Wacana Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Intoleran: Memupuk Intoleransi, Membiarkan Pelanggaran HAM di Indonesia

pexels-sora-shimazaki-5926357

Koalisi KAMI BERANI yang terdiri dari 24 organisasi masyarakat sipil menyayangkan maraknya dorongan atas kebijakan-kebijakan diskriminatif berupa peraturan daerah (perda) anti LGBT di berbagai wilayah di Indonesia.

Memasuki tahun politik, politisi dan pimpinan-pimpinan daerah maupun nasional pun memilih menggunakan pendekatan politik identitas yang mengkambinghitamkan dan semakin meminggirkan kelompok yang dianggap salah oleh interpretasi mayoritas. Salah satu yang marak digaungkan belakangan ini adalah wacana pembentukkan Perda anti LGBT.

Berdasarkan pemantauan Koalisi Kami Berani, dalam kurun waktu Desember 2022 hingga rilis ini diturunkan, terdapat 4 daerah di Indonesia yang menyatakan akan mengajukan raperda diskriminatif yang anti LGBT, yaitu Garut, Bandung, Makassar, dan Medan.

Perda diskriminatif yang penuh dengan kebencian ini meluas akibat politik praktis yang dilakukan oleh para politisi dengan tujuan meraup suara dengan menggunakan politik identitas. Politisi baik nasional dan di daerah sayangnya tidak memiliki kerangka kebijakan yang baik untuk ditawarkan ke masyarakat. Padahal politik praktis ini akan berbahaya bagi kestabilan sosial, politik, ekonomi, hukum dan keamanan di masyarakat. Selain itu, hal ini juga akan semakin menjauhkan dan menghambat bagi pencapaian target-target pembangunan yang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia.

Sebagai contoh, perda-perda yang mengatasnamakan moralitas seperti perda P4S Kota Bogor, yang digadang-gadang sebagai upaya pemerintah kota bogor sebagai bentuk upaya penyebaran HIV/AIDS, justru akan semakin memperburuk respon kesehatan di Kota bogor itu sendiri. Data global menunjukkan bahwa, kebijakan-kebijakan diskriminatif justru akan membuat orang-orang yang hidup dengan HIV atau rentan terhadap HIV semakin enggan mencari layanan kesehatan, karena takut akan stigma dan diskriminasi.

Pendekatan hukum dan kebijakan berbasis moral dan identitas semacam ini menjauhkan publik dari krisis yang sebenarnya dihadapi Indonesia. Saat ini Indonesia masih menjadi salah satu negara terkorup di dunia, dengan indeks persepsi korupsi di bawah 40. Indeks negara hukum Indonesia semakin menurun dari tahun ke tahun dan Indonesia saat ini secara global berada di peringkat 68 dari 139 negara dalam hal penegakan negara hukum. Dari sisi pendidikan, hanya 19% penduduk Indonesia berusia antara 25-34 tahun yang mengenyam pendidikan tinggi. Jumlah ini sangat rendah dibanding dengan negara-negara OECD lainnya, yang rata-rata tingkat pendidikan tingginya berkisar di 47%.

Selain itu, negara sepertinya tidak belajar dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelumnya yang menggunakan politik identitas sebagai alat. Padahal Pidato Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023 di Istana Negara lalu mengenai Pelanggaran HAM masa lalu yang telah mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu dan berjanji akan memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa meniadakan penyelesain secara yudisial. Presiden Jokowi menegaskan dalam pidatonya ”saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang,”

Nono Sugiono, Ketua Arus Pelangi salah satu juru bicara Koalisi menyebut ‘pemerintah tidak belajar dari kasus-kasus intoleran yang merupakan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Intoleransi dan kebencian berdasarkan identitas memecah belah anak bangsa, dan membuat Indonesia menjadi negara yang semakin terbelakang karena fokus politisinya adalah politik praktis yang memainkan identitas kelompok rentan’ imbuhnya.

Komitmen yang disampaikan Presiden Jokowi dan data-data di atas menunjukan pemerintah Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan berhenti mendistraksi masyarakat dengan isu moralitas dan politik identitas.

Jika Negara terus menerus menggunakan hal ini untuk mendiskriminasi dan mengkambing hitamkan kelompok rentan, maka Indonesia akan semakin terjerumus ke dalam jurang kemiskinan, kesenjangan dan instabilitas. Melalui rilis pers ini, Koalisi KAMI BERANI hendak menyampaikan pesan tuntutan kepada:

  1. Negara untuk menghentikan segala bentuk pembiaran terhadap praktik penyebaran kebencian dan intoleransi terhadap kelompok minoritas dan rentan termasuk LGBT sebagai bentuk komitmen pemenuhan HAM; secara khusus:
    • Mendorong pemerintah daerah untuk mencabut perda-perda diskriminatif dan menghentikan upaya pembuatan kebijakan diskriminatif lainnya;
    • mendorong kemendagri dan kemenkumham untuk melakukan eksekutif review dan memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang membentuk raperda/perda diskriminatif
    • Mendorong pembentukan legislasi anti diskriminasi yang komprehensif yang melindungi kelompok minoritas dan rentan di Indonesia
  2. Mengajak masyarakat untuk tidak memilih calon pemimpin yang zalim yang menggunakan politik identitas dan berbasis kebencian terhadap suatu kelompok dalam pemilu nanti;
  3. Meminta media untuk tidak menyebarkan praktik penyebaran kebencian dan intoleransi terhadap kelompok minoritas termasuk kelompok LGBT

 

 

 

KOALISI KAMI BERANI yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk isu hak asasi manusia dan demokrasi terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, LBH Jakarta, Arus Pelangi, ASEAN SOGIE Caucus, Human Right Working Group (HRWG), Support Group and Resources Center on Sexuality Studies (SGRC Indonesia), Sanggar SWARA, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Transmen Indonesia, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), KontraS, Crisis Response Mechanism (CRM), Free To Be Me, Cangkang Queer, Petrasu, Komunitas Sehati Makassar (KSM), Indonesian Judicial Research Society (IJRS), Dialoka, GWL-Ina, Jaringan Transgender Indonesia (JTID), Jakarta Feminis, Puskapa, Imparsial,

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *