut hak asasi manusia, yang sebenarnya sudah jadi hukum negara ju ga, mereka benar. Karena itu kami bela.

Ujiannya sebenarnya adalah bagaimana buruh, orang-orang yang digusur itu paham soal penodaan agama, dan sebaliknya, kelompok minoritas keagamaan juga paham dengan kasus yang menimpa kaum miskin kota sehingga tidak mengecam mereka sebagai penduduk liar.

Itu kenapa LBH Jakarta keras kepada Ahok terkait penggusuran, tetapi juga membela dia dalam kasus penodaan agama, misalnya dengan menawarkan diri sebagai Amicus Curiae—sahabat peradilan—dalam kasus penodaan agama Ahok? Oh ya, ada yang mengatakan sikap LBH Jakarta terlambat.

Kedua pendukung [calon gubernur] memanfaatkan kasus-kasus ini untuk kepentingan dia, kan? Padahal, sikap terhadap penggusuran dan sikap terhadap kasus penodaan agama itu tidak sama dengan menyuruh orang memilih salah satu. Itu lompatan pikiran yang ngaco banget. Kenapa ngaco? Apakah jika seseorang [terbukti] menodai agama, ia otomatis bukan pemimpin yang baik? Apakah jika ia tidak [terbukti] menodai agama, ia akan menjadi gubernur yang baik? Belum tentu.

Tidak menodai agama, artinya tidak menodai agama. Kesalahan berpikir jika ada orang yang mengukur pemimpin dari dia menodai agama atau tidak. Belum tentu orang yang beragamanya baik untuk dirinya sendiri, kapabel mengurus negara. Kalau orang yang beragamanya baik otomatis kapabel mengurus negara, pasti semua pemimpin negara kita dari golongan pendeta, ustad. Kan, enggak. Orang yang saleh belum tentu menguasai birokrasi, dan sebaliknya. Dua hal itu tidak berhubungan sebab-akibat.

Menurut saya yang terjadi dalam pilkada ini bukan hal esensial. Kita disuguhi irasionalitas, nalar individu menjadi kacau. Seakan-akan kalau LBH merilis soal penggusuran itu sedang menyerang Ahok sebagai calon gubernur. Enggak ada hubungannya. Dia memang melakukan penggusuran, titik. Atau sebaliknya, LBH merilis dia tidak melakukan penodaan agama, seakan-akan kita mendukung dia menjadi gubernur. Enggak ada hubungannya. Belum tentu orang yang tidak menodai agama pantas memimpin DKI.

Politisasi atas kasus penodaan agama [Ahok] ini membuat upaya mematikan pasal ini semakin sulit. Dia [pasal penodaan agama] semakin kuat, sehingga bisa dimanfaatkan untuk apa saja. Ini bisa jadi bola liar, bisa dipakai buat apa saja. Karena memang tidak ada yang dimaksud penodaan agama di dalam KUHP Pasal 156a, penjelasannya apa. Itu kayak pasal sampah.

LBH punya aspirasi untuk menghapus pasal penodaan agama?

Betul. Korbannya sudah banyak. Mungkin sudah ada ratusan orang yang kena. Arswendo, H.B. Jassin. Bahkan kalau pakai pasal penodaan agama, orang yang berbeda tafsir soal Islam agama damai atau tidak pun bisa kena pasal itu. Misalnya ada yang menafsirkan bahwa jihad itu [dilakukan dengan] ngebom. Jika ada pemimpin agama mainstream yang mengatakan jihad adalah berjuang untuk keluarga, orang yang menafsirkan berbeda dengan pendapat itu bisa dijerat pasal penodaan agama, kalau pakai konstruksi hukum yang sekarang. Kan berbahaya banget.

Dari banyak kasus penodaan agama yang ditangani, mana yang paling membuat emosional?

Kalau bagi saya, semuanya. Karena selalu ada fitnah. Kedua, klien yang saya bela itu sebenarnya hanya duduk di komunitasnya, mencoba menjadi orang baik. Mereka hanya ingin mengamalkan pada sesuatu, dan taat pada itu. Karena ada orang yang tidak suka, menganggapnya salah, meskipun tidak pernah dihina sama si korban, terus tiba-tiba mereka diangkut oleh polisi, lalu menjadi terdakwa, terpidana, dan dipenjara. Seluruh klien yang saya bela itu adalah orang-orang yang baik, cerdas, dan taat bagi keyakinannya.

Bagaimana soal perkiraan vonis Ahok?

Saya enggak mungkin bisa menjawab soal itu ya. Tapi pernah ada Rahman Eden yang dibebaskan, 0 tahun dari pengadilan negeri. Dia klien saya juga. Jaksa kemudian melakukan kasasi, yang menurut KUHAP enggak boleh. Orang bebas itu tidak bisa dikasasi. Kasus Rahman Eden, jaksa melakukan kasasi dan diterima Mahkamah Agung. Dihukum 3 tahun, lebih lama dibanding pemimpinnya, Ibu Lia Eden.

Saya punya angan-angan gila. Kayaknya kalau semua orang sudah pernah dipidana dengan pasal penodaan agama, orang baru sadar bahwa pasal ini tidak adil. Karena sangat relatif, kan.

Ada pihak yang memperkirakan Ahok hanya akan dikenai hukuman percobaan, bagaimana pendapat Anda? [Wawancara ini dilakukan sebelum agenda penuntutan Ahok yang akhirnya tidak dituntut penodaan agama, dan hanya dikenai mengganggu ketertiban]

Posisi dari kami adalah pasal penodaan agama tidak bisa diberlakukan lagi. Pertama, karena dia berasal dari UU PNPS atau peraturan presiden pengganti undang-undang, jadi UU itu tidak melewati DPR. [Kedua], pada saat itu, bagian pertimbangannya mengatakan “dalam masa Revolusi.” Memangnya sekarang Revolusi?

Terus yang ketiga, UU itu dibuat dalam Demokrasi Terpimpin. Sukarno membubarkan DPR, MPR, mengangkat lagi. Jadi, jika kita lihat kondisi alam pikir saat itu, ini UU yg represif saja untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam kondisi politik tertentu. Memang, di zaman Orde Baru, dia diadopsi menjadi undang-undang. Tapi kan kita semua tahu berapa banyak anggota DPR/MPR yang ditunjuk. Jadi [proses pembuatannya] sangat tidak demokratis.Sudah tidak sesuai dengan zaman sekarang.

Terus, secara materiil, di dalam pasal 156a tidak dijelaskan penodaan agama itu apa. Padahal di semua pasal lain dijelaskan. Harus ketat unsur-unsurnya. Misalnya pencurian dirumuskan sebagai tindakan mengambil barang orang lain tanpa izin. Jika ada seseorang mengambil barangnya sendiri yang ada di rak temannya tanpa izin, orang itu tidak bisa dikenai pasal pencurian. Satu unsur saja tidak terbukti, misalnya dari keseluruhan lima unsur, orang itu tidak bisa dipidana.

Karena itu, pasal penodaan agama itu pantas untuk ditiadakan lagi. Enggak ada [unsur-unsur] yang menyatakan [tindakan apa] seseorang melakukan penodaan agama. Sehingga semua orang bisa kena itu.

Waktu kita sidang di MK, nyaris semua ahli menyatakan pasal ini sudah tidak layak lagi, entah karena substansinya, atau cara perumusannya.

Apa inisiatif yang dilakukan YLBHI untuk supaya penodaan agama ini dihapus?

Pertama, kami pasti akan membela orang-orang yang kena kasus penodaan agama, khususnya kelompok marginal yang tidak bisa menyewa pengacara.

Kedua, kami kampanye terus, termasuk Amicus Curiae dalam kasus Ahok kemarin itu adalah kampanye. Itu bukan Amicus [semata] untuk membebaskan Ahok. Amicus itu agar tidak ada korban penodaan agama lagi seperti klien-klien LBH. Dan tidak ada yang peduli karena mereka bukan Ahok, dan tidak ada yang berkepentingan secara politis.

Kurang ajar juga kalau ada yang mengatakan Amicus itu soal kemenangan [pilgub] dan lain-lain. Kami pernah melakukan judicial review penodaan agama, tahun 2005 pemohonnya Gus Dur. Gus Dur yang selalu mendorong kami ke pengadilan. Kami malas karena tahu pasti akan kalah. Tak lama setelah judicial review, Gus Dur meninggal.

Jadi apa arti kasus yang menimpa Ahok?

Kalau ada persaingan politik, orang akan menggunakan ini [Pasal 156a], bisa pakai kasus penodaan agama. Lalu penodaan agama akan makin hidup, dan makin hidup. Dan korbannya bukan [hanya] orang yang punya kekuasaan seperti Ahok, tapi orang-orang kecil.

Sikap YLBHI dan LBH selalu berangkat dari hak asasi manusia. Tapi sekarang banyak yang mendelegitimasi HAM, menyebutnya sebagai produk Barat, misalnya. Bagaimana YLBHI menangkis kampanye negatif itu?

Ini momentum yang baik untuk menunjukkan bahwa hak asasi manusia adalah jalan yang akan menyelamatkan korban. Orang tertindas akan menggantungkan diri pada HAM. Dan hari ini bisa terlihat bahwa orang bisa menjadi korban, seberkuasa apa pun. Dan yang menarik, orang yang menolak HAM sekalipun bisa dibela dengan [prinsip] hak asasi manusia.

Termasuk Ahok yang pernah menyindir dan sinis terkait HAM?

Betul sekali. Dia akhirnya akan belajar, bahwa yang bisa membela dia adalah hak asasi manusia. Kelompok-kelompok agamis juga ada yang menolak hak asasi manusia. Dan, yang bisa membela mereka ketika terjerat delik makar adalah prinsip hak asasi manusia.

 

Sumber : tirto.id

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *